Minggu, 21 Juni 2015

MENEROPONG FENOMENA KEKERASAN DI KALANGAN REMAJA



Martin Jimung,S.Fil.M.Si[1]

            Fenomena kekerasan di kalangan remaja akhir-akhir ini sungguh menampar lembaga keluarga, pendidikan dan pemerintah di tanah air. Karena ketiga lembaga ini bersinggungan langsung dengan kalangan remaja. Anak remaja itu ada dan hidup dalam lingkungan keluarga dan sekolah serta beraktivitas (entah positif maupun negatif) pada wilayah kekuasaan negara atau pemerintah. Karena itu wajarlah, ketika kekerasan telah membudaya di kalangan remaja, publik mulai menyoroti peran mereka.
Menurut catatan Harian Umum Kompas 12 Nopember 2007, fenomena ‘kekerasan di sekolah-sekolah telah menjadi subkultur di kalangan remaja dan kian terorganisasi’. Karena itu, keluarga, sekolah dan pemerintah segera turun tangan agar tidak melahirkan generasi penerus bangsa yang ‘biadab’, melainkan generasi bangsa yang berbudaya, mencintai kehidupan serta memiliki rationalitas yang patut dibanggakan dan diteladani.
Kekerasan Membudaya
Menyikapi fenomena kekerasan yang membudaya di kalangan remaja menimbulkan  berbagai reaksi dari elemen masyarakat. Para psikolog yang diwakili oleh Susi Fitri dari Universitas Negeri Jakarta (Kompas, 12/11/2007) misalnya, melihat kekerasan yang terjadi di kalangan remaja disebabkan oleh ‘tidak memiliki ruang publik yang aksesibel sehingga kesempatan untuk mengekspresikan keinginan mereka terbatas’. Karena ruang publik di kota sudah diisi dengan mal sehingga hanya orang yang berduit dapat menyalurkan keinginannya. Sementara kalangan budayawan, membaca budaya kekerasan di kalangan remaja disebabkan oleh budaya paternalistik pada masyarakat Indonesia yang memandang laki-laki yang ‘hebat’ kalau dia tidak takut mengalami tindakan kekerasan. Artinya, laki-laki yang berani kalau dia lebih banyak mengandalkan ‘otot’ ketimbang otaknya.
            Sedangkan kalangan pemerhati masalah HAM (Hak Asasi Manusia), kekerasan yang terjadi di kalangan remaja dikarenakan mereka pernah dijadikan obyek kekerasan. Maka sebagai reaksi balas dendamnya dia melakukan kekerasan yang sama kepada orang lain. Hanya sekedar contoh, kekerasan yang dilakukan oleh siswa atau mahasiswa senior terhadap adik-adik kelas atau yunior dalam kegiatan ospek masih terus berlangsung. Pihak sekolah atau universitas tahu bahwa ada tindakan kekerasan yang terstruktur dalam kegiatan ospek. Tetapi para guru, dosen, kepala sekolah dan rektor melihatnya sebagai hal yang wajar. Bahkan disikapi sebagai tindakan penegakan disiplin dan mental kepribadian terhadap para yuniornya. Sebaliknya, mereka baru terkejut setelah jatuh korban.
Menurut saya, kekerasan yang membudaya terjadi di kalangan remaja saat ini bukan karena ketiadakan ruang publik untuk menyalurkan keinginannya sebagaimana dikeluhkan oleh Susi Fitri, dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Jakarta. Kalau  kita jujur terhadap diri dan dunia, sesungguhnya ada banyak ruang publik yang tersedia, tinggal saja bagaimana kalangan remaja menyalurkan bakat-bakat dan keinginannya secara tepat dan benar. Persoalannya bukan pada ketiadaan ruang publik, melainkan minimnya pengetahuan, kesadaran membaca dan menulis dari kalangan remaja (semoga tidak semua) serta lemahnya kepekaan sosial untuk menghormati dan menghargai arti kehidupan dalam mengekspresikan berbagai aktivitasnya.
Saya melihat ada tiga faktor penyebab kekerasan yang membudaya di kalangan remaja, yakni: Pertama, krisis identitas diri. Saya kira publik tahu bahwa hanya remaja yang tidak mampu menerima diri dan menghormati diri akan melakukan hal-hal yang menjerumuskan dirinya ke dalam dunia kehancuran. Seperti melakukan tindakan kekerasan, narkoba, seks bebas dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang mampu menerima diri akan memberikan pemaknaan terhadap arti hidupnya melalui berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Krisis identitas diri itu muncul karena orang tidak mampu mengendalikan dirinya. Kedua, frustrasi karena kehilangan kasih sayang dan perhatian. Remaja yang frustrasi karena kehilangan kasih sayang dan perhatian biasanya melihat orang lain sebagai obyek pelampiasan ambisinya. Frustrasi itu dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya renggangnya komunikasi antara anak dengan orangtuanya. Hal itu bisa terjadi karena orangtua kadang sibuk mengejar karier di berbagai bidang usaha sehingga perhatian dan kasih sayang kepada anaknya terbagi. Mungkin secara materi kebutuhan anaknya terpenuhi, tetapi kebutuhan psikologis seperti kasih sayang dan perhatian kurang mereka dapatkan sehingga cara penyalurannya bisa ditebak. Karena salah satu kebutuhan dasar dari setiap manusia, termasuk kalangan remaja adalah mencari ‘perhatian’ dengan melakukan berbagai sensasi. Maka kekerasan di kalangan remaja bisa  ditafsir dalam konteks ini. Ketiga, minimnya pendidikan nilai budi pekerti di dalam lembaga pendidikan dan keluarga. Sementara nilai budi pekerti merupakan nilai pokok untuk membentuk kepribadian seseorang. Runtuhnya nilai budi pekerti di dalam keluarga dan sekolah dapat membuat kalangan remaja menjadi liar, dan bahkan brutal karena nilai cinta kasih dan menghormati kehidupan belum tertanam dalam hati nuraninya. Muncul pertanyaan gugat, bagaimana upaya pengendaliannya?
Belajar dari Santeut Pelajar Aceh
Berhadapan dengan fenomena kekerasan yang membudaya di kalangan remaja, kita perlu introspeksi diri dan berpikir lebih jernih demi mengambil solusi yang tepat serta berusaha menguburkan sikap saling melempar tanggung jawab. Sebab sikap saling melempar tanggung jawab dapat memperpanjang masalah.
            Upaya mengatasi kekerasan yang membudaya di kalangan remaja dibutuhkan kerja sama yang berkesinambung dari semua pihak untuk mempromosikan pro life (menghormati kehidupan) guna mengurangi tindakan kekerasan di kalangan remaja. Baik dari pihak keluarga, sekolah, pemerintah, lembaga agama, kalangan LSM dan media massa. Informasi itu berisikan ajakan moral tentang betapa pentingan menghargai kehidupan dan cara-cara mengekspresikan keinginannya yang benar.
Selain itu, perlu diaktifkan kembali pendidikan budi pekerti di dalam keluarga dan sekolah-sekolah swasta maupun negeri. Tujuannya agar kalangan remaja memiliki kesadaran diri untuk berlaku arif dalam bertindak serta mampu mengembangkan cinta kasih dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.       
Selanjutnya, upaya mengatasi kekerasan tidak berhenti sampai di situ. Negara Indonesia adalah Negara hukum, maka persoalan kekerasan di kalangan remaja kita serahkan kepada pihak keamanan untuk diproses secara hukum agar dapat memberikan efek jera kepada pelakunya sehingga dapat menghentikan prilakunya yang bejat dan kurang manusiawi itu.
Sebagai orang yang senang membaca dan menulis, saya sangat mengutuk tindakan kekerasan dari kalangan remaja di satu pihak. Tetapi di pihak lain, saya lebih menganjurkan agar kalangan remaja perlu menyalurkan ekspresi dirinya ke arah yang lebih positif dan ilmiah yang dapat bermanfaat bagi diri dan sesama. Dengan kata lain, kalangan remaja perlu belajar dari Santeut (Kumpulan Kotbah berupa karangan ilmiah) Pelajar Aceh dalam mengekspresikan dirinya. Karena Santeut merupakan sebuah gugatan penyadaran diri bagi kalangan remaja bahwa ternyata ruang publik itu tidak sempit. Dia membentang luas seluas hidup manusia, tinggal saja bagaimana remaja mengisinya.
Untuk itu, kita tidak perlu hanyut dalam kekerasan yang telah membudaya di kalangan remaja sebab hal itu hanyalah ulah segelintir orang. Masih banyak wajah-wajah ceriah di kalangan remaja seperti yang tercermin pada wajah pelajar dari Aceh. Kalau para pelajar Aceh bisa menghasilkan Santeut, mengapa  remaja yang lain tidak.
 Lebih terhormat dan bermartaba kalau kalangan remaja berlomba-lomba untuk berbuat baik dengan memanfaatkan otak daripada melakukan kekerasan dengan menggunakan otot. Karena orang yang menggunakan otot sebagai bukti bahwa otaknya kosong dan tanda-tanda kehancuran menantinya.* 



[1]Martin Jimung,S.Fil.M.Si adalah Dosen Sosiologi AKPER Fatima Parapare

Tidak ada komentar:

Posting Komentar