Martin
Jimung,M.Si[1]
Belum
lama ini, media massa
lokal maupun nasional melangsirkan berita tentang para guru yang lagi sibuk
mempersiapkan diri mengikuti ujian sertifkasi sebagai salah satu prasyarat kelayakan
untuk mengajar. Bagi para guru yang telah lulus sertifikasi boleh bertawa ria
karena segudang mimpi indah memperbaiki nasib untuk mendapatkan kenaikan gaji
dan tunjangan profesinya akan mengalir sehingga cita-cita memperoleh
penghidupan yang lebih layak segera terealisasikan.
Sementara
bagi para guru yang belum berhasil dan akan mengikuti ujian sertifikasi perlu
berjuang sekuat tenaga, baik secara halal maupun haram. Karena kriteria untuk
lulus dan mendapatkan sertifikasi semakin ketat serta birokrasi yang semakin
rumit. Seperti para guru yang telah lulus ujian tidak serta merta mendapatkan
tunjangan sebagaimana disampaikan sebelum mendapatkan sertifikasi, melainkan
perlu melengkapi berbagai portofolio dan sebagainya (Fajar Makassar,14/12/2007). Pada level
ini kita boleh bertanya: Apakah sertifikasi guru itu suatu profesionalisme atau
formalitas dari suatu proyek yang terselubung?
Formalitas
Tuntutan
agar para guru perlu memiliki sertifikasi tidak selamanya melahirkan tenaga
pendidik yang siap pakai. Sebaliknya, justru memunculkan aneka persoalan baru
yang irasional dan sangat krusial. Persoalan baru itu antara lain, pertama para guru bisa melupakan tugas pokoknya sebagai pendidik yang
selalu hadir di kelas. Karena desakan untuk melengkapi berbagai kertas kerja
portofolio membuatnya kurang hadir di kelas memberikan pelajaran kepada peserta
didiknya. Ia sibuk menyiapkan diri dengan berbagai hal dan strategi untuk
mengikuti ujian sertifikasi. Seperti mengikuti seminar-seminar, pelatihan,
kursus-kursus dan kuliah dadakan. Konsekuensinya, konsentrasi mengajar dan
menyiapkan materi pembelajaran bagi peserta didiknya semakin kurang. Di samping
itu, status guru bergeser dari yang sering hadir di kelas menjadi lebih banyak
berada di luar kelas untuk mengikuti berbagai kursus, seminar dan pelatihan demi
mendapatkan sertikat tambahan. Akibatnya, pelajaran tertinggal dan peserta
didik kehilangan haknya untuk mendapatkan pelajaran pada waktunya dari para
pendidiknya.
Kedua, saya membaca bahwa sertifikasi guru merupakan salah satu upaya
dari pemerintah untuk menafikan ijazah guru yang telah dikeluarkan oleh lembaga
pendidikan tinggi selama ini yang menamatkan mereka sebagai tenaga guru.
Artinya, pemerintah secara tidak langsung tidak mengakui ijazah guru yang telah
mereka peroleh dengan cara mewajibkan para guru untuk mendapatkan sertifikasi.
Berkaitan dengan hal itu muncul pertanyaan retoris, sertifikasi guru suatu
proyek atau ketidaksanggupan pemerintah mengakui keberadaan guru selama ini.
Selain itu, sertifikasi guru
memunculkan ijazah dan sertifikat-sertifikat dadakan. Karena tuntutan
melengkapi portofolio bagi setiap peserta ujian sertifikasi melahirkan mental
guru instan, asal jadi. Singkatnya, sertifikasi guru sadar atau tidak
menciptakan penipuan atau pembohongan gaya
baru dalam dunia pendidikan. Karena para guru menyiapkan diri mengikuti ujian
sertifikasi hanya sebagai formolitas untuk mendapatkan sertifikasi dan bukan
karena profesionalisme dalam bidangnya.
Profesionalisme
S.Wojowasito
(1985:160) dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia
dan Indonesia-Inggris mengartikan profesionalisme
adalah ‘orang
yang mempunyai keahlian dalam bidangnya’. Keahliannya
itu dapat diukur melalui sikap, kata, perbuatan dan hasil karya nyata dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, hasil karyanya dapat berguna bagi
segenap komponen bangsa. Sikap hidupnya menjadi teladan bagi sesama dan buah
pikirannya dicari oleh banyak orang. Ringkasnya, dia menjadi manusia kaya arti.
Karena itu kehadirannya dicari oleh banyak orang. Itulah yang disebut dengan orang
yang profesionalisme dalam bidangnya.
Sertifikasi
guru setidaknya merujuk kepada makna profesionalisme itu. Karena pengertian
sertifikasi mengacu pada ‘surat
keterangan kelayakan mengajar’. Maka guru yang professional dalam bidangnya
dapat diukur dari kemampuan pengetahuannya dalam menyajikan materi pembelajaran
yang nyata dalam (a) metode pembahasan dan pengolahan bahan yang jelas, padat
dan mudah dipahami oleh peserta didik, (b) out put hasil didikannya mampu
memahami dan mengevaluasi materi sehingga tidak banyak mengalami kesulitan
dalam penerapannya, dan (c) hasil kajian ilmiah berkaitan dengan mata
pelajarannya berupa buku, silabus, opini dan alat-alat peraga yang dapat
dijadikan rujukan bagi peserta didik dan para guru lain.
Menurut
penulis, inilah yang dapat disebut dengan kriteria guru profesional, guru yang
pantas mendapat sertifikasi. Karena itu, proses mendapatkan sertifikasi bagi
para guru sesungguhnya tidak perlu mengeluarkan banyak dana. Juga tidak perlu mengikuti
ujian tertulis dan birokrasi yang panjang. Cara yang sangat sederhana yakni,
pihak-pihak atau lembaga yang diberi kewenangan untuk mengeksekusi para guru
yang berhak mendapatkan sertifikasi langsung mengadakan inspeksi ke
sekolah-sekolah. Tentu saja, inspeksi dadakan yang tidak perlu diinformasikan
lebih dahulu agar keaslian terjamin sehingga pemilihan guru yang berhak
mendapatkan sertifikasi tidak keliru.
Tujuan
kehadiran lembaga pemberi sertifikasi ke sekolah-sekolah untuk meminta secara langsung
portofolio dari setiap guru, berdialog dengan para siswa tentang guru-gurunya
berkaitan dengan proses dan metode pembelajaran yang diberikan. Selain itu,
mereka menyaksikan secara langsung bagaimana para guru mengimplementasikan
metode dan proses pembelajarannya, serta meminta silabus dan berbagai hasil
kajian ilmiah dari para guru berkaitan dengan materi pelajarannya. Karena hanya
dengan cara itu penipuan gaya
baru untuk memperlicin perolehan sertifikasi dapat dieliminir dan pemberian
sertifiksi kepada para guru benar-benar karena profesionalisme dalam bidangnya.
Bukan hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan sertifikasi guru.
Kalau profesionalisme
yang dibutuhkan dalam sertifikasi guru, maka sudah dipastikan bahwa dunia
pendidikan Indonesia
akan mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia dan nama guru tetap
dikenang sepanjang masa. Singkatnya, program sertifikasi guru bisa diteruskan. Sebaliknya,
kalau bukan guru professional yang
berhak mendapatkan sertifikasi, maka program mewajibkan para guru untuk mendapatkan
sertifikasi perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Mengapa tidak.*
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia
bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan