Martin Jimung[1]
Setiap
ada kampanye pemilihan Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah selalu saja
ada janji. Entah janji itu langsung disampaikan oleh sang calon, maupun melalui
tim sukses dan partai politik yang mengusungnya. Sementara para peserta pemilih
tinggal memiliki kerelaan untuk mendengarkan, mengikuti serta mengamini
janji-janji tersebut.
Pada kampanye pilkada Jepara misalnya,
pada tanggal 4 Pebruari 2007 lalu, terkuat suatu janji: ‘kalau saya terpilih
menjadi Bupati Jepara akan mensejahterakan masyarakat’ dengan jalan pengaspalan jalan desa, peningkatan pariwisata, pendidikan
dan kesehatan gratis, dan sebagainya. Janji kampanye tersebut dikemas dalam
bahasa yang menarik dan menyentuh nurani rakyat. Janji kampanye disampaikan oleh
sang calon pilkada maupun oleh tim sukses dan partai politik yang mengusungnya
dengan bahasa ajakan: ‘masyarakat
Jepara ingin sejahtera? Jangan lupa pilih nomor 3 pada saat pilkada langsung
tanggal 4 Pebruri 2007’. Janji kampanye ini menarik perhatian saya
karena ada itikat baik dari sang calon Bupati untuk menyukseskannya jika ia
terpilih sebagai Bupati Jepara periode 2007-2012.
Kata janji dalam arti sebenarnya sangat
sakral. Mengapa? Karena ia mengandung ikrar yang perlu ditepati oleh pelaku
dalam tindakan nyatanya. Konkuensinya, janji itu memberi rasa pasti kepada
pihak pendengar atau pelanggannya. Hal ini tidak gampang dicapai. Karena supaya
bisa membuktikan janjinya, pihak pemberi janji harus memiliki pengetahuan dan
keahlian yang cukup dalam memenuhi apa yang ia ucapkan. Janji saja tidak cukup,
tetapi perlu dibuktikan dalam pelayanan atau tindakan kongkrit. Artinya, sang
pemberi janji justru bisa merealisasikan dalam tindakan nyatanya sehingga
penerima janji dapat diyakini. Karena itu, berjanji tidak mudah. Karena
berjanji bukan suatu yang diucapkan saja, melainkan justru aktif dalam tindakan
yang perlu diambil selanjutnya. Maka pihak yang berjanji perlu memiliki ilmu ‘kesadaran diri’ akan konsekuensi tentang apa yang diucapkannya. Singkatnya, pihak
pemberi janji memiliki kepastian yang timbul dari perasaan aman dan
keterjaminan omongannya sehingga menumbuhkan kepercayaan dari pihak yang
mendengarkannya.
Sedangkan secara politis, janji-janji
dalam kampanye merupakan hal yang lumrah. Bahkan janji itu termasuk salah satu
dimensi penting dalam kampanye. Sang calon atau tim sukses dan partai politik
yang ingin menarik massa
pendukungnya harus berjanji (berbohong,red) di depan masyarakat. Selain itu, janji dalam kampanye merupakan
salah satu strategi politik kepentingan diri yang dikembangkan oleh sang calon
atau tim sukses dan partai politik demi mencari empati dari masyarakat. Berempati
dalam kampanye politik bukan berarti pihak pengumbar janji selalu tepati apa
yang ia janjikan terhadap masyarakat. Tetapi dia mau mencek apa keinginan
masyarakat yang sebenarnya. Setelah mengetahui keinginan masyarakat secara
detail, ia justru menentukan sikap secara lebih tepat. Dalam berempati, sang
pemberi janji harus mampu berkomunikasi secara pribadi dan mudah dihubungi.
Tetapi, berempati dalam janji kampanye itu tidak mudah. Karena empati bukan
berarti sesuatu yang bersifat pasif. Melainkan justru aktif mendengar sambil
berpikir tentang alternatif tindakan apa yang secara tepatnya akan mempengaruhi
masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya pada sang pemberi janji itu.
Di Indonesia, janji kampanye itu bukan
menjadi rahasia lagi. Karena tampa
melakukan riset pun, janji sudah mendarah daging bagi kalangan masyarakat Indonesia.
Entah itu dilakukan oleh kalangan atas sampai pada masyarakat biasa.
Pertanyaannya adalah, apakah janji kampanye bisa dipegang kebenarannya dalam
tindakan nyata?
Janji kampanye sang calon Bupati Jepara periode
2007-2012, saya melihat ada tiga dimensi yang tersurat secara implisit di
dalamnya. Pertama, sang calon Bupati ingin mendapatkan dukungan suara
sebanyak-banyaknya. Saya pikir, ini adalah suatu siasat politik kepentingan
yang jitu. Hasil pengamatan saya menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada
umumnya dan Jepara khususnya mudah terprovoksi atau mudah merasa ibah oleh
janji-janji yang kebenarannya belum teruji. Kedua, saya melihat dimensi pembohongan dalam bentuk janji kampanye yang
belum banyak disadari oleh masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena janji
kampanye memang sudah banyak dibuat, tetapi kenyataan belum banyak
pembuktiannya. Misalnya, janji kampanye pilpres tahun 2004 dari SBY-JK tentang ‘akan menegakan
supremasi hukum’. Tetapi, kenyataan sampai saat ini
belum terealisasikan. Ketiga, janji kampanye dapat menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat
pemilih. Tetapi, unsur kepercayaan ini tidak cukup dijelaskan lewat kata-kata
saja, melainkan harus dibuktikan melalui tindakan kongkrit dalam pelayanan.
Setahu saya, belum ada calon dalam
pemilihan Presiden, Anggota Dewan dan Kepala Daerah di Indonesia yang berani
mengatakan dalam kampanye: ‘saya
memberi bukti dan bukan berjanji’. Singkatnya,
belum ada calon dalam kampanye yang berani membuat kontrak politik secara
tertulis sebagai kekuatan hukum tetap dengan masyarakat pemilihnya atas
kebenaran janji-janji kampanyenya sehingga masyarakat memiliki bukti atau
kekuatan hukum untuk diajukan kepengadilan, apabila janji-janji sang calon
tidak terbukti dalam pelayanannya. Kontrak politik secara tertulis itu juga
merupakan sebuah janji lagi. Janji-janji sang calon Presiden, Anggota Dewan dan
Kepala Daerah dalam kampanye akan bermakna kalau dibuktikan dalam pelayanan.
Mungkinkah hal itu terjadi? Mengapa
tidak? Masyarakat Indonesia
pada umumnya dan Jepara khususnya menantikan pembuktiaan dari janji-janji kampanye
selama ini.*
[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik Lokal dan Pemerintahan
Daerah. Sekarang tinggal di Jl. Kawi VI No. 30 RT 007/RW003
Wonotingal-Candisari-Semarang,
Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar