Minggu, 21 Juni 2015

WAKIL RAKYAT

Martinus  Jimung[1]


Ketika Wakil Rakyat (DPR) mendadak mengusulkan menonaktifkan Menteri lebih awal yang diduga bersalah’,  sontak beragam tanggapan dari kalangan masyarakat. Seperti Wakil Rakyat melangkahi hak prerogatif Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para Menterinya. Wakil Rakyat terlalu jauh mencampuri wilayah kekuasaan Presiden. Usulan Wakil Rakyat menonaktifkan Menteri lebih awal yang diduga bersalah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang dilindungi UU. Ada juga yang mengatakan bahwa Wakil Rakyat terlalu over acting dengan mencari sensasi murahan untuk merebut hati masyarakat demi mendongkrak popularitasnya yang kian turun drastis. Karena itu, kita patut mencurigai usulan Wakil Rakyat itu. Apakah murni memperjuangkan kepentingan bangsa? Ataukah mencari kepentingan politik diri, kelompok dan partai politinya? Setiap orang bebas menginterpretasikannya selagi kita masih hidup dialam demokrasi.
Tetapi saya sepakat, kalau usulan Wakil Rakyat itu kita letakan pada koridor hukum adalah sangat tepat, dan bahkan mendesak. Mengapa? Kalau pejabat publik yang diduga bersalah tidak dinonaktifkan lebih awal agak sulit bagi pihak penyidik untuk melakukan penyelidikan terhadap pejabat tersebut. Karena dia masih terikat dengan jabatannya dan harus mendapat izin tertulis dari Presiden sebagai pimpinannya untuk diselidiki atau tidak. Selain itu, kalau pejabat publik yang diduga bersalah akan diselidiki bisa terganggu tugas-tugas kenegaraannya. Ringkasnya, tujuan penonaktifan lebih awal terhadap pejabat publik yang diduga bersalah adalah untuk mempermudah proses penyelidikan.
Pada tahap ini, posisi Wakil Rakyat semakin bersahabat di mata masyarakat. Peluang bagi Wakil Rakyat untuk memperbaiki citranya semakin besar. Kenapa? Karena Wakil Rakyat lagi negative thinking di hati masyarakat. Ketika rakyat Indonesia lapar, tariff BBM dan listrik naik, malah gaji Wakil Rakyat dinaikan. Ketika berbagai bencana melanda wilayah Indonesia, Wakil Rakyat diam, dan bahkan mereka sibuk mempersoalkan PP 37 tahun 2006. Malahan mereka melakukan demo secara besar-besaran di kota Jakarta menuntut Pemerintah untuk merevisi PP 37 tahun 2006. Repotnya, identitas DPR sebagai Wakil Rakyat sudah melekat pada diri mereka. Karena itu, setuju atau tidak hal tersebut sudah diatur dalam UU Pemilu.
Sementara itu, masyarakat terus memplesetkan Wakil Rakyat pilihannya sendiri dengan kata-kata yang sangat keras. Seperti apa yang dilontarkan oleh Dewan Redaksi Metro TV dalam beda editorial pada tanggal 24 Maret 2007 dengan topik: “Solusi Mencari Wakil Rakyat”  memplesetkan DPR  dengan singkatan: ‘Dewan Pemeras Rakyat, Dewan Penindas Rakyat dan Dewan Penipu Rakyat’. Plesetan ini sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi masyarakat Indonesia.
Menurut saya, sejak reformasi bergulir sampai dikeluarkannya UU pemilihan langsung Anggota Dewan oleh masyarakat, Wakil Rakyat (DPR) mengalami tiga fase. Pada fase pertama, saya menyebutnya dengan konsolidasi. Pada fase ini kegiatan Wakil Rakyat lebih terfokus pada pembenahan ke dalam, baik kinerjanya maupun struktur kelembagaannya. Entah itu berkaitan langsung dengan fraksi-fraksi maupun komisi-komisi yang telah dibentuk. Tetapi, pada masa konsolidasi ini aroma konflik internal sangat terasa karena egoisme diri dari masing-masing pribadi, fraksi, komisi dan partai politik masih sangat kental. Sehingga tidak mengherankan kalau kita mencium aroma tidak sedap dari Wakil Rakyat yang terhormat. Seperti adu otot antar Wakil Rakyat di gedung senayan Jakarta, perebutan jabatan ketua fraksi dan komisi-komisi, loby bagi-bagi jabatan, dan sebagainya. Selain itu, saya agak pesimis dengan perubahan yang dihembuskan oleh Wakil Rakyat pada masa konsolidasi ini. Karena tidak banyak perkembangan berarti yang muncul dari Wakil Rakyat.
Pada suatu diskusi ilmiah di Hotel Kristal Kupang-Timor, NTT pada tahun 2005 tentang Peran Wakil Rakyat di Lembaga Legislatif, saya pernah meminta pendapat secara langsung kepada peserta tentang apa yang mereka ketahui dari Wakil Rakyat dan kerjanya selama ini. Ada dua jawaban yang menarik. Pertama,  Wakil Rakyat itu ibarat ‘seorang yang memanjat pohon’ dia membutuhkan orang lain untuk membantunya supaya ia sampai di atas puncak. Tetapi setelah ia berada di atas puncak, ia tidak memperhatikan lagi siapa yang menolongnya. Artinya, Wakil Rakyat sebelum terpilih menjadi Anggota Dewan (entah daerah maupun pusat), dia meminta dukungan dari masyarakat untuk memilihnya. Tetapi setelah dia terpilih menjadi Anggota Legislatif, dia lupa akan rakyat yang memilihnya. Sedangkan kerja Wakil Rakyat lebih banyak memikirkan dirinya, yakni bagaimana dia bisa mengembalikan dana yang ia pergunakan pada saat pemilu dahulu. Apa lagi kalau dana itu hasil anggunan atau pinjaman dari bank, pengusaha dan sebagainya. Konsekuensinya, memikirkan kepentingan rakyat terbagi kalau tidak mau dikatakan lupa sama sekali.
Di sini terlihat bahwa orang yang mengemukan pendapatnya tersebut sebenarnya tidak suka dengan kinerja Wakil Rakyat selama ini. Jawaban seperti itu terutama bisa terucap dari kalangan masyarakat yang kritis dan cerdas mengikuti berbagai kinerja Wakil Rakyat selama ini. Di satu sisi, dia punya persepsi bahwa Wakil Rakyat sudah jauh dari visi dan misi utamanya. Tetapi di satu sisi, dia sebenarnya takut mencalonkan diri menjadi Wakil Rakyat karena kerja Wakil Rakyat berat, yakni memikirkan kepentingan rakyat dan Negara Republik Indonesia.  Hal menarik kedua yang muncul dari diskusi tersebut bahwa Wakil Rakyat merupakan ‘utusan partai politik’ dan bukan utusan rakyat. Hal ini sesuai perintah UU Pemilu, di mana pada saat pemilihan Anggota Dewan masyarakat memilih partai politiknya dan bukan orangnya. Juga masyarakat bukan menusuk gambar orangnya, melainkan tanda gambar partai politiknya. Konsekuensi logisnya, Wakil Rakyat lebih taat pada perintah partai politiknya ketimbang amanat rakyat. Sedangkan ketentuan siapa yang dapat menjadi Anggota Dewan bukan berdasarkan suara terbanyak, melainkan menurut nomor urutnya. Akibatnya, Wakil Rakyat yang duduk dikursi Lembaga Legislatif bukan berdasarkan orang yang dikenal rakyat dan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, melainkan menurut nomor urut yang mungkin tidak dipilih dan juga tidak dikenal oleh masyarakat. Karena itu, usulan Pemerintah agar UU Sistim Pemilu harus segera dirubah bahwa rakyat harus menusuk orangnya dan bukan tanda gambar partai politik serta yang berhak duduk dikursi Lembaga Legislatif berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan langsung dan bukan berdasarkan nomor urutnya adalah usulan yang tepat dan segera diundang-undangkan.  
Fase kedua adalah pemantapan. Pada fase ini Wakil Rakyat mengklaim diri sebagai representasi suara rakyat. Karena itu, kehadirannya sangat perlu dalam suatu lembaga pemerintahan, yakni sebagai pengimbang pemerintah dengan mengemban tiga fungsi utamanya, yakni legislasi (pembuatan UU), fungsi anggaran dan pengawasan. Pada fase ini, kalau Wakil Rakyat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai Wakil Rakyat, apa yang terjadi dengan Negara kita. Boleh jadi rakyat semakin dekat di hati Wakil Rakyat. Kemiskinan bisa dieliminasi dan produk UU yang dihasilkan lebih banyak menyentuh kepentingan rakyat. Tetapi justru ketika harapan masyarakat terarah kepada Wakil Rakyat, mereka diuji perannya, apakah dia sebagai representasi rakyat atau kepentingan diri, kelompok dan partainya.
Akhirnya, fase ketiga adalah pengembangan. Fase ini ditandai dengan kerja nyata yang dihasilkan oleh Wakil Rakyat untuk masyarakat. Seperti mengamademenkan UUD 1945 sampai empat kali sehingga terjadi perubahan sistem politik ketatanegaraan kita berkaitan dengan Pemilu dan pilkada langsung. Juga usulan menonaktifkan pejabat negara lebih awal yang diduga bersalah untuk mempermudah proses penyidikan, dan sebagainya. Fase ini sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Indonesia tentang berbagai gebrakan baru yang dilakukan oleh Wakil Rakyat bagi kepentingan nasional dan daerah.
Kelihatannya, rakyat Indonesia lagi jauh melihat harapan dari Wakil Rakyat ini. Bahkan ada yang mengusulkan supaya Wakil Rakyat (DPR) dibubarkan saja karena kurang berpengaruh bagi kepentingan rakyat. Sementara itu, masih banyak orang yang berjuang sekuat tenaga, pikiran, kehendak dan bahkan harta benda untuk dapat dipilih menjadi Wakil Rakyat. Pertanyaannya adalah, untuk apa dan siapa mereka berlomba-lomba menjadi Wakil Rakyat? Apakah mereka mencari kekayaan, kekuasaan dan kehormatan demi kepentingan diri, kelompok dan partainya? Atau untuk kepentingan umum, dan bagaimana tolok ukurnya? Juga apa pekerjaan Wakil Rakyat setelah terpilih menjadi Anggota Dewan, baik daerah maupun pusat?
Secara hukum tata Negara, Wakil Rakyat itu perlu supaya berjalannya proses demokrasi. Tetapi, secara praksis jelas tidak perlu. Karena tidak banyak yang kita harapkan dari Wakil Rakyat. Misalnya, dari dulu sampai sekarang banyak Wakil Rakyat berbicara sebagai ‘pembela rakyat’, tetapi belum banyak perubahan signifikan berkaitan dengan kepentingan rakyat. Malahan yang terjadi, gaji Wakil Rakyat semakin bertambah yang tidak seimbang dengan efektifitas kerja nyatanya. Selain itu, mobil berganti-ganti, rumah bertingkat dan tersedianya berbagai fasilitas oleh Negara.
Barangkali sudah saatnya, Wakil Rakyat melakukan introspeksi diri serta bertobat untuk melihat kinerja dan mentalitasnya selama ini. Apakah Wakil Rakyat benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai dengan namanya Wakil Rakyat? Atau mereka menyembunyikan diri dibalik nama Wakil Rakyat untuk menggolkan kepentingan diri, kelompok dan partainya? Kalau hal itu yang terjadi, lebih baik label Wakil Rakyat yang melekat pada jabatanya segera dicabut. Dengan demikian, segala plesetan Wakil Rakyat sebagai ‘Dewan Penindasan dan Pemeras Rakyat’ tidak terulang lagi. Sebaliknya, sekali Wakil Rakyat tetaplah memperjuangkan kepentingan rakyat. Mungkinkah hal itu terjadi*






[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah. Ketika menulis artikel ini tinggal di Jl. Kawi VI No. 30 RT 007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar