Minggu, 21 Juni 2015

BELAJAR DARI POLA KEPEMIMPINAN MBA MARIJAN



Martinus Jimung[1]


            Di lereng gunung merapi Yogyakarta, ada seorang Pemimpin yang lagi naik down, namanya Mba Marijan. Ia adalah seorang Pemimpin spiritual gunung merapi, dan juga   seorang abdidalem kesultanan Yogyakarta yang dipercayakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X (ayah dari Sri Sultan sekarang) sebagai penjaga gunung merapi. Namanya semakin terkenal ketika ia melawan perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gubernur DIY untuk turun dari lereng merapi pada saat merapi meletus tahun 2006. Mba Marijan adalah salah satu ciri Pemimpin yang berani bertahan di lereng merapi demi melaksanakan amanat Sri Sultan sebagai penjaga merapi sekalipun nyawanya terancam. Ia adalah tipe kepemimpinan yang berani mempertaruhkan nyawanya demi melaksanakan tugasnya sebagai penjaga gunung merapi.
Ada hal yang menarik dari kepribadian Mba Marijan. Salah satunya, ketika Rampim Partai Golkar di Yogyakarta pada tanggal 15 April 2007, Mba Marijan diberi kepercayaan untuk memberi kuliah tentang Kepemimpinan bangsa di hadapan para petinggi partai Golkar. Hadir dalam kuliah kepemimpinan itu, antara lain: Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, Dewan Penasihat Partai Golkar, Surya Palo, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku penerjemah kuliah yang diberikan oleh Mba Marijan, dan beberapa kader Golkar lainnya. Mba Marijan dalam kuliah gratis itu tidak berteori yang tinggi-tinggi tentang Kepemimpinan dengan mengutip berbagai refrensi. Ia juga tidak hanya omong tentang kepemimpinan, melainkan ia memberi kuliah tentang kepemimpinan yang melayani seperti yang ia lakukan selama ini. Misalnya, ia bersama sekelompok masyarakat setia bertahan di lereng merapi pada saat gunung merapi meletus, serta ia rela membagikan seluruh honornya dari iklan salah satu perusahaan kepada masyarakat di sekitar lereng merapi.
Ini baru Pemimpin yang melayani. Pemimpin yang tidak banyak berbicara (berteori, red) tetapi langsung bekerja. Pemimpin yang ada bersama masyarakat pada saat gembira mampun genting. Pemimpin yang bertanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin yang tuntas dalam melaksanakan tugas pelayanannya.
Pola kepemimpinan yang dikembangkan oleh Mba Marijan ini, sebenarnya sudah lama dianjurkan oleh Kouzes dan Posner. Keduanya, menjelaskan bahwa seorang Pemimpin harus mampu melihat kesempatan, melakukan eksperimen dan berani mengambil resiko. Karena dia diharapkan bisa melakukan perubahan. Kata perubahan (change) jadi kata kunci bagi setiap calon Pemimpin. Mba Marijan melakukan perubahan dengan tidak serta merta mentaati perintah raja (Sri Sultan, Gubernur DIY) sebagaimana biasanya dilakukan oleh para abdidalem keraton, ketika merapi meletus untuk segera turun gunung. Sebaliknya, ia berpegang teguh pada tugasnya sebagai juru kunci merapi untuk memberitahukan kepada keraton dan masyarakat merapi kapan gunung meletus dan tidak, kapan letusan merapi yang sangat membayakan dan tidak.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus punya visi jauh ke depan dan bisa membuat orang lain dalam organisasinya mengerti dan percaya. Sebab tanpa kemampuan seperti itu, sang pemimpin hanya bisa mengajak masyarakat untuk lari di tempat. Mba Marijan mengembangkan pola kepemimpinan yang melayani, yang dapat dimengerti dan dipercayai masyarakat. Ia tidak berteori, melainkan ia melaksanakan secara jujur berdasarkan nuraninya yang ikhlas. Ia memberi contoh dengan memberikan seluruh honornya kepada masyarakat lereng merapi.
Setelah itu, seorang pemimpin harus bisa memantapkan organisasinya, yang terdiri dari berbagai jenis manusia. Masa depan yang akan kita masuki memberi peluang lebih besar pada terjadinya perbedaan. Perbedaan konsep, prinsip, kepentingan, kebutuhan dan sebagainya. Seorang pemimpinan harus mampu membangun di atas perbedaan tersebut. Suatu organisasi yang mantap bukan cuma solid orang-orangnya, melainkan juga punya kapasitas untuk bekerja. Kata kunci di sini empowerment.
Seorang pemimpin harus bisa merupakan model bagi orang lain dan bisa membuat program-program kecil supaya terkesan ada sasaran antara menuju ke suatu jangka panjang. Akhirnya, seorang pemimpin harus bisa berbicara dengan hati kepada anggotanya. Bukan cuma bisa menghargai suatu pencapaian prestasi orang lain, melainkan juga merayakan suatu keberhasilan karyanya sendiri. Lima konsep dasar dari Kouzes dan Posner ini jadi relevan pada saat ini, karena situasi bangsa kita lagi krisis kepemimpinan. Negeri ini lagi rindu munculnya Mba Marijan-Mba Marijan muda untuk memimpin dan mengelola bangsa Indonesia.
Menurut pengamatan saya, banyak pemimpin bangsa ini lebih banyak berbicara atau pintar omong tetapi kurang bekerja. Target untuk menjadi pemimpin bukan untuk melayani, melainkan untuk mencari kekuasaan, kekayaan dan kehormatan (K3). Setelah itu, mereka susun strategi tertentu untuk mencapai target tersebut, entah lewat money politics, kecurangan, rekayasa, kekerasan maupun cara-cara persuasif. Susahnya, strategi itu sering lebih efektif bagi calon pemimpin yang ingin maju. Maka, begitu mereka terpilih pikirannya terkuras pada strategi, bagaimana mengembalikan dana yang telah dikeluarkan itu sehingga perhatian terhadap pembangun dan kepentingan masyarakat terbagi. Maka tidak terlalu mengherankan kalau di tengah perjalanan masa kepemimpinannya, sering melakukan tebar pesona. Ini bukan hanya karena situasi masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap pola kepemimpinannya, tapi juga lantaran masyarakat mulai kritis terhadap pemimpinnya. Salah satu hal penting yang diperhatikan adalah melakukan tebar pesona agar dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pola kepemimpinannya.**


[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah. Ketika menulis berita ini tinggal di Jl. Kawi IV No.30 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar