Minggu, 21 Juni 2015

BENCANA



Martin Jimung[1]

           Saya kira, itulah bahasa yang paling pas untuk situasi Indonesia saat ini. Sebab itulah fenomena yang sedang menimpa Indonesia.
            Kini pemerintah dan masyarakat saling mempersalahkan, dan bahkan menuding satu sama lain. Masyarakat mempersalahkan pemerintah karena kurang tegas dalam menegakan peraturan. Bahkan pilih kasih sehingga terjadi ilegal loging dan system transportasi yang kurang memperhatikan keselamatan penumpang. Pemerintah menuding masyarakat yang merusak alam dengan membuang sampah sembarangan, pembabatan hutan dan penyalahgunaan izin usaha sehingga terjadi tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, bahaya kekeringan, kelaparan dan sistem transportasi yang lebih menekankan keuntungan bis ketimbang keselamatan penumpang.  
Tetapi, kalau dihitung-hitung pemerintah juga yang memberi izin usaha kepada perusahaan dan pengusaha untuk mengambil kayu, membuka perkebunan kelapa sawit, membuat regulasi sistem transporasi udara, laut dan darat. Pengusaha kayu di pulau Kalimantan misalnya, yang selama ini mengambil kayu yang berskala besar dan membongkar hutan untuk perkebunan kelapa sawit berani membayar mahal kepada pihak yang berwenang untuk mendapatkan izin operasi dan membeli masyarakat di sekitar lokasi sekarang sudah tidak mau lagi, dan bahkan ada yang keluar dari Kalimantan. Entah mengelilingi pulau-pulau di seluruh Indonesia atau pun keluar negeri sekedar menikmati keuntungannya. Mereka bahkan tidak berminat lagi kembali ke Kalimantan karena kayu-kayu bernilai jual ekonomi tinggi sudah tidak ada lagi.
Munculnya berbagai bencana belakangan ini merupakan salah satu indikator bahwa mereka yang memberi izin, entah itu untuk perusahaan kayu, perkebunan dan transportasi serta pihak-pihak yang mendapatkan izin operasi seharusnya sadar bahwa sesungguhnya mereka termasuk kelompok perusak alam dan penyalahgunaan wewenang yang membawa bencana.
Itulah yang menyebabkan makin tak terbendungi bencana demi bencana melanda Indonesia. Seperti bencana meluapnya lumpur panas Lapindo Brantas di Siduarjo Jawa Timur, tenggelamnya KM Senopati di sekitar perairan laut Jawa Tengah, hilangnya pesawat Adam Air di Sulawesi, banjir di ibu kota Jakarta, tergelincirnya pesawat Adam Air di bandara Juanda Surabaya, terbakarnya Kapal Levina I, tanah longsor di Kabupaten Manggarai-Flores-NTT, gempa bumi di Sumatera Barat dan terakhir terbakarnya pesawat Garuda di bandara Adisucipto, Yogyakarta. Untuk membebaskan diri dari tudingan miring tersebut, mereka (pihak-pihak yang berwenang) mengeluarkan pernyataan bahwa kejadian tersebut murni kecelakaan, gejala alam dan human error. Dan bahkan tidak tanggung-tanggung pihak perusahaan pengelola jasa transportasi berani memberikan santunan jutaan rupiah, biaya ganti rugi, membiayai seluruh urusan rumah sakit dan acara penguburan, yang sesunguhnya tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni: Apa akar bencana yang sebenarnya sehingga berulangkali terjadi.
Tetapi, pihak yang membuat regulasi dan yang mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan regulasi lebih menitip beratkannya pada akibat bencana yang sekarang lagi gencar dilakukan. Di Kalimantan Timur dan Tengah, saya melihat sendiri pada bulan Agustus 2006, bagaimana pemerintah memberi izin kepada perusahaan untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Mereka membongkar hutan dengan dalil sudah mendapatkan izin dari pemerintah serta membantu mempekerjakan masyarakat setempat. Pihak perusahaan mendapat keuntungan besar-besaran karena hal tersebut tidak mensejahterakan masyarakat setempat. Sebaliknya, mendatangkan bencana. Sementara itu, mereka pesiar bebas di Jakarta maupun keluar negeri sepertinya tidak terjadi apa-apa. Mereka bisa membeli pemerintah dan masyarakat setempat karena mereka tahu persis apa yang benar-benar tidak bisa berbuat banyak dari pemerintah dan masyarakat. Selain itu, mereka tahu apa yang membuat mulut pemerintah dan masyarakat bungkam seribu bahasa. Dengan demikian, mereka bebas melakukan apa yang mereka kehendaki.
Di luar negeri, kita mendengar fenomena sebaliknya. Yang memberi izin dan yang menggunakan hak izin yang mendatangkan kerugian publik dipecat, dicabut hak izinnya, dan bahkan dihukum seberat-beratnya. Dengan begitu,  pihak yang memberi dan menerima selalu hati-hati melakukan suatu tindakan. Berbeda dengan iklim di Indonesia, segala cara bisa diatur.
Antara luar negeri dan Indonesia bertolak belakang. Di luar negeri yang bersalah dan yang mendapatkan hukuman bukan saja pihak-pihak yang menerima izinan, tetapi juga yang memberi izin dan yang mengatur regulasinya. Bagimana dengan kondisi Indonesia? Apakah pihak yang mengatur regulasi rela mengakui kesalahannya dan dengan besar hati menerima hukuman? Ataukah tetap melemparkan tanggung jawabnya kepada pelaku pelaksanaan di lapangan? Seperti human eror, tidak layak terbang, ilegal loging, cuaca buruk, kelebihan muatan dan sebagainya.
Menurut saya, kita justru harus berpikir berani menolak akibat dari sebuah keputusan kekuasaan yang kurang hati-hati. Sebagian besar masyarakat Indonesia justru masih melihat kekuasaan itu adalah segala-galanya. Berhadapan dengan kekuasaan orang selalu tunduk. Para pendobrak di Indonesia jumlah besar dan mungkin saja mereka akan tetap berjuang di negeri republik mimpi. Artinya ingin melawan tetapi tidak tercapai.
Selain itu, memang ada benang kusut yang terlalu tajam memisahkan antara penguasa, pemodal dan masyarakat biasa yang relatif kecil kemungkinan untuk mengakui secara terbuka kesalahannya. Tetapi yang perlu diingat, bencana tidak bisa dikompromi. Nyawa anak bangsa Indonesia terus berjatuhan ditelan bencana. Sikap saling menyalahi bukan waktunya lagi. Karena tidak menyelesaikan akar bencana. Malahan mengaburkan akar bencana yang sebenarnya. Yang perlu dilakukan saat ini adalah carilah akar bencana dan bukan akibatnya. Selain itu, benahi regulasi yang kurang memperhatikan keselamatan nyawa manusia. Adililah pihak-pihak yang menyalahgunakan wewenang dan mendatangkan bencana.
Saya tidak yakin, bencana akan berhenti selagi kita terus menyalahgunakan kewenangan kita masing-masing. Anjuran saya adalah, pekerjaan rumah bagi kita semua sebagai warga Indonesia untuk intropeksi diri serta mengakui kesalahan dan bertobat bahwa bencana yang terjadi adalah kesalahan kita semua.*




[1]Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Sekarang tinggal di Jl. Kawi VI No.30 RT 07/RW 03 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar