Martinus
Jimung[1]
Di lereng gunung
merapi Yogyakarta, ada seorang Pemimpin yang lagi
naik down, namanya Mba Marijan. Ia adalah seorang Pemimpin spiritual gunung
merapi, dan juga seorang abdidalem
kesultanan Yogyakarta yang dipercayakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X (ayah dari Sri
Sultan sekarang) sebagai penjaga gunung merapi.
Namanya semakin terkenal ketika ia melawan perintah Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, Gubernur DIY untuk turun dari lereng merapi pada saat merapi meletus tahun
2006. Mba Marijan adalah salah satu ciri Pemimpin yang berani bertahan di lereng
merapi demi melaksanakan amanat Sri Sultan sebagai penjaga merapi sekalipun
nyawanya terancam. Ia adalah tipe kepemimpinan yang berani mempertaruhkan nyawanya
demi melaksanakan tugasnya sebagai penjaga gunung merapi.
Ada hal yang menarik dari kepribadian Mba Marijan. Salah satunya,
ketika Rampim Partai Golkar di Yogyakarta pada tanggal 15 April 2007, Mba
Marijan diberi kepercayaan untuk memberi kuliah tentang Kepemimpinan bangsa di
hadapan para petinggi partai Golkar. Hadir dalam kuliah kepemimpinan itu,
antara lain: Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, Dewan Penasihat Partai Golkar,
Surya Palo, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku penerjemah kuliah
yang diberikan oleh Mba Marijan, dan beberapa kader Golkar lainnya. Mba Marijan
dalam kuliah gratis itu tidak berteori yang tinggi-tinggi tentang Kepemimpinan
dengan mengutip berbagai refrensi. Ia juga tidak hanya omong tentang
kepemimpinan, melainkan ia memberi kuliah tentang kepemimpinan yang melayani
seperti yang ia lakukan selama ini. Misalnya, ia bersama sekelompok masyarakat
setia bertahan di lereng merapi pada saat gunung merapi meletus, serta ia rela
membagikan seluruh honornya dari iklan salah satu perusahaan kepada masyarakat
di sekitar lereng merapi.
Ini baru Pemimpin yang melayani. Pemimpin
yang tidak banyak berbicara (berteori, red) tetapi langsung bekerja. Pemimpin
yang ada bersama masyarakat pada saat gembira mampun genting. Pemimpin yang bertanggung
jawab terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin yang tuntas dalam melaksanakan
tugas pelayanannya.
Pola kepemimpinan yang dikembangkan oleh
Mba Marijan ini, sebenarnya sudah lama dianjurkan oleh Kouzes dan Posner.
Keduanya, menjelaskan bahwa seorang Pemimpin harus mampu melihat kesempatan,
melakukan eksperimen dan berani mengambil resiko. Karena dia diharapkan bisa
melakukan perubahan. Kata perubahan (change) jadi kata kunci bagi setiap calon Pemimpin.
Mba Marijan melakukan perubahan dengan tidak serta merta mentaati perintah raja
(Sri Sultan, Gubernur DIY) sebagaimana biasanya dilakukan oleh para abdidalem
keraton, ketika merapi meletus untuk segera turun gunung. Sebaliknya, ia
berpegang teguh pada tugasnya sebagai juru kunci merapi untuk memberitahukan
kepada keraton dan masyarakat merapi kapan gunung meletus dan tidak, kapan letusan
merapi yang sangat membayakan dan tidak.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus
punya visi jauh ke depan dan bisa membuat orang lain dalam organisasinya
mengerti dan percaya. Sebab tanpa kemampuan seperti itu, sang pemimpin hanya
bisa mengajak masyarakat untuk lari di tempat. Mba Marijan mengembangkan pola
kepemimpinan yang melayani, yang dapat dimengerti dan dipercayai masyarakat. Ia
tidak berteori, melainkan ia melaksanakan secara jujur berdasarkan nuraninya
yang ikhlas. Ia memberi contoh dengan memberikan seluruh honornya kepada
masyarakat lereng merapi.
Setelah itu, seorang pemimpin harus bisa
memantapkan organisasinya, yang terdiri dari berbagai jenis manusia. Masa depan
yang akan kita masuki memberi peluang lebih besar pada terjadinya perbedaan.
Perbedaan konsep, prinsip, kepentingan, kebutuhan dan sebagainya. Seorang
pemimpinan harus mampu membangun di atas perbedaan tersebut. Suatu organisasi
yang mantap bukan cuma solid orang-orangnya, melainkan juga punya kapasitas
untuk bekerja. Kata kunci di sini empowerment.
Seorang pemimpin harus bisa merupakan
model bagi orang lain dan bisa membuat program-program kecil supaya terkesan
ada sasaran antara menuju ke suatu jangka panjang. Akhirnya, seorang pemimpin
harus bisa berbicara dengan hati kepada anggotanya. Bukan cuma bisa menghargai
suatu pencapaian prestasi orang lain, melainkan juga merayakan suatu
keberhasilan karyanya sendiri. Lima
konsep dasar dari Kouzes dan Posner ini jadi relevan pada saat ini, karena
situasi bangsa kita lagi krisis kepemimpinan. Negeri ini lagi rindu munculnya
Mba Marijan-Mba Marijan muda untuk memimpin dan mengelola bangsa Indonesia.
Menurut pengamatan saya, banyak pemimpin
bangsa ini lebih banyak berbicara atau pintar omong tetapi kurang bekerja. Target
untuk menjadi pemimpin bukan untuk melayani, melainkan untuk mencari kekuasaan,
kekayaan dan kehormatan (K3). Setelah itu, mereka susun strategi tertentu untuk
mencapai target tersebut, entah lewat money politics, kecurangan, rekayasa,
kekerasan maupun cara-cara persuasif. Susahnya, strategi itu sering lebih efektif
bagi calon pemimpin yang ingin maju. Maka, begitu mereka terpilih pikirannya
terkuras pada strategi, bagaimana mengembalikan dana yang telah dikeluarkan itu
sehingga perhatian terhadap pembangun dan kepentingan masyarakat terbagi. Maka
tidak terlalu mengherankan kalau di tengah perjalanan masa kepemimpinannya,
sering melakukan tebar pesona. Ini bukan hanya karena situasi masyarakat sudah
tidak percaya lagi terhadap pola kepemimpinannya, tapi juga lantaran masyarakat
mulai kritis terhadap pemimpinnya. Salah satu hal penting yang diperhatikan
adalah melakukan tebar pesona agar dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap pola kepemimpinannya.**
[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik Lokal dan Pemerintahan
Daerah. Ketika menulis berita ini tinggal di Jl. Kawi IV No.30 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar