Martinus Jimung[1]
Ketika Wakil Rakyat (DPR) mendadak
mengusulkan ‘menonaktifkan Menteri lebih awal yang diduga bersalah’, sontak beragam tanggapan
dari kalangan masyarakat. Seperti Wakil Rakyat melangkahi hak prerogatif
Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para Menterinya. Wakil Rakyat
terlalu jauh mencampuri wilayah kekuasaan Presiden. Usulan Wakil Rakyat menonaktifkan
Menteri lebih awal yang diduga bersalah bertentangan dengan asas praduga tak
bersalah yang dilindungi UU. Ada
juga yang mengatakan bahwa Wakil Rakyat terlalu over acting dengan mencari
sensasi murahan untuk merebut hati masyarakat demi mendongkrak popularitasnya
yang kian turun drastis. Karena itu, kita patut mencurigai usulan Wakil Rakyat
itu. Apakah murni memperjuangkan kepentingan bangsa? Ataukah mencari
kepentingan politik diri, kelompok dan partai politinya? Setiap orang bebas
menginterpretasikannya selagi kita masih hidup dialam demokrasi.
Tetapi saya sepakat, kalau usulan Wakil Rakyat
itu kita letakan pada koridor hukum adalah sangat tepat, dan bahkan mendesak.
Mengapa? Kalau pejabat publik yang diduga bersalah tidak dinonaktifkan lebih
awal agak sulit bagi pihak penyidik untuk melakukan penyelidikan terhadap
pejabat tersebut. Karena dia masih terikat dengan jabatannya dan harus mendapat
izin tertulis dari Presiden sebagai pimpinannya untuk diselidiki atau tidak. Selain
itu, kalau pejabat publik yang diduga bersalah akan diselidiki bisa terganggu
tugas-tugas kenegaraannya. Ringkasnya, tujuan penonaktifan lebih awal terhadap
pejabat publik yang diduga bersalah adalah untuk mempermudah proses penyelidikan.
Pada tahap ini, posisi Wakil Rakyat
semakin bersahabat di mata masyarakat. Peluang bagi Wakil Rakyat untuk
memperbaiki citranya semakin besar. Kenapa? Karena Wakil Rakyat lagi negative
thinking di hati masyarakat. Ketika rakyat Indonesia lapar, tariff BBM dan
listrik naik, malah gaji Wakil Rakyat dinaikan. Ketika berbagai bencana melanda
wilayah Indonesia,
Wakil Rakyat diam, dan bahkan mereka sibuk mempersoalkan PP 37 tahun 2006.
Malahan mereka melakukan demo secara besar-besaran di kota Jakarta
menuntut Pemerintah untuk merevisi PP 37 tahun 2006. Repotnya, identitas DPR
sebagai Wakil Rakyat sudah melekat pada diri mereka. Karena itu, setuju atau
tidak hal tersebut sudah diatur dalam UU Pemilu.
Sementara itu, masyarakat terus memplesetkan
Wakil Rakyat pilihannya sendiri dengan kata-kata yang sangat keras. Seperti apa
yang dilontarkan oleh Dewan Redaksi Metro TV dalam beda editorial pada tanggal
24 Maret 2007 dengan topik: “Solusi
Mencari Wakil Rakyat” memplesetkan DPR dengan singkatan: ‘Dewan Pemeras Rakyat, Dewan
Penindas Rakyat dan Dewan Penipu Rakyat’. Plesetan
ini sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi masyarakat Indonesia.
Menurut saya, sejak reformasi bergulir
sampai dikeluarkannya UU pemilihan langsung Anggota Dewan oleh masyarakat, Wakil
Rakyat (DPR) mengalami tiga fase. Pada fase pertama, saya menyebutnya dengan konsolidasi. Pada fase ini kegiatan Wakil Rakyat lebih terfokus pada pembenahan
ke dalam, baik kinerjanya maupun struktur kelembagaannya. Entah itu berkaitan langsung
dengan fraksi-fraksi maupun komisi-komisi yang telah dibentuk. Tetapi, pada
masa konsolidasi ini aroma konflik internal sangat terasa karena egoisme diri
dari masing-masing pribadi, fraksi, komisi dan partai politik masih sangat
kental. Sehingga tidak mengherankan kalau kita mencium aroma tidak sedap dari Wakil
Rakyat yang terhormat. Seperti adu otot antar Wakil Rakyat di gedung senayan Jakarta, perebutan
jabatan ketua fraksi dan komisi-komisi, loby bagi-bagi jabatan, dan sebagainya.
Selain itu, saya agak pesimis dengan perubahan yang dihembuskan oleh Wakil Rakyat
pada masa konsolidasi ini. Karena tidak banyak perkembangan berarti yang muncul
dari Wakil Rakyat.
Pada suatu diskusi ilmiah di Hotel Kristal
Kupang-Timor, NTT pada tahun 2005 tentang Peran Wakil Rakyat di Lembaga Legislatif, saya pernah meminta pendapat secara langsung kepada peserta
tentang apa yang mereka ketahui dari Wakil Rakyat dan kerjanya selama ini. Ada dua jawaban yang
menarik. Pertama, Wakil Rakyat itu ibarat ‘seorang yang memanjat
pohon’ dia membutuhkan orang lain untuk membantunya
supaya ia sampai di atas puncak. Tetapi setelah ia berada di atas puncak, ia
tidak memperhatikan lagi siapa yang menolongnya. Artinya, Wakil Rakyat sebelum
terpilih menjadi Anggota Dewan (entah daerah maupun pusat), dia meminta
dukungan dari masyarakat untuk memilihnya. Tetapi setelah dia terpilih menjadi Anggota
Legislatif, dia lupa akan rakyat yang memilihnya. Sedangkan kerja Wakil Rakyat
lebih banyak memikirkan dirinya, yakni bagaimana dia bisa mengembalikan dana
yang ia pergunakan pada saat pemilu dahulu. Apa lagi kalau dana itu hasil anggunan
atau pinjaman dari bank, pengusaha dan sebagainya. Konsekuensinya, memikirkan
kepentingan rakyat terbagi kalau tidak mau dikatakan lupa sama sekali.
Di sini terlihat bahwa orang yang
mengemukan pendapatnya tersebut sebenarnya tidak suka dengan kinerja Wakil Rakyat
selama ini. Jawaban seperti itu terutama bisa terucap dari kalangan masyarakat
yang kritis dan cerdas mengikuti berbagai kinerja Wakil Rakyat selama ini. Di
satu sisi, dia punya persepsi bahwa Wakil Rakyat sudah jauh dari visi dan misi
utamanya. Tetapi di satu sisi, dia sebenarnya takut mencalonkan diri menjadi Wakil
Rakyat karena kerja Wakil Rakyat berat, yakni memikirkan kepentingan rakyat dan
Negara Republik Indonesia.
Hal menarik kedua yang muncul dari diskusi tersebut bahwa Wakil Rakyat merupakan ‘utusan partai
politik’ dan bukan utusan rakyat. Hal ini sesuai
perintah UU Pemilu, di mana pada saat pemilihan Anggota Dewan masyarakat
memilih partai politiknya dan bukan orangnya. Juga masyarakat bukan menusuk
gambar orangnya, melainkan tanda gambar partai politiknya. Konsekuensi
logisnya, Wakil Rakyat lebih taat pada perintah partai politiknya ketimbang
amanat rakyat. Sedangkan ketentuan siapa yang dapat menjadi Anggota Dewan bukan
berdasarkan suara terbanyak, melainkan menurut nomor urutnya. Akibatnya, Wakil
Rakyat yang duduk dikursi Lembaga Legislatif bukan berdasarkan orang yang
dikenal rakyat dan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, melainkan menurut nomor
urut yang mungkin tidak dipilih dan juga tidak dikenal oleh masyarakat. Karena
itu, usulan Pemerintah agar UU Sistim Pemilu harus segera dirubah bahwa rakyat
harus menusuk orangnya dan bukan tanda gambar partai politik serta yang berhak
duduk dikursi Lembaga Legislatif berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan
langsung dan bukan berdasarkan nomor urutnya adalah usulan yang tepat dan
segera diundang-undangkan.
Fase
kedua adalah pemantapan. Pada fase ini Wakil Rakyat mengklaim diri sebagai representasi
suara rakyat. Karena itu, kehadirannya sangat perlu dalam suatu lembaga
pemerintahan, yakni sebagai pengimbang pemerintah dengan mengemban tiga fungsi
utamanya, yakni legislasi (pembuatan UU), fungsi anggaran dan pengawasan. Pada
fase ini, kalau Wakil Rakyat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai Wakil Rakyat,
apa yang terjadi dengan Negara kita. Boleh jadi rakyat semakin dekat di hati Wakil
Rakyat. Kemiskinan bisa dieliminasi dan produk UU yang dihasilkan lebih banyak
menyentuh kepentingan rakyat. Tetapi justru ketika harapan masyarakat terarah
kepada Wakil Rakyat, mereka diuji perannya, apakah dia sebagai representasi
rakyat atau kepentingan diri, kelompok dan partainya.
Akhirnya, fase ketiga adalah pengembangan. Fase ini ditandai dengan kerja nyata yang dihasilkan oleh Wakil Rakyat
untuk masyarakat. Seperti mengamademenkan UUD 1945 sampai empat kali sehingga
terjadi perubahan sistem politik ketatanegaraan kita berkaitan dengan Pemilu
dan pilkada langsung. Juga usulan menonaktifkan pejabat negara lebih awal yang
diduga bersalah untuk mempermudah proses penyidikan, dan sebagainya. Fase ini
sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Indonesia tentang berbagai gebrakan
baru yang dilakukan oleh Wakil Rakyat bagi kepentingan nasional dan daerah.
Kelihatannya, rakyat Indonesia lagi
jauh melihat harapan dari Wakil Rakyat ini. Bahkan ada yang mengusulkan supaya Wakil
Rakyat (DPR) dibubarkan saja karena kurang berpengaruh bagi kepentingan rakyat.
Sementara itu, masih banyak orang yang berjuang sekuat tenaga, pikiran,
kehendak dan bahkan harta benda untuk dapat dipilih menjadi Wakil Rakyat. Pertanyaannya
adalah, untuk apa dan siapa mereka berlomba-lomba menjadi Wakil Rakyat? Apakah mereka
mencari kekayaan, kekuasaan dan kehormatan demi kepentingan diri, kelompok dan
partainya? Atau untuk kepentingan umum, dan bagaimana tolok ukurnya? Juga apa
pekerjaan Wakil Rakyat setelah terpilih menjadi Anggota Dewan, baik daerah
maupun pusat?
Secara hukum tata Negara, Wakil Rakyat itu
perlu supaya berjalannya proses demokrasi. Tetapi, secara praksis jelas tidak
perlu. Karena tidak banyak yang kita harapkan dari Wakil Rakyat. Misalnya, dari
dulu sampai sekarang banyak Wakil Rakyat berbicara sebagai ‘pembela rakyat’, tetapi belum banyak perubahan signifikan berkaitan dengan
kepentingan rakyat. Malahan yang terjadi, gaji Wakil Rakyat semakin bertambah
yang tidak seimbang dengan efektifitas kerja nyatanya. Selain itu, mobil berganti-ganti,
rumah bertingkat dan tersedianya berbagai fasilitas oleh Negara.
Barangkali sudah saatnya, Wakil Rakyat melakukan
introspeksi diri serta bertobat untuk melihat kinerja dan mentalitasnya selama
ini. Apakah Wakil Rakyat benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai
dengan namanya Wakil Rakyat? Atau mereka menyembunyikan diri dibalik nama Wakil
Rakyat untuk menggolkan kepentingan diri, kelompok dan partainya? Kalau hal itu
yang terjadi, lebih baik label Wakil Rakyat yang melekat pada jabatanya segera
dicabut. Dengan demikian, segala plesetan Wakil Rakyat sebagai ‘Dewan Penindasan
dan Pemeras Rakyat’ tidak terulang lagi.
Sebaliknya, sekali Wakil Rakyat tetaplah memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mungkinkah hal itu terjadi*
[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik
Lokal dan Pemerintahan Daerah. Ketika menulis artikel ini tinggal di Jl. Kawi VI No. 30 RT
007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang,
Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar