Martinus
Jimung,S.Fil.M.Si[1]
Pemilihan langsung wali kota Parepare 2008 tidak lama lagi. Hal itu
ditandai dengan maraknya perang spanduk sebagai bukti ‘kampanye tidak
langsung’ yang kian ramai menghiasi kota Parepare dan
sekitarnya. Salah satunya, para balon wali kota dan wakil wali kota dalam proposisi atau pernyataan tertulis
pada berbagai perang spanduk menyatakan komitmennya untuk ikut bertarung dalam
pemilihan langsung wali kota
Parepare 2008.
Realitas tersebut dapat kita baca dengan
mata telanjang pada berbagai poster atau spanduk yang terpasang di tempat-tempat
strategis kota
Parepare dan sekitarnya. Seperti di perempatan jalan umum, lampu merah,
pertokoan, pasar serta di depan rumah tim suksesi dan para pendukung setianya. Tujuannya,
agar dapat dibaca oleh kalangan masyarakat luas.
Menjamurnya perang spanduk para balon wali
kota itu
menunjukkan kepada masyarakat pemilih bahwa pemilihan wali kota Parepare 2008 kian mendekat. Selain itu,
pemilihan wali kota Parepare 2008 akan semakin ‘seru’ karena menampilkan balon
putra daerah yang berkualitas serta syarat pengalaman dalam dunia pemerintahan
dan politik praktis.
Pertanyaannya, kini bukan lagi mengapa perang
spanduk menjadi media kampanye tidak langsung bagi para balon, tetapi apa makna
perang spanduk bagi para balon? Tulisan
ini coba menjawab pertanyaan tersebut.
Makna Perang Spanduk
Ada empat kemungkinan jawaban. Pertama, makna politis, yakni: suatu strategi ‘politik kepentingan’ diri para balon dalam menarik simpati dan empati masyarakat untuk menjatuhkan
pilihannya. Karena itu, para balon mengemas bahasa perang spanduknya dalam berbagai
bentuk. Antara lain dalam bentuk persuasif, misalnya: ‘Maju untuk mengabdi
kepada masyarakat’, ‘Saatnya kaum muda berbicara’, ‘Bangkit untuk perubahan’
dan ‘Mari bersama-sama membangun kota Parepare menjadi kota yang bersih dari
perilaku korupsi guna mewujudkan masyarakat sejahtera dan berkeadilan’. Tetapi, ada juga dalam bentuk evoria kedaerahannya yang sangat
kental, seperti:
‘Kota Parepare
tempatku dilahirkan dan dibesarkan, perkenankan aku mengabdi secara jujur, adil
dan amanah’. Selain itu, ada pula dalam bentuk
kritikan tajam yang menilai pola kepemimpinan terdahulu tidak berbuat banyak,
seperti: ‘Sudah
saatnya kita mendukung figur yang bisa berbuat dan siap mengabdi’.
Kedua, makna ekonomi. Secara ekonomi maraknya perang spanduk setidaknya
menunjukkan kemampuan ekonomi para balon bahwa mereka memiliki modal yang
besar. Sebab sadar atau tidak pilkada langsung saat ini merupakan ‘judi terbesar’ karena membutuhkan kost yang sangat besar pula. Rupanya hanya orang
yang berduit yang berani maju dalam pilkada. Mengapa tidak. Karena secara
ekonomi kita bisa memprediksi, bila spanduk atau poster yang ukuran 1 x 2 meter
dijual dengan harga Rp100.000, dan kalau 1000 spanduk berarti membutuhkan dana
Rp 100 juta. Spanduk saja sudah sangat besar kostnya, apa lagi kalau
ditambahkan dengan atribut-atribut lain seperti transport, bendera, pamflet,
foto, kartu, baju, tim suksesi, dan sebagainya. Pada tahap ini, mungkin benar
keluhan masyarakat bahwa hanya orang bermodal yang bisa maju dalam pilkada
langsung bisa dipahami dalam konteks ini. Tetapi, perlu diakui bahwa
menjamurnya perang spanduk menjadi penghasilan tambahan bagi kas daerah dan para
pelukis. Karena setiap pemasangan spanduk atau poster perlu mendapat izin dari
pemerintah daerah, teristimewa dari pemerintah bagian tata kota serta dikenai pajak. Selain itu, para
pelukis kebanjiran orde lukisannya sehingga penghasilannya meningkat.
Ketiga, makna psikologi. Ditinjau dari aspek psikologi, perang spanduk
merupakan tanda ‘kegelisahan
dan ketidak percayaan diri’ (kurang
pede) dari para balon terhadap masyarakat pemilih. Para balon meragukan diri dan kemampuannya, apakah mereka
layak mendapatkan dukungan atau tidak dari masyarakat. Karena itu dia menciptakan
berbagai sensasi dengan satu misi terselubung agar dia dikenal dan diterima
oleh masyarakat luas.
Keempat, makna sosio kemasyarakatan. Secara sosio kemasyarakatan, perang
spanduk mengandung makna untuk memperkenalkan diri para balon kepada masyarakat
luas bahwa siapa dia sesungguhnya. Selain itu, para balon mau mensosialisasikan
visi-misi perjuangannya serta pola kepemimpinannya lima tahun ke depan sehingga pada akhirnya dapat
membangkitkan opini masyarakat tentang para balon dan menjatuhkan pilihannya
yang tepat.
Berpijak pada empat makna di atas, dapat
disimpulkan bahwa perang spanduk dalam menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008
mengandung dua arah, yakni: bagi masyarakat pemilih dan para balon sendiri. Pertama, bagi masyarakat pemilih, perang spanduk merupakan tahap perkenalan
diri para balon dalam mensosialisasikan visi-misi perjuangannya. Selain itu, sebagai
catatan kritis bagi para pemilih untuk menilai apakah sang balon sungguh-sungguh
memperjuangkan kepentingan masyarakat atau tidak. Kedua, bagi para balon sendiri, perang spanduk adalah suatu strategi
politik kepentingan untuk menarik hati para pemilih. Bagi masyarakat yang tidak
kritis dan mudah terbuai (terpengaruh, red) oleh berbagai proposisi para balon
akan menimbulkan simpati dan empati untuk menentukan arah pilihannya.
Sebaliknya bagi masyarakat yang cerdas, mereka tidak membutuhkan
proposisi-proposisi, melainkan pembuktian.
Tujuan Perang Spanduk
Satu pertanyaan,
apa tujuan perang spanduk menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008? Karena ada kepentingan
politik yang mau diperjuangkan. Kepentingan politik yang bukan menjadi rahasia
umum lagi, yakni: mendapatkan jabatan dan pengabdian kepada masyarakat.
Kepentingan politik itulah yang membuat
para balon berjuang sekuat tenaga mempengaruhi para pemilih untuk menjatuhkan pilihannya.
Karena politik adalah ‘seni’ mempengaruhi orang lain. Maka instrument pertama
dalam politik bukanlah vox (suara), melainkan argumentasi. Argumentasi itu
bertujuan untuk mempengaruhi dan meyakinkn orang lain dalam menentukan sikap
atau pilihannya demi mencapai kesejahteraan bersama.
Salah satu bentuk mempengaruhi orang lain
dalam kampanye tidak langsung menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008 adalah perang spanduk. Maraknya
pemasangan spanduk di berbagai tempat strategis belakangan ini mengubah opini
masyarakat untuk menentukan figur yang paling pas yang dapat mengendalikan roda
pemerintahan kota
Parepare lima
tahun ke depan.
Akan tetapi, perang spanduk juga membuka
ruang publik untuk mengkaji ulang setiap proposisi para balon dalam perang
spanduk itu. Karena tidak selalu merupakan cermin realitas. Pernyataan-pernyataan
atau proposisi-proposisi dalam perang spanduk mengandung satu tujuan politik
tertentu, yang kadang-kadang masih jauh dari kebenaran.
Socrates dalam logika berpikir kritis
menjelaskan apa itu kebenaran (Ibi est verum)?
Kebenaran adalah keseimbangan antara teori dan kenyataan, atau antara
pernyataan dan tindakan konket dalam kehidupan nyata. Berarti setiap proposisi
tidak sekedar bahasa politik untuk mempengaruhi masyarakat, tetapi menuntut
diekspresikan dalam hidup kongkrit. Karena masyarakat pemilih semakin cerdas
dan kritis membaca efek politik dan kultural dari setiap pernyataan politik.
Implikasi bagi Pemilihan Wali Kota Parepare
Perang spanduk dapat
menjadi sebuah sarana kampanye tidak langsung dan publisitas diri para balon
memiliki implikasi yang sangat besar terhadap pemilihan wali kota Parepare 2008. Karena perang spanduk
menyongsong pemilihan wali kota
Parepare dapat memberikan implikasi ganda.
Di satu pihak, melalui perang spanduk, masyarakat kota Parepare mengungkapkan rasa simpati dan
empati terhadap para balon. Di pihak lain, perang spanduk dapat menjadi media
penilaian kritis masyarakat terhadap para balon tentang kegigihan perjuangannya
untuk kepentingan masyarakat pada umumnya atau kelompok dan partai politiknya.
Meski perang
spanduk menyongsong pemilihan wali kota
Parepare 2008 syarat kepentingan politik, tetapi masyarakat diharapkan tetap
positive thinking. Sebagai peserta pemilih, kita semestinya mendukung sang
balon untuk maju. Tetapi di pihak lain tidak menghilangkan penilaian kritis kita
terhadap balon, mana yang benar-benar berjuang untuk kepentingan masyarakat,
dan mana yang tidak. Pemilihan secara
langsung wali kota
Parepare 2008 adalah batu ujian bagi reformasi dan demokratisasi di daerah
Parepare, apakah masyarakat memilih balon karena sesuai pilihan nuraninya atau
karena kepentingan politik tertentu. Mengapa tidak.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar