Minggu, 21 Juni 2015

RAKYAT SULSEL MENAGIH JANJI GUBERNUR TERPILIH




                                                                                          
 Martin Jimung,S.Fil.M.Si [1]

            Pilkada Sulsel yang berlangsung pada tanggal 6 Nopember 2007 berjalan aman dan sukses. Secara politis, patut kita mengangkat jempol karena masyarakat Sulsel pada umumnya dan para kandidat khususnya cukup dewasa dalam berpolitik. Hal ini terlihat dari proses awal pilkada hingga penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
Selain itu, pilkada Sulsel yang berlangsung aman dan sukses itu mengisyaratkan kepada kita bahwa proses demokratisasi telah terjadi di Provinsi Sulsel. Semua itu terjadi karena masing-masing pihak, baik KPUD, para kandidat, partai politik atau gabungan partai politik pengusung kandidat maupun masyarakat Sulsel umumnya tahu menempatkan diri pada fungsinya masing-masing. Karena dengan mengetahui serta memahami perannya, kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencederai citra demokrasi dapat dieliminir. Buktinya, pelaksanaan pilkada langsung di Provinsi Sulsel berjalan sesuai perintah UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
            Pilkada Sulsel telah berakhir, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih hampir pasti dimenangkan oleh pasangan Syahrul  Yasin Limpo - Agus Arifin Nu’mang. Tinggal saja KPUD Sulsel  menetapkan dan mengumumkan secara luas kepada masyarakat Sulsel sesuai tanggal yang telah ditetapkannya 16 Nopember 2007 yang akan datang. Karena berdasarkan berita yang dilansirkan oleh media massa Fajar (12/11/2007), Syahrul  Yasin Limpo - Agus Arifin Nu’mang unggul dalam pilkada Sulsel dengan mendulang 1.431.934 suara atau 39,53 persen dari total 3.662.100 suara. Karena itu, keatas pundak kedua pemimpin ini, masyarakat Sulsel menaruh harapan agar pembangunan di bumi Sulsel semakin lebih baik dari sebelumnya. Sementara kedua pemimpin yang memenangkan pilkada langsung sudah siap mengendalikan dan menjalankan roda pemerintahan di Provinsi Sulsel 5 tahun ke depan. Hal itu terbaca dari reaksi-reaksi positif dari kedua pemimpin ketika mendengar berita bahwa mereka menang tipis dari rival politiknya pasangan Amin Syam - Mansyur Ramly (Fajar,12/11/2007).
            Tetapi, ada suatu hal yang akan menghantui aktivitas mereka sebagai Kepala Daerah Sulsel terpilih nanti, yakni: Apakah keduanya mampu mengimplementasikan secara kongkrit ‘janji-janji pemilu’ yang telah mereka ucapkan pada saat kampanye pilkada dalam merancang dan membumikan program pembangunan daerah Sulsel yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan bermartabat. Teristimewa janji-janji kampanye yang berkaitan dengan ‘pendidikan dan kesehatan gratis’. Sebab rakyat Sulsel sedang menagih realisasi janji-janji tersebut.
Janji Pendidikan dan Kesehatan Gratis
Dalam kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel lalu, ada janji ‘pendidikan dan kesehatan gratis’ dari pasangan Syahrul  Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang atau yang disingkat dengan sebutan Sayang.  Janji kampanye tersebut dikemas dalam bahasa yang santun, menarik dan menyentuh nurani rakyat Sulsel yang mayoritas petani. Janji kampanye disampaikan oleh sang calon Gubernur maupun oleh tim sukses dan partai politik yang mengusungnya dengan bahasa ajakan: ‘Mau Gratis ..….Pendidikan dan Kesehatan, Coblos ….No. 3’ (Fajar Harian Pagi Makassar, 1/11/2007). Bahkan sang Gubernur terpilih sendiri dalam berbagai kesempatan kampanye pilkada beriktiar ‘dirinya bersama wakil siap mundur jika tak mampu merealisasikan pendidikan dan kesehatan gratis jika dipercaya masyarakat memimpin Sulsel 5 tahun ke depan’.
Janji kampanye ini menarik perhatian penulis karena ada itikat baik dari sang calon Gubernur untuk menyukseskannya jika ia terpilih sebagai Gubernur Sulsel periode 2008-2013. Kini sang pemberi janji itu telah terpilih sebagai Gubernur Sulsel, tinggal saja bagaimana ia merealisasikan janjinya.
Kata janji dalam arti sebenarnya sangat sakral. Karena ia mengandung ikrar yang perlu ditepati oleh pelaku dalam tindakan nyatanya. Konkuensinya, janji itu memberi rasa pasti kepada pihak pendengar atau pelanggannya. Hal ini tidak gampang dicapai. Karena supaya bisa membuktikan janjinya, pihak pemberi janji harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam memenuhi apa yang ia ucapkan. Janji saja tidak cukup, tetapi perlu dibuktikan dalam pelayanan atau tindakan kongkrit. Artinya, sang pemberi janji justru bisa merealisasikan dalam tindakan nyatanya sehingga penerima janji dapat diyakini. Karena itu, berjanji tidak mudah. Karena berjanji bukan suatu yang diucapkan saja, melainkan justru aktif dalam tindakan yang perlu diambil selanjutnya. Maka pihak yang berjanji perlu memiliki ilmu ‘kesadaran diri’ akan konsekuensi tentang apa yang diucapkannya. Singkatnya, pihak pemberi janji memiliki kepastian yang timbul dari perasaan aman dan keterjaminan omongannya sehingga menumbuhkan kepercayaan dari pihak yang mendengarkannya.
Sedangkan secara politis, janji-janji dalam kampanye merupakan hal yang lumrah, yang sah-sah saja. Bahkan janji itu termasuk salah satu dimensi penting dalam kampanye. Sang calon atau tim sukses dan partai politik yang ingin menarik massa pendukungnya harus berjanji (berbohong,red) di depan masyarakat. Selain itu, janji dalam kampanye merupakan salah satu strategi politik ‘kepentingan diri’ yang dikembangkan oleh sang calon atau tim sukses dan partai politik demi mencari empati dari masyarakat. Berempati dalam kampanye politik bukan berarti pihak pengumbar janji selalu tepati apa yang ia janjikan terhadap masyarakat. Tetapi dia mau mencek apa keinginan masyarakat yang sebenarnya. Setelah mengetahui keinginan masyarakat secara detail, ia justru menentukan sikap secara lebih tepat. Dalam berempati, sang pemberi janji harus mampu berkomunikasi secara pribadi dan mudah dihubungi. Tetapi, berempati dalam janji kampanye itu tidak mudah. Karena empati bukan berarti sesuatu yang bersifat pasif. Melainkan justru aktif mendengar sambil berpikir tentang alternatif tindakan apa yang secara tepatnya akan mempengaruhi masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya pada sang pemberi janji itu.
Di Indonesia, janji kampanye itu bukan menjadi rahasia lagi. Karena tampa melakukan riset pun, janji sudah mendarah daging bagi kalangan masyarakat Indonesia. Entah itu dilakukan oleh kalangan atas sampai pada masyarakat biasa. Pertanyaannya adalah, apakah janji kampanye bisa dipegang kebenarannya dalam tindakan nyata?
Janji kampanye sang Gubernur Sulsel terpilih periode 2008-2013, saya melihat ada tiga dimensi yang tersurat secara implisit di dalamnya. Pertama, sang Gubernur terpilih ingin mendapatkan dukungan suara sebanyak-banyaknya. Saya kira, ini adalah suatu siasat politik kepentingan yang jitu. Hasil pengamatan saya menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya dan Sulsel khususnya mudah terprovokasi atau mudah merasa ibah oleh janji-janji yang kebenarannya belum teruji. Kedua, saya melihat dimensi pembohongan dalam bentuk janji kampanye yang belum banyak disadari oleh masyarakat Indonesia. Karena janji kampanye memang sudah banyak dibuat, tetapi kenyataan belum banyak pembuktiannya. Misalnya, janji kampanye Pilpres tahun 2004 dari SBY-JK tentang ‘akan menegakan supremasi hukum’. Tetapi, kenyataan sampai saat ini belum banyak terealisasikan. Kita berharap, janji kampanye sang Gubernur Sulsel terpilih tentang ‘pendidikan dan kesehatan gratis’ dapat direalisasikan dalam pembangunan yang berkesinambungan demi mencapai kesejahteraan masyarakat Sulsel. Ketiga, janji kampanye dapat menumbuhkan trust (kepercayaan) dari masyarakat pemilih. Tetapi, unsur kepercayaan ini tidak cukup dijelaskan lewat kata-kata saja, melainkan harus dibuktikan melalui tindakan kongkrit dalam pelayanan 5 tahun ke depan.
Setahu saya, belum ada calon dalam pemilihan Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah di Indonesia yang berani mengatakan dalam kampanye: ‘saya memberi bukti dan bukan berjanji’. Singkatnya, belum ada calon dalam kampanye yang berani membuat kontrak politik secara tertulis sebagai ‘kekuatan hukum tetap’ dengan masyarakat pemilihnya atas kebenaran janji-janji kampanyenya, sehingga masyarakat pemilih memiliki bukti atau kekuatan hukum untuk diajukan kepengadilan, apabila janji-janji sang calon tidak terbukti dalam pelayanannya. Kontrak politik secara tertulis itu juga merupakan sebuah janji lagi.
Janji ‘pendidikan dan kesehatan gratis’ dari sang Gubernur Sulsel terpilih dalam kampanye akan bermakna kalau dibuktikan dalam pelayanan. Mungkinkah hal itu terjadi?  Mengapa tidak? Masyarakat Sulsel menantikan pembuktian dari janji-janji kampanye selama ini.
Merealisasikan Janji
Tak cukup teriakan janji ‘pendidikan dan kesehatan gratis’ dari sang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih hanya bergaung pada saat kampanye, melainkan perlu dibuktikan dalam tindakan nyata.   
Menurut asumsi saya, janji ‘pendidikan dan kesehatan gratis’ dari Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dapat terealisasikan, apabila: Pertama, sang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih bersama jajarannya mampu ‘bekerja keras’ untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Sulsel dengan cara: (a) pandai-pandai menggali berbagai potensi kekayaan daerah yang belum tersentuh selama ini, (b) sedapat mungkin menghemat anggaran dengan tidak membiayai proyek-proyek yang mubazir serta (c) memberikan sanksi yang tegas kepada kontraktor, sekalipun kontraktor itu memiliki andil dalam proses politik pada pilkada langsung, sehingga PEMDA Sulsel memiliki dana yang cukup untuk dialokasikan ke pos pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih perlu bekerja sesuai visi dan misinya yang disampaikan kepada masyarakat pada saat kampanye. Sebab salah satu faktor masyarakat menjatuhkan pilihnya pada pilkada langsung karena program yang telah disampaikan kepada masyarakat Sulsel. Karena apalah artinya visi dan misi yang dimiliki sang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kalau tidak direalisasikan. Visi dan misi itu adalah kompas bagi sang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih untuk mengatur, mengelola serta mengurus pembangunan di daerah Sulsel 5 tahun ke depan secara transparan, adil dan merata tanpa membeda-bedakan rakyat yang mendukung dan tidak mendukung pada proses pilkada langsung. Ringkasnya, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih hendaknya tidak saja bersemangat dalam menyampaikan program pembangunan Sulsel lima tahun ke depan, tetapi berusaha mengimplementasikan isi janji kampanye pada saat pilkada langsung dalam membangun daerah Sulsel karena masyarakat memegang teguh isi janji kampanye tersebut. Ketiga, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih diminta tidak sibuk menjalankan ‘politik balas budi’ serta juga tidak menghabiskan energi untuk menjalankan ‘politik balas dendam’. Sebaliknya, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih diharapkan dapat merangkul semua pihak, termasuk rakyat yang tidak memilih mereka pada saat pilkada langsung. Tujuannya agar dapat memulihkan kondisi masyarakat yang terkotak-kotak pada saat pilkada sehingga proses pemerintahan yang dijalankan dengan misi: ‘bersama rakyat menuju sejahtera’ dapat diaktualisasikan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Sulsel. Keempat, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berupaya meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang sudah ada untuk kepentingan masyarakat Sulsel. Caranya, Gubernur harus mampu memilih pejabat fungsional yang memiliki kemampuan yang dapat menunjukkan prestasi, dan bukan hanya sekedar untuk teman ngobrol. Karena apalah gunanya kalau kemampuan yang dimiliki oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih tetapi tidak diimbangi dengan para pejabat yang tidak bekerja baik dan hanya melapor asal bapak senang (ABS), maka segala janji yang dimuntahkan pada saat kampanye akan sia-sia. Kelima, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih perlu membangun relasi dengan masyarakat secara langsung. Sebab dengan membangun relasi yang baik dapat membangun Provinsi Sulsel menjadi lebih sejahtera. Relasi yang berkualitas tidak hanya dengan rakyat yang memiliki kemampuan ekonomi dan sosial, tetapi juga rakyat yang benar-benar tidak memiliki kemampuan ekonomi dan sosial. Keenam, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih harus berani memberantas penyakit KKN dengan membentuk lembaga independen agar lebih jernih dalam proses penyelesaiannya. Untuk itu, Gubernur terpilih harus selektif dan hindari kolega yang menghancurkan kepemimpinannya. Selain itu, Gubernur harus tegas mengawasi para PNS berseragam yang sering keluyuran pada jam kerja atau hanya duduk ngobrol pada jam dinas sambil menunggu jam kantor tiba. Artinya, para pejabat Provinsi Sulsel perlu mengefektivitaskan waktu kerja sehingga pembangunan di daerah Sulsel dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Apabila semua hal itu dapat berjalan dengan baik, maka Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih tidak hanya berjanji tentang pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat Sulsel, melainkan mereka ‘memberikan bukti’ atas janji-janjinya. Mari kita mendukung program kerja Gubernur terpilih demi pembangunan daerah Sulsel yang lebih sejahtera, mandiri dan bermartabat.*


[1]Martin Jimung,S.Fil.M.Si adalah alumni Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, dan saat ini sebagai dosen AKPER Fatima Parepare, Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar