Martin
Jimung[1]
Ini adalah keterlaluan dari PT Lapindo.
Sudah ada kesepakatan bersama untuk membayar ganti rugi rumah, tanah, dan sawah
masyarakat yang terendam lumpur dengan harga Rp 2.500.000,- meter persegi untuk rumah dan Rp 2.000.000,-untuk tanah.
Tapi, sampai hari ini belum 100% terealisasi kesepakatan tersebut. Bahkan alasan
tersendatnya pembayaran ganti rugi itu disebabkan karena banyak tanah
masyarakat korban lumpur Lapindo yang belum memiliki sertifikat. Sekali lagi sudah
keterlaluan. Dimanakah nurani kemanusiaan PT Lapindo? Saya belum menemukan kata-kata
yang tepat dan pas untuk mengungkapkan sikap PT Lapindo tersebut. Saya pikir,
apa salahnya untuk sementara saya menyebutnya dengan ‘matinya’ nilai nurani kemanusiaan PT Lapindo untuk merelaisasikan
kesepakatan tersebut. Sebab, itulah gejala yang memang terjadi saat ini.
Kini masyarakat korban lumpur Lapindo melakukan berbagai aksi seperti penutupan
jalan arah Malang-Surabaya, demo ke gedung DPRD Surabaya, dan bahkan beberapa
utusan ke Jakarta bertemu Presiden untuk meminta kepastian nasib mereka yang
lagi terkatung-katung.
Saya kira, masyarakat korban lumpur
Lapindo menuntut tidak lebih dari hak miliknya yang terendam lumpur. Buntuh
dari tuntutan mereka adalah mengancam memboikot untuk tidak membayar pajak. Ini
adalah indikator bahwa masyarakat korban lumpur Lapindo tidak ada jalur lain
lagi untuk menyampaikan aspirasinya, yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
Dengan demikian, nilai PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang diterima oleh
Pemerintah Daerah akan menurun. Mereka menjadi sadar bahwa Pemerintah Daerah,
DPRD dan PT Lapindo sendiri kurang bersemangat mengatasi penderitaan masyarakat
korban lumpur Lapindo.
Itulah penderitaan masyarakat korban
lumpur Lapindo dan penderitaan kita bersama. Sebab mereka adalah bagian dari
warga bangsa Indonesia.
Penderitaan masyarakat korban luapan lumpur Lapindo akan berlarut-larut kalau
PT Lapindo tidak memiliki kemauan baik untuk segera memenuhi kesepakatan ganti
rugi rumah dan tanah yang terendam lumpur. Karena itu, membangun rumah dan
membuka usaha baru mereka tidak memiliki apa-apa lagi. Mereka hanya berpasrah
pada pemerintah dan PT Lapindo untuk menuntaskan kesepakatan yang telah ditanda
tangani itu.
Tentu saja, mereka tidak bisa memaksa Pemerintah
dan PT Lapindo karena mereka tahu bahwa di Indonesia belum ada budaya orang
kecil memerintah pemerintah dan kaum bermodal. Karena mereka tidak punya kuasa
untuk mengadili Pemerintah dan PT Lapindo. Dengan demikian, masyarakat korban
lumpur Lapindo hanya bisa menggunakan haknya untuk tidak membayar pajak.
Di luar negeri, kita melihat gejala
sebaliknya. Masyarakat memiliki akses yang sama dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Mereka bisa menekan Pemerintah atau pihak-pihak yang berkuasa untuk
memenuhi kewajibannya sebagai pelayan (abdi) masyarakat. Karena mereka diberi
gaji dan kuasa untuk melayani masyarakat. Berbeda dengan iklim di Indonesia.
Antara masyarakat dan pemerintah ada sekat pemisah yang cukup tajam. Ada tertulis dan bahkan
diundang-undangkan yang mengatakan pemerintah sebagai ‘abdi masyarakat’, tetapi hanya tertulis di atas kertas dan kurang direalisasikan
dalam kehidupan nyata.
Lalu, bagaimana dengan kasus lumpur
Lapindo? Siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab. Apakah kendalanya
karena masyarakat korban lumpur Lapindo banyak yang tidak memiliki sertifikat
tanah sehingga pembayaran ganti rugi rumah dan tanah berlarut-larut?
Menurut saya, PT Lapindo harus bertanggung
jawab atas bencana lumpur yang menimpa masyarakat perumtas Siduarjo. PT Lapindo
perlu berpikir lebih manusiawi. Artinya, ganti rugi segera direalisasikan agar
penderitaan masyarakat korban lumpur Lapindo dapat dieliminir. Di mana
masyarakat dapat menggunakan dana ganti rugi tersebut untuk membeli tanah,
membangun rumah dan membuka usaha baru.
Selain itu, pihak-pihak yang memiliki
saham pada PT Lapindo, seperti Aburizal Bacri dan Arifin Dipanegoro harus lebih
jantan menyatakan bertanggung jawab atas meluapnya lumpur Lapindo. Mereka tidak
boleh lari dari tanggung jawab. Sebaliknya, mereka harus rela memberikan
kekayaannya kepada masyarakat korban lumpur Lapindo agar penderitaan mereka
bisa teratasi. Saya yakin, kalau itu yang dibuat oleh mereka, maka lebih
terhormat daripada mereka disebut orang yang lari dari tanggung jawab. Mungkinkah
hal itu terjadi? Kita menunggu kemauan baik dari PT Lapindo dan pemerintah.
Karena itu, yang dinanti-nantikan oleh masyarakat korban lumpur lapindo pada
khususnya dan masyarakat Indonesia
pada umumnya.*
[1]Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik Lokal dan Pemerintahan
Daerah. Sekarang tinggal di Jl. Kawi IV No.30 RT007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar