Martinus Jimung
Menyebut nama desa, orang
selalu mengarahkan pikirannya pada ‘daerah terpencil, kehidupan sosial masyarakat masih
tradisional, masyarakat hidup dari pertanian, orangnya buta huruf dan bodoh,
tidak ada sarana komunikasi, minimnya sarana dan prasana umum’ dan masih banyak persepsi orang tentang desa. Sebutan desa ini lazim
dipakai pada daerah Jawa. Karena berasal dari kata Sanskrit (Sansekerta), dan pada rezim Orde Baru istilah desa ini diindotrinasikan untuk
dipakai kata yang sama bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Sementara daerah-daerah
lain di Indonesia mempunyai sebutan lain untuk desa. Misalnya, di Bali dikenal
dengan nama Negara atau Negaro, di Timor dengan sebutan Kuan, di Ende dengan
nama Nua, di Manggarai disebut Kedaluan, di Lamaholot dengan sebutan Lewa, di
Kedang dengan sebutan Lea, dan sebagainya.
Istilah-istilah ini
apabila dianalisa lebih jauh akan menerangkan bahwa desa itu lahir atau ada
sebelum adanya Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Desa itu terbentuk
secara geneologis, yakni berdasarkan kedekatan hubungan darah dalam perkawinan
sehingga mereka membentuk suatu kelompok social dan mencari seorang pemimpin
agar bisa mengatur kehidupan social mereka. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
wilayah kampung kita masing-masing. Di sana
terdapat struktur kewenangan lokal yang sampai sekarang masih terpelihara dan
diakui oleh masyarakatnya.
Pemikiran seperti ini ada sedikit benarnya.
Karena desa lahir sebelum Negara ada, dan masyarakat desa mampu untuk
mempertahankan kehidupan sampai pada saat ini. Mereka mengolah sendiri
sumber-sumber alam dan SDM-nya untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya tanpa
menunggu uluran tangan Negara. Semenjak kemerdekaan yang hamper seabad
dinikmati oleh rakyat Indonesia
sudah begitu banyak produk hukum dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
untuk mengatur tentang desa. Seperti dari UU No. 5 Tahun 1974 sampai pada UU
No. 32 Tahun 2004 berkeinginan besar untuk memberikan otonomi kepada desa yang
adalah miliknya. Misalnya, UU No. 32 Tahun 2004, khususnya pasal 127 tentang
desa sudah membawa angina segar bagi desa singga otonomi asli yang sebanrnya
diserahkan secara penuh dan utuh kepada desa.
Otonomi desa adalah otonomi asli yang
selama ini dari rezim Orde Lama, Orde Baru dan reformasi belum nampak, tetapi
sekarang di era demokrasi langsung diserahkan kembali kepada pemiliknya yakni
desa. Konstitusi ini menghendaki pengaturan desa disesuaikan dengan keaslian
desa. Misalnya, kelembagaan adat yang selama ini ada difungsikan perannya dalam
pengaturan demi perkembangan hidup dan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat
desa.
Desa sekarang mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat mempunyai mata dan hati yang
terbuka untuk bisa merubah serta memperbaiki nasib masyarakat desa yang selama
ini dirampas haknya oleh rezim-rezim sebelumnya. Tetapi, yang menjadi tantangan
adalah apakah pemerintah desa bisa menjalani otonomi asli itu secara baik demi
kemajuan dan kesejahteraan? Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih
melibatkan masyarakat mulai dari perancanaan, pengaturan, implementasi dan
pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya lembaga desa seperti Parlemen Desa
(BPD), Lembaga Pemberdayaan dan lembaga-lembaga adat. Pemerintah desa dituntut
agar bisa memberikan pelayanan kepada masyarakatnya sesuai dengan kebutuhan
yang diprioritaskan. Pelayanan yang benar adalah sesuai dengan kebutuhan dan
digunakan secara tepat sasar. Penjaring aspira rakyat dilakukan oleh
lembaga-lembaga desa (BPD, Lembaga Pemberdaya dan Lembaga Adat yang ada). Aspirasi
tersebut disampaikan kepada pemerintah desa untuk dibuat perencanaan dan
dibahas bersama dengan Lembaga Permusyawaratan Desa yang adalah wakil rakyat di
desa. Semua aspirasi yang diperioritaskan harus direalisasikan pertama dan
ditetapkan dalam peraturan desa (Perdes).
Tujuan otonomi desa adalah mengembalikan
keaslian desa agar bisa mengelola sendiri sumber-sumber yang ada demi meningkat
kesejahteraan masyarakat desa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar