Fenomena
kekerasan di kalangan remaja akhir-akhir ini sungguh menampar lembaga keluarga,
pendidikan dan pemerintah di tanah air. Karena ketiga lembaga ini bersinggungan
langsung dengan kalangan remaja. Anak remaja itu ada dan hidup dalam lingkungan
keluarga dan sekolah serta beraktivitas (entah
positif maupun negatif) pada wilayah kekuasaan
negara atau pemerintah. Karena itu wajarlah, ketika kekerasan telah membudaya
di kalangan remaja, publik mulai menyoroti peran mereka.
Menurut catatan Harian
Umum Kompas 12 Nopember 2007, fenomena ‘kekerasan di sekolah-sekolah
telah menjadi subkultur di kalangan remaja dan kian terorganisasi’. Karena itu, keluarga, sekolah dan pemerintah segera turun tangan agar
tidak melahirkan generasi penerus bangsa yang ‘biadab’, melainkan generasi bangsa yang berbudaya, mencintai kehidupan
serta memiliki rationalitas yang patut dibanggakan dan diteladani.
Kekerasan Membudaya
Menyikapi fenomena
kekerasan yang membudaya di kalangan remaja menimbulkan berbagai reaksi dari elemen masyarakat. Para psikolog yang diwakili oleh Susi Fitri dari Universitas Negeri Jakarta (Kompas,
12/11/2007) misalnya, melihat kekerasan yang terjadi di kalangan remaja
disebabkan oleh ‘tidak memiliki ruang publik yang aksesibel sehingga kesempatan
untuk mengekspresikan keinginan mereka terbatas’. Karena ruang publik di kota sudah diisi dengan mal
sehingga hanya orang yang berduit dapat menyalurkan keinginannya. Sementara
kalangan budayawan, membaca budaya kekerasan di kalangan remaja disebabkan oleh
budaya
paternalistik pada masyarakat Indonesia yang
memandang laki-laki yang ‘hebat’ kalau dia tidak takut mengalami tindakan kekerasan. Artinya,
laki-laki yang berani kalau dia lebih banyak mengandalkan ‘otot’ ketimbang otaknya.
Sedangkan
kalangan pemerhati masalah
HAM (Hak Asasi Manusia), kekerasan yang terjadi di
kalangan remaja dikarenakan mereka pernah dijadikan obyek kekerasan. Maka sebagai
reaksi balas dendamnya dia melakukan kekerasan yang sama kepada orang lain. Hanya
sekedar contoh, kekerasan yang dilakukan oleh siswa atau mahasiswa senior
terhadap adik-adik kelas atau yunior dalam kegiatan ospek masih terus
berlangsung. Pihak sekolah atau universitas tahu bahwa ada tindakan kekerasan yang
terstruktur dalam kegiatan ospek. Tetapi para guru, dosen, kepala sekolah dan
rektor melihatnya sebagai hal yang wajar. Bahkan disikapi sebagai tindakan
penegakan disiplin dan mental kepribadian terhadap para yuniornya. Sebaliknya,
mereka baru terkejut setelah jatuh korban.
Menurut saya, kekerasan yang
membudaya terjadi di kalangan remaja saat ini bukan karena ketiadakan ruang
publik untuk menyalurkan keinginannya sebagaimana dikeluhkan oleh Susi Fitri, dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Jakarta.
Kalau kita jujur terhadap diri dan
dunia, sesungguhnya ada banyak ruang publik yang tersedia, tinggal saja
bagaimana kalangan remaja menyalurkan bakat-bakat dan keinginannya secara tepat
dan benar. Persoalannya bukan pada ketiadaan ruang publik, melainkan minimnya
pengetahuan, kesadaran membaca dan menulis dari kalangan remaja (semoga
tidak semua) serta lemahnya kepekaan sosial untuk
menghormati dan menghargai arti kehidupan dalam mengekspresikan berbagai
aktivitasnya.
Saya melihat ada tiga
faktor penyebab kekerasan yang membudaya di kalangan remaja, yakni: Pertama, krisis
identitas diri. Saya kira publik tahu bahwa hanya
remaja yang tidak mampu menerima diri dan menghormati diri akan melakukan
hal-hal yang menjerumuskan dirinya ke dalam dunia kehancuran. Seperti melakukan
tindakan kekerasan, narkoba, seks bebas dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang
mampu menerima diri akan memberikan pemaknaan terhadap arti hidupnya melalui berbagai
aktivitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Krisis identitas
diri itu muncul karena orang tidak mampu mengendalikan dirinya. Kedua, frustrasi
karena kehilangan kasih sayang dan perhatian.
Remaja yang frustrasi karena kehilangan kasih sayang dan perhatian biasanya melihat
orang lain sebagai obyek pelampiasan ambisinya. Frustrasi itu dapat disebabkan
oleh banyak hal. Salah satunya renggangnya komunikasi antara anak dengan
orangtuanya. Hal itu bisa terjadi karena orangtua kadang sibuk mengejar karier
di berbagai bidang usaha sehingga perhatian dan kasih sayang kepada anaknya
terbagi. Mungkin secara materi kebutuhan anaknya terpenuhi, tetapi kebutuhan
psikologis seperti kasih sayang dan perhatian kurang mereka dapatkan sehingga
cara penyalurannya bisa ditebak. Karena salah satu kebutuhan dasar dari setiap manusia,
termasuk kalangan remaja adalah mencari ‘perhatian’ dengan melakukan berbagai sensasi. Maka kekerasan di kalangan
remaja bisa ditafsir dalam konteks ini. Ketiga, minimnya
pendidikan nilai budi pekerti di dalam lembaga
pendidikan dan keluarga. Sementara nilai budi pekerti merupakan nilai pokok
untuk membentuk kepribadian seseorang. Runtuhnya nilai budi pekerti di dalam
keluarga dan sekolah dapat membuat kalangan remaja menjadi liar, dan bahkan
brutal karena nilai cinta kasih dan menghormati kehidupan belum tertanam dalam
hati nuraninya. Muncul pertanyaan gugat, bagaimana upaya pengendaliannya?
Belajar dari Santeut Pelajar Aceh
Berhadapan dengan
fenomena kekerasan yang membudaya di kalangan remaja, kita perlu introspeksi
diri dan berpikir lebih jernih demi mengambil solusi yang tepat serta berusaha
menguburkan sikap saling melempar tanggung jawab. Sebab sikap saling melempar
tanggung jawab dapat memperpanjang masalah.
Upaya
mengatasi kekerasan yang membudaya di kalangan remaja dibutuhkan kerja sama yang
berkesinambung dari semua pihak untuk mempromosikan pro life (menghormati
kehidupan) guna mengurangi tindakan kekerasan di
kalangan remaja. Baik dari pihak keluarga, sekolah, pemerintah, lembaga agama,
kalangan LSM dan media massa.
Informasi itu berisikan ajakan moral tentang betapa pentingan menghargai
kehidupan dan cara-cara mengekspresikan keinginannya yang benar.
Selain itu, perlu
diaktifkan kembali pendidikan budi pekerti di dalam keluarga dan
sekolah-sekolah swasta maupun negeri. Tujuannya agar kalangan remaja memiliki
kesadaran diri untuk berlaku arif dalam bertindak serta mampu mengembangkan
cinta kasih dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Selanjutnya, upaya
mengatasi kekerasan tidak berhenti sampai di situ. Negara Indonesia
adalah Negara hukum, maka persoalan kekerasan di kalangan remaja kita serahkan
kepada pihak keamanan untuk diproses secara hukum agar dapat memberikan efek
jera kepada pelakunya sehingga dapat menghentikan prilakunya yang bejat dan
kurang manusiawi itu.
Sebagai orang yang senang
membaca dan menulis, saya sangat mengutuk tindakan kekerasan dari kalangan
remaja di satu pihak. Tetapi di pihak lain, saya lebih menganjurkan agar
kalangan remaja perlu menyalurkan ekspresi dirinya ke arah yang lebih positif
dan ilmiah yang dapat bermanfaat bagi diri dan sesama. Dengan kata lain,
kalangan remaja perlu belajar dari Santeut (Kumpulan
Kotbah berupa karangan ilmiah) Pelajar Aceh dalam
mengekspresikan dirinya. Karena Santeut merupakan sebuah gugatan penyadaran diri
bagi kalangan remaja bahwa ternyata ruang publik itu tidak sempit. Dia
membentang luas seluas hidup manusia, tinggal saja bagaimana remaja mengisinya.
Untuk itu, kita tidak
perlu hanyut dalam kekerasan yang telah membudaya di kalangan remaja sebab hal itu
hanyalah ulah segelintir orang. Masih banyak wajah-wajah ceriah di kalangan remaja
seperti yang tercermin pada wajah pelajar dari Aceh. Kalau para pelajar Aceh
bisa menghasilkan Santeut, mengapa
remaja yang lain tidak.
Lebih terhormat dan bermartaba kalau kalangan
remaja berlomba-lomba untuk berbuat baik dengan memanfaatkan otak daripada
melakukan kekerasan dengan menggunakan otot. Karena orang yang menggunakan otot
sebagai bukti bahwa otaknya kosong dan tanda-tanda kehancuran menantinya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar