Minggu, 21 Juni 2015

JANJI KAMPANYE



Martin Jimung[1]


            Setiap ada kampanye pemilihan Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah selalu saja ada janji. Entah janji itu langsung disampaikan oleh sang calon, maupun melalui tim sukses dan partai politik yang mengusungnya. Sementara para peserta pemilih tinggal memiliki kerelaan untuk mendengarkan, mengikuti serta mengamini janji-janji tersebut.
Pada kampanye pilkada Jepara misalnya, pada tanggal 4 Pebruari 2007 lalu, terkuat suatu janji: ‘kalau saya terpilih menjadi Bupati Jepara akan mensejahterakan masyarakat’ dengan jalan pengaspalan jalan desa, peningkatan pariwisata, pendidikan dan kesehatan gratis, dan sebagainya. Janji kampanye tersebut dikemas dalam bahasa yang menarik dan menyentuh nurani rakyat. Janji kampanye disampaikan oleh sang calon pilkada maupun oleh tim sukses dan partai politik yang mengusungnya dengan bahasa ajakan: ‘masyarakat Jepara ingin sejahtera? Jangan lupa pilih nomor 3 pada saat pilkada langsung tanggal 4 Pebruri 2007’.  Janji kampanye ini menarik perhatian saya karena ada itikat baik dari sang calon Bupati untuk menyukseskannya jika ia terpilih sebagai Bupati Jepara periode 2007-2012.
Kata janji dalam arti sebenarnya sangat sakral. Mengapa? Karena ia mengandung ikrar yang perlu ditepati oleh pelaku dalam tindakan nyatanya. Konkuensinya, janji itu memberi rasa pasti kepada pihak pendengar atau pelanggannya. Hal ini tidak gampang dicapai. Karena supaya bisa membuktikan janjinya, pihak pemberi janji harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam memenuhi apa yang ia ucapkan. Janji saja tidak cukup, tetapi perlu dibuktikan dalam pelayanan atau tindakan kongkrit. Artinya, sang pemberi janji justru bisa merealisasikan dalam tindakan nyatanya sehingga penerima janji dapat diyakini. Karena itu, berjanji tidak mudah. Karena berjanji bukan suatu yang diucapkan saja, melainkan justru aktif dalam tindakan yang perlu diambil selanjutnya. Maka pihak yang berjanji perlu memiliki ilmu ‘kesadaran diri’ akan konsekuensi tentang apa yang diucapkannya. Singkatnya, pihak pemberi janji memiliki kepastian yang timbul dari perasaan aman dan keterjaminan omongannya sehingga menumbuhkan kepercayaan dari pihak yang mendengarkannya.
Sedangkan secara politis, janji-janji dalam kampanye merupakan hal yang lumrah. Bahkan janji itu termasuk salah satu dimensi penting dalam kampanye. Sang calon atau tim sukses dan partai politik yang ingin menarik massa pendukungnya harus berjanji (berbohong,red) di depan masyarakat. Selain itu, janji dalam kampanye merupakan salah satu strategi politik kepentingan diri yang dikembangkan oleh sang calon atau tim sukses dan partai politik demi mencari empati dari masyarakat. Berempati dalam kampanye politik bukan berarti pihak pengumbar janji selalu tepati apa yang ia janjikan terhadap masyarakat. Tetapi dia mau mencek apa keinginan masyarakat yang sebenarnya. Setelah mengetahui keinginan masyarakat secara detail, ia justru menentukan sikap secara lebih tepat. Dalam berempati, sang pemberi janji harus mampu berkomunikasi secara pribadi dan mudah dihubungi. Tetapi, berempati dalam janji kampanye itu tidak mudah. Karena empati bukan berarti sesuatu yang bersifat pasif. Melainkan justru aktif mendengar sambil berpikir tentang alternatif tindakan apa yang secara tepatnya akan mempengaruhi masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya pada sang pemberi janji itu.
Di Indonesia, janji kampanye itu bukan menjadi rahasia lagi. Karena tampa melakukan riset pun, janji sudah mendarah daging bagi kalangan masyarakat Indonesia. Entah itu dilakukan oleh kalangan atas sampai pada masyarakat biasa. Pertanyaannya adalah, apakah janji kampanye bisa dipegang kebenarannya dalam tindakan nyata?
Janji kampanye sang calon Bupati Jepara periode 2007-2012, saya melihat ada tiga dimensi yang tersurat secara implisit di dalamnya. Pertama, sang calon Bupati ingin mendapatkan dukungan suara sebanyak-banyaknya. Saya pikir, ini adalah suatu siasat politik kepentingan yang jitu. Hasil pengamatan saya menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jepara khususnya mudah terprovoksi atau mudah merasa ibah oleh janji-janji yang kebenarannya belum teruji. Kedua, saya melihat dimensi pembohongan dalam bentuk janji kampanye yang belum banyak disadari oleh masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena janji kampanye memang sudah banyak dibuat, tetapi kenyataan belum banyak pembuktiannya. Misalnya, janji kampanye pilpres tahun 2004 dari SBY-JK tentang ‘akan menegakan supremasi hukum’. Tetapi, kenyataan sampai saat ini belum terealisasikan. Ketiga, janji kampanye dapat menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat pemilih. Tetapi, unsur kepercayaan ini tidak cukup dijelaskan lewat kata-kata saja, melainkan harus dibuktikan melalui tindakan kongkrit dalam pelayanan.
Setahu saya, belum ada calon dalam pemilihan Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah di Indonesia yang berani mengatakan dalam kampanye: ‘saya memberi bukti dan bukan berjanji’. Singkatnya, belum ada calon dalam kampanye yang berani membuat kontrak politik secara tertulis sebagai kekuatan hukum tetap dengan masyarakat pemilihnya atas kebenaran janji-janji kampanyenya sehingga masyarakat memiliki bukti atau kekuatan hukum untuk diajukan kepengadilan, apabila janji-janji sang calon tidak terbukti dalam pelayanannya. Kontrak politik secara tertulis itu juga merupakan sebuah janji lagi. Janji-janji sang calon Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah dalam kampanye akan bermakna kalau dibuktikan dalam pelayanan. Mungkinkah hal itu terjadi?  Mengapa tidak? Masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jepara khususnya menantikan pembuktiaan dari janji-janji kampanye selama ini.*


[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah. Sekarang tinggal di Jl. Kawi VI No. 30 RT 007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar