Minggu, 21 Juni 2015

PENDERITAAN MASYARAKAT KORBAN LUMPUR LAPINDO DAN KEPEKAAN NURANI PT LAPINDO

Martin Jimung[1]


Ini adalah keterlaluan dari PT Lapindo. Sudah ada kesepakatan bersama untuk membayar ganti rugi rumah, tanah, dan sawah masyarakat yang terendam lumpur dengan harga Rp 2.500.000,- meter persegi  untuk rumah dan Rp 2.000.000,-untuk tanah. Tapi, sampai hari ini belum 100% terealisasi kesepakatan tersebut. Bahkan alasan tersendatnya pembayaran ganti rugi itu disebabkan karena banyak tanah masyarakat korban lumpur Lapindo yang belum memiliki sertifikat. Sekali lagi sudah keterlaluan. Dimanakah nurani kemanusiaan PT Lapindo? Saya belum menemukan kata-kata yang tepat dan pas untuk mengungkapkan sikap PT Lapindo tersebut. Saya pikir, apa salahnya untuk sementara saya menyebutnya dengan ‘matinya’ nilai nurani kemanusiaan PT Lapindo untuk merelaisasikan kesepakatan tersebut. Sebab, itulah gejala yang memang terjadi saat ini.
Kini masyarakat korban lumpur Lapindo  melakukan berbagai aksi seperti penutupan jalan arah Malang-Surabaya, demo ke gedung DPRD Surabaya, dan bahkan beberapa utusan ke Jakarta bertemu Presiden untuk meminta kepastian nasib mereka yang lagi terkatung-katung.
Saya kira, masyarakat korban lumpur Lapindo menuntut tidak lebih dari hak miliknya yang terendam lumpur. Buntuh dari tuntutan mereka adalah mengancam memboikot untuk tidak membayar pajak. Ini adalah indikator bahwa masyarakat korban lumpur Lapindo tidak ada jalur lain lagi untuk menyampaikan aspirasinya, yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Dengan demikian, nilai PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang diterima oleh Pemerintah Daerah akan menurun. Mereka menjadi sadar bahwa Pemerintah Daerah, DPRD dan PT Lapindo sendiri kurang bersemangat mengatasi penderitaan masyarakat korban lumpur Lapindo.
Itulah penderitaan masyarakat korban lumpur Lapindo dan penderitaan kita bersama. Sebab mereka adalah bagian dari warga bangsa Indonesia. Penderitaan masyarakat korban luapan lumpur Lapindo akan berlarut-larut kalau PT Lapindo tidak memiliki kemauan baik untuk segera memenuhi kesepakatan ganti rugi rumah dan tanah yang terendam lumpur. Karena itu, membangun rumah dan membuka usaha baru mereka tidak memiliki apa-apa lagi. Mereka hanya berpasrah pada pemerintah dan PT Lapindo untuk menuntaskan kesepakatan yang telah ditanda tangani itu.
Tentu saja, mereka tidak bisa memaksa Pemerintah dan PT Lapindo karena mereka tahu bahwa di Indonesia belum ada budaya orang kecil memerintah pemerintah dan kaum bermodal. Karena mereka tidak punya kuasa untuk mengadili Pemerintah dan PT Lapindo. Dengan demikian, masyarakat korban lumpur Lapindo hanya bisa menggunakan haknya untuk tidak membayar pajak.
Di luar negeri, kita melihat gejala sebaliknya. Masyarakat memiliki akses yang sama dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Mereka bisa menekan Pemerintah atau pihak-pihak yang berkuasa untuk memenuhi kewajibannya sebagai pelayan (abdi) masyarakat. Karena mereka diberi gaji dan kuasa untuk melayani masyarakat. Berbeda dengan iklim di Indonesia. Antara masyarakat dan pemerintah ada sekat pemisah yang cukup tajam. Ada tertulis dan bahkan diundang-undangkan yang mengatakan pemerintah sebagai ‘abdi masyarakat’, tetapi hanya tertulis di atas kertas dan kurang direalisasikan dalam kehidupan nyata.
Lalu, bagaimana dengan kasus lumpur Lapindo? Siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab. Apakah kendalanya karena masyarakat korban lumpur Lapindo banyak yang tidak memiliki sertifikat tanah sehingga pembayaran ganti rugi rumah dan tanah berlarut-larut?
Menurut saya, PT Lapindo harus bertanggung jawab atas bencana lumpur yang menimpa masyarakat perumtas Siduarjo. PT Lapindo perlu berpikir lebih manusiawi. Artinya, ganti rugi segera direalisasikan agar penderitaan masyarakat korban lumpur Lapindo dapat dieliminir. Di mana masyarakat dapat menggunakan dana ganti rugi tersebut untuk membeli tanah, membangun rumah dan membuka usaha baru.
Selain itu, pihak-pihak yang memiliki saham pada PT Lapindo, seperti Aburizal Bacri dan Arifin Dipanegoro harus lebih jantan menyatakan bertanggung jawab atas meluapnya lumpur Lapindo. Mereka tidak boleh lari dari tanggung jawab. Sebaliknya, mereka harus rela memberikan kekayaannya kepada masyarakat korban lumpur Lapindo agar penderitaan mereka bisa teratasi. Saya yakin, kalau itu yang dibuat oleh mereka, maka lebih terhormat daripada mereka disebut orang yang lari dari tanggung jawab. Mungkinkah hal itu terjadi? Kita menunggu kemauan baik dari PT Lapindo dan pemerintah. Karena itu, yang dinanti-nantikan oleh masyarakat korban lumpur lapindo pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.*

 



[1]Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah. Sekarang tinggal di Jl. Kawi IV No.30 RT007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar