Martin
Jimung[1]
Saya kira, itulah bahasa yang paling pas untuk situasi Indonesia saat
ini. Sebab itulah fenomena yang sedang menimpa Indonesia.
Kini pemerintah dan masyarakat
saling mempersalahkan, dan bahkan menuding satu sama lain. Masyarakat
mempersalahkan pemerintah karena kurang tegas dalam menegakan peraturan. Bahkan
pilih kasih sehingga terjadi ilegal loging dan system transportasi yang kurang
memperhatikan keselamatan penumpang. Pemerintah menuding masyarakat yang
merusak alam dengan membuang sampah sembarangan, pembabatan hutan dan penyalahgunaan
izin usaha sehingga terjadi tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, bahaya
kekeringan, kelaparan dan sistem transportasi yang lebih menekankan keuntungan
bis ketimbang keselamatan penumpang.
Tetapi, kalau dihitung-hitung pemerintah juga yang memberi izin
usaha kepada perusahaan dan pengusaha untuk mengambil kayu, membuka perkebunan
kelapa sawit, membuat regulasi sistem transporasi udara, laut dan darat.
Pengusaha kayu di pulau Kalimantan misalnya,
yang selama ini mengambil kayu yang berskala besar dan membongkar hutan untuk
perkebunan kelapa sawit berani membayar mahal kepada pihak yang berwenang untuk
mendapatkan izin operasi dan membeli masyarakat di sekitar lokasi sekarang
sudah tidak mau lagi, dan bahkan ada yang keluar dari Kalimantan.
Entah mengelilingi pulau-pulau di seluruh Indonesia atau pun keluar negeri
sekedar menikmati keuntungannya. Mereka bahkan tidak berminat lagi kembali ke Kalimantan karena kayu-kayu bernilai jual ekonomi tinggi
sudah tidak ada lagi.
Munculnya berbagai bencana belakangan ini merupakan salah satu indikator
bahwa mereka yang memberi izin, entah itu untuk perusahaan kayu, perkebunan dan
transportasi serta pihak-pihak yang mendapatkan izin operasi seharusnya sadar
bahwa sesungguhnya mereka termasuk kelompok perusak alam dan penyalahgunaan
wewenang yang membawa bencana.
Itulah yang menyebabkan makin tak terbendungi bencana demi bencana
melanda Indonesia.
Seperti bencana meluapnya lumpur panas Lapindo Brantas di Siduarjo Jawa Timur,
tenggelamnya KM Senopati di sekitar perairan laut Jawa Tengah, hilangnya
pesawat Adam Air di Sulawesi, banjir di ibu kota Jakarta, tergelincirnya
pesawat Adam Air di bandara Juanda Surabaya, terbakarnya Kapal Levina I, tanah
longsor di Kabupaten Manggarai-Flores-NTT, gempa bumi di Sumatera Barat dan terakhir
terbakarnya pesawat Garuda di bandara Adisucipto, Yogyakarta. Untuk membebaskan
diri dari tudingan miring tersebut, mereka (pihak-pihak yang berwenang)
mengeluarkan pernyataan bahwa kejadian tersebut murni kecelakaan, gejala alam
dan human error. Dan bahkan tidak tanggung-tanggung pihak perusahaan pengelola
jasa transportasi berani memberikan santunan jutaan rupiah, biaya ganti rugi,
membiayai seluruh urusan rumah sakit dan acara penguburan, yang sesunguhnya
tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni: Apa akar bencana yang sebenarnya
sehingga berulangkali terjadi.
Tetapi, pihak yang membuat regulasi dan yang mendapatkan kepercayaan
untuk melaksanakan regulasi lebih menitip beratkannya pada akibat bencana yang
sekarang lagi gencar dilakukan. Di Kalimantan Timur dan Tengah, saya melihat
sendiri pada bulan Agustus 2006, bagaimana pemerintah memberi izin kepada
perusahaan untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Mereka
membongkar hutan dengan dalil sudah mendapatkan izin dari pemerintah serta
membantu mempekerjakan masyarakat setempat. Pihak perusahaan mendapat
keuntungan besar-besaran karena hal tersebut tidak mensejahterakan masyarakat
setempat. Sebaliknya, mendatangkan bencana. Sementara itu, mereka pesiar bebas
di Jakarta
maupun keluar negeri sepertinya tidak terjadi apa-apa. Mereka bisa membeli
pemerintah dan masyarakat setempat karena mereka tahu persis apa yang
benar-benar tidak bisa berbuat banyak dari pemerintah dan masyarakat. Selain
itu, mereka tahu apa yang membuat mulut pemerintah dan masyarakat bungkam
seribu bahasa. Dengan demikian, mereka bebas melakukan apa yang mereka
kehendaki.
Di luar negeri, kita mendengar fenomena sebaliknya. Yang memberi
izin dan yang menggunakan hak izin yang mendatangkan kerugian publik dipecat,
dicabut hak izinnya, dan bahkan dihukum seberat-beratnya. Dengan begitu, pihak yang memberi dan menerima selalu
hati-hati melakukan suatu tindakan. Berbeda dengan iklim di Indonesia,
segala cara bisa diatur.
Antara luar negeri dan Indonesia bertolak belakang. Di
luar negeri yang bersalah dan yang mendapatkan hukuman bukan saja pihak-pihak yang
menerima izinan, tetapi juga yang memberi izin dan yang mengatur regulasinya. Bagimana
dengan kondisi Indonesia?
Apakah pihak yang mengatur regulasi rela mengakui kesalahannya dan dengan besar
hati menerima hukuman? Ataukah tetap melemparkan tanggung jawabnya kepada
pelaku pelaksanaan di lapangan? Seperti human eror, tidak layak terbang, ilegal
loging, cuaca buruk, kelebihan muatan dan sebagainya.
Menurut saya, kita justru harus berpikir berani menolak akibat dari
sebuah keputusan kekuasaan yang kurang hati-hati. Sebagian besar masyarakat Indonesia
justru masih melihat kekuasaan itu adalah segala-galanya. Berhadapan dengan
kekuasaan orang selalu tunduk. Para pendobrak
di Indonesia
jumlah besar dan mungkin saja mereka akan tetap berjuang di negeri republik
mimpi. Artinya ingin melawan tetapi tidak tercapai.
Selain itu, memang ada benang kusut yang terlalu tajam memisahkan
antara penguasa, pemodal dan masyarakat biasa yang relatif kecil kemungkinan
untuk mengakui secara terbuka kesalahannya. Tetapi yang perlu diingat, bencana
tidak bisa dikompromi. Nyawa anak bangsa Indonesia terus berjatuhan ditelan
bencana. Sikap saling menyalahi bukan waktunya lagi. Karena tidak menyelesaikan
akar bencana. Malahan mengaburkan akar bencana yang sebenarnya. Yang perlu
dilakukan saat ini adalah carilah akar bencana dan bukan akibatnya. Selain itu,
benahi regulasi yang kurang memperhatikan keselamatan nyawa manusia. Adililah
pihak-pihak yang menyalahgunakan wewenang dan mendatangkan bencana.
Saya tidak yakin, bencana akan berhenti selagi kita terus
menyalahgunakan kewenangan kita masing-masing. Anjuran saya adalah, pekerjaan
rumah bagi kita semua sebagai warga Indonesia untuk intropeksi diri
serta mengakui kesalahan dan bertobat bahwa bencana yang terjadi adalah
kesalahan kita semua.*
[1]Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik Lokal dan Otonomi Daerah.
Sekarang tinggal di Jl. Kawi VI No.30 RT 07/RW 03 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar