Martin Jimung,S.Fil.M.Si [1]
Pilkada
Sulsel yang berlangsung pada tanggal 6 Nopember 2007 berjalan aman dan sukses. Secara
politis, patut kita mengangkat jempol karena masyarakat Sulsel pada umumnya dan
para kandidat khususnya cukup dewasa dalam berpolitik. Hal ini terlihat dari
proses awal pilkada hingga penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur
terpilih.
Selain itu, pilkada
Sulsel yang berlangsung aman dan sukses itu mengisyaratkan kepada kita bahwa
proses demokratisasi telah terjadi di Provinsi Sulsel. Semua itu terjadi karena
masing-masing pihak, baik KPUD, para kandidat, partai politik atau gabungan
partai politik pengusung kandidat maupun masyarakat Sulsel umumnya tahu menempatkan
diri pada fungsinya masing-masing. Karena dengan mengetahui serta memahami
perannya, kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencederai citra
demokrasi dapat dieliminir. Buktinya, pelaksanaan pilkada langsung di Provinsi Sulsel
berjalan sesuai perintah UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pilkada
Sulsel telah berakhir, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih hampir pasti dimenangkan
oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo - Agus Arifin Nu’mang. Tinggal saja KPUD Sulsel menetapkan dan mengumumkan secara luas kepada masyarakat
Sulsel sesuai tanggal yang telah ditetapkannya 16 Nopember 2007 yang akan
datang. Karena berdasarkan berita yang dilansirkan oleh media massa Fajar (12/11/2007), Syahrul Yasin Limpo - Agus Arifin Nu’mang unggul dalam pilkada Sulsel dengan mendulang 1.431.934 suara atau 39,53 persen dari total 3.662.100 suara. Karena
itu, keatas pundak kedua pemimpin ini, masyarakat Sulsel menaruh harapan agar
pembangunan di bumi Sulsel semakin lebih baik dari sebelumnya. Sementara kedua pemimpin
yang memenangkan pilkada langsung sudah siap mengendalikan dan menjalankan roda
pemerintahan di Provinsi Sulsel 5 tahun ke depan. Hal itu terbaca dari reaksi-reaksi
positif dari kedua pemimpin ketika mendengar berita bahwa mereka menang tipis
dari rival politiknya pasangan Amin Syam - Mansyur Ramly (Fajar,12/11/2007).
Tetapi,
ada suatu hal yang akan menghantui aktivitas mereka sebagai Kepala Daerah
Sulsel terpilih nanti, yakni: Apakah keduanya mampu mengimplementasikan secara
kongkrit ‘janji-janji
pemilu’ yang telah mereka ucapkan pada saat
kampanye pilkada dalam merancang dan membumikan program pembangunan daerah Sulsel
yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan bermartabat. Teristimewa
janji-janji kampanye yang berkaitan dengan ‘pendidikan dan kesehatan
gratis’. Sebab rakyat Sulsel sedang menagih realisasi
janji-janji tersebut.
Janji
Pendidikan dan Kesehatan Gratis
Dalam kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel lalu, ada
janji ‘pendidikan
dan kesehatan gratis’ dari pasangan Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang atau yang disingkat dengan sebutan Sayang. Janji kampanye tersebut
dikemas dalam bahasa yang santun, menarik dan menyentuh nurani rakyat Sulsel
yang mayoritas petani. Janji kampanye disampaikan oleh sang calon Gubernur
maupun oleh tim sukses dan partai politik yang mengusungnya dengan bahasa
ajakan: ‘Mau
Gratis ..….Pendidikan dan Kesehatan, Coblos ….No. 3’ (Fajar Harian Pagi Makassar, 1/11/2007).
Bahkan sang Gubernur terpilih sendiri dalam
berbagai kesempatan kampanye pilkada beriktiar ‘dirinya bersama wakil siap
mundur jika tak mampu merealisasikan pendidikan dan kesehatan gratis jika
dipercaya masyarakat memimpin Sulsel 5 tahun ke depan’.
Janji kampanye ini
menarik perhatian penulis karena ada itikat baik dari sang calon Gubernur untuk
menyukseskannya jika ia terpilih sebagai Gubernur Sulsel periode 2008-2013.
Kini sang pemberi janji itu telah terpilih sebagai Gubernur Sulsel, tinggal saja
bagaimana ia merealisasikan janjinya.
Kata janji dalam arti
sebenarnya sangat sakral. Karena ia mengandung ikrar yang perlu ditepati oleh
pelaku dalam tindakan nyatanya. Konkuensinya, janji itu memberi rasa pasti
kepada pihak pendengar atau pelanggannya. Hal ini tidak gampang dicapai. Karena
supaya bisa membuktikan janjinya, pihak pemberi janji harus memiliki
pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam memenuhi apa yang ia ucapkan. Janji
saja tidak cukup, tetapi perlu dibuktikan dalam pelayanan atau tindakan
kongkrit. Artinya, sang pemberi janji justru bisa merealisasikan dalam tindakan
nyatanya sehingga penerima janji dapat diyakini. Karena itu, berjanji tidak
mudah. Karena berjanji bukan suatu yang diucapkan saja, melainkan justru aktif
dalam tindakan yang perlu diambil selanjutnya. Maka pihak yang berjanji perlu
memiliki ilmu ‘kesadaran
diri’ akan konsekuensi tentang apa yang
diucapkannya. Singkatnya, pihak pemberi janji memiliki kepastian yang timbul
dari perasaan aman dan keterjaminan omongannya sehingga menumbuhkan kepercayaan
dari pihak yang mendengarkannya.
Sedangkan secara politis,
janji-janji dalam kampanye merupakan hal yang lumrah, yang sah-sah saja. Bahkan
janji itu termasuk salah satu dimensi penting dalam kampanye. Sang calon atau
tim sukses dan partai politik yang ingin menarik massa pendukungnya harus berjanji (berbohong,red) di depan masyarakat. Selain itu, janji dalam kampanye merupakan
salah satu strategi politik ‘kepentingan
diri’ yang dikembangkan oleh sang calon atau tim
sukses dan partai politik demi mencari empati dari masyarakat. Berempati dalam
kampanye politik bukan berarti pihak pengumbar janji selalu tepati apa yang ia
janjikan terhadap masyarakat. Tetapi dia mau mencek apa keinginan masyarakat
yang sebenarnya. Setelah mengetahui keinginan masyarakat secara detail, ia
justru menentukan sikap secara lebih tepat. Dalam berempati, sang pemberi janji
harus mampu berkomunikasi secara pribadi dan mudah dihubungi. Tetapi, berempati
dalam janji kampanye itu tidak mudah. Karena empati bukan berarti sesuatu yang
bersifat pasif. Melainkan justru aktif mendengar sambil berpikir tentang
alternatif tindakan apa yang secara tepatnya akan mempengaruhi masyarakat untuk
menjatuhkan pilihannya pada sang pemberi janji itu.
Di Indonesia, janji
kampanye itu bukan menjadi rahasia lagi. Karena tampa melakukan riset pun, janji sudah
mendarah daging bagi kalangan masyarakat Indonesia. Entah itu dilakukan oleh
kalangan atas sampai pada masyarakat biasa. Pertanyaannya adalah, apakah janji
kampanye bisa dipegang kebenarannya dalam tindakan nyata?
Janji kampanye sang Gubernur
Sulsel terpilih periode 2008-2013, saya melihat ada tiga dimensi yang tersurat
secara implisit di dalamnya. Pertama,
sang Gubernur terpilih ingin mendapatkan dukungan suara sebanyak-banyaknya.
Saya kira, ini adalah suatu siasat politik kepentingan yang jitu. Hasil
pengamatan saya menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya dan Sulsel
khususnya mudah terprovokasi atau mudah merasa ibah oleh janji-janji yang
kebenarannya belum teruji. Kedua, saya
melihat dimensi pembohongan dalam bentuk janji kampanye yang belum banyak disadari
oleh masyarakat Indonesia.
Karena janji kampanye memang sudah banyak dibuat, tetapi kenyataan belum banyak
pembuktiannya. Misalnya, janji kampanye Pilpres tahun 2004 dari SBY-JK tentang ‘akan menegakan
supremasi hukum’. Tetapi, kenyataan sampai saat ini
belum banyak terealisasikan. Kita berharap, janji kampanye sang Gubernur Sulsel
terpilih tentang ‘pendidikan
dan kesehatan gratis’ dapat direalisasikan dalam
pembangunan yang berkesinambungan demi mencapai kesejahteraan masyarakat Sulsel.
Ketiga, janji kampanye dapat menumbuhkan trust (kepercayaan) dari masyarakat pemilih. Tetapi, unsur kepercayaan ini tidak cukup
dijelaskan lewat kata-kata saja, melainkan harus dibuktikan melalui tindakan
kongkrit dalam pelayanan 5 tahun ke depan.
Setahu saya, belum ada
calon dalam pemilihan Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah di Indonesia
yang berani mengatakan dalam kampanye: ‘saya memberi bukti dan bukan
berjanji’. Singkatnya, belum ada calon dalam
kampanye yang berani membuat kontrak politik secara tertulis sebagai ‘kekuatan hukum
tetap’ dengan masyarakat pemilihnya atas kebenaran
janji-janji kampanyenya, sehingga masyarakat pemilih memiliki bukti atau
kekuatan hukum untuk diajukan kepengadilan, apabila janji-janji sang calon
tidak terbukti dalam pelayanannya. Kontrak politik secara tertulis itu juga
merupakan sebuah janji lagi.
Janji ‘pendidikan dan
kesehatan gratis’ dari sang Gubernur Sulsel
terpilih dalam kampanye akan bermakna kalau dibuktikan dalam pelayanan.
Mungkinkah hal itu terjadi? Mengapa
tidak? Masyarakat Sulsel menantikan pembuktian dari janji-janji kampanye selama
ini.
Merealisasikan
Janji
Tak cukup teriakan janji ‘pendidikan dan
kesehatan gratis’ dari sang Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih hanya bergaung pada saat kampanye, melainkan perlu dibuktikan
dalam tindakan nyata.
Menurut asumsi saya, janji
‘pendidikan
dan kesehatan gratis’ dari Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih dapat terealisasikan, apabila: Pertama, sang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih bersama jajarannya mampu
‘bekerja
keras’ untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) Sulsel dengan cara: (a) pandai-pandai menggali
berbagai potensi kekayaan daerah yang belum tersentuh selama ini, (b) sedapat
mungkin menghemat anggaran dengan tidak membiayai proyek-proyek yang mubazir
serta (c) memberikan sanksi yang tegas kepada kontraktor, sekalipun kontraktor
itu memiliki andil dalam proses politik pada pilkada langsung, sehingga PEMDA
Sulsel memiliki dana yang cukup untuk dialokasikan ke pos pendidikan dan
kesehatan gratis. Kedua, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih perlu bekerja sesuai visi dan
misinya yang disampaikan kepada masyarakat pada saat kampanye. Sebab salah satu
faktor masyarakat menjatuhkan pilihnya pada pilkada langsung karena program
yang telah disampaikan kepada masyarakat Sulsel. Karena apalah artinya visi dan
misi yang dimiliki sang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kalau tidak
direalisasikan. Visi dan misi itu adalah kompas bagi sang Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih untuk mengatur, mengelola serta mengurus pembangunan di
daerah Sulsel 5 tahun ke depan secara transparan, adil dan merata tanpa
membeda-bedakan rakyat yang mendukung dan tidak mendukung pada proses pilkada
langsung. Ringkasnya, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih hendaknya tidak saja
bersemangat dalam menyampaikan program pembangunan Sulsel lima tahun ke depan,
tetapi berusaha mengimplementasikan isi janji kampanye pada saat pilkada
langsung dalam membangun daerah Sulsel karena masyarakat memegang teguh isi
janji kampanye tersebut. Ketiga, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih diminta tidak sibuk
menjalankan ‘politik balas
budi’ serta juga tidak menghabiskan energi untuk menjalankan ‘politik balas
dendam’. Sebaliknya, Gubernur dan Wakil Gubernur
terpilih diharapkan dapat merangkul semua pihak, termasuk rakyat yang tidak
memilih mereka pada saat pilkada langsung. Tujuannya agar dapat memulihkan
kondisi masyarakat yang terkotak-kotak pada saat pilkada sehingga proses
pemerintahan yang dijalankan dengan misi: ‘bersama rakyat menuju
sejahtera’ dapat diaktualisasikan dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat Sulsel. Keempat, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berupaya meningkatkan SDM (Sumber
Daya Manusia) yang sudah ada untuk kepentingan masyarakat Sulsel. Caranya, Gubernur
harus mampu memilih pejabat fungsional yang memiliki kemampuan yang dapat
menunjukkan prestasi, dan bukan hanya sekedar untuk teman ngobrol. Karena
apalah gunanya kalau kemampuan yang dimiliki oleh Gubernur dan Wakil Gubernur
terpilih tetapi tidak diimbangi dengan para pejabat yang tidak bekerja baik dan
hanya melapor asal bapak senang (ABS), maka segala
janji yang dimuntahkan pada saat kampanye akan sia-sia. Kelima, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih perlu membangun relasi dengan
masyarakat secara langsung. Sebab dengan membangun relasi yang baik dapat
membangun Provinsi Sulsel menjadi lebih sejahtera. Relasi yang berkualitas
tidak hanya dengan rakyat yang memiliki kemampuan ekonomi dan sosial, tetapi
juga rakyat yang benar-benar tidak memiliki kemampuan ekonomi dan sosial. Keenam, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih harus berani memberantas
penyakit KKN dengan membentuk lembaga independen agar lebih jernih dalam proses
penyelesaiannya. Untuk itu, Gubernur terpilih harus selektif dan hindari kolega
yang menghancurkan kepemimpinannya. Selain itu, Gubernur harus tegas mengawasi
para PNS berseragam yang sering keluyuran pada jam kerja atau hanya duduk
ngobrol pada jam dinas sambil menunggu jam kantor tiba. Artinya, para pejabat
Provinsi Sulsel perlu mengefektivitaskan waktu kerja sehingga pembangunan di
daerah Sulsel dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Apabila semua hal itu
dapat berjalan dengan baik, maka Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih tidak hanya
berjanji tentang pendidikan
dan kesehatan gratis bagi masyarakat Sulsel,
melainkan mereka ‘memberikan
bukti’ atas janji-janjinya. Mari kita mendukung
program kerja Gubernur terpilih demi pembangunan daerah Sulsel yang lebih
sejahtera, mandiri dan bermartabat.*
[1]Martin Jimung,S.Fil.M.Si adalah alumni Politik Lokal dan Otonomi Daerah
UGM, dan saat ini sebagai dosen AKPER Fatima Parepare, Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar