Senin, 23 November 2015

TEOLOGI CINTA



Martinus Jimung


Hidup manusia terdiri dari roh dan daging. Roh itu penurut dan menghasilkan banyak buah kebaikan, seperti ‘cinta kasih, kesetiaan kawanan, kejujuran, keterbukaan, saling pengertian dan perbuatan amal’. Sebaliknya, keinginan daging mengarah pada tindakan kejahatan, seperti ‘iri hati, cemburu, dengki, ketamakan, dendam, perseteruan dan serakah’. Kedua kekuatan ini selalu mengganggu kehidupan manusia. Manusia berjuang untuk memenangkan kekuatan roh atau daging. Tetapi, manusia tidak mampu berjuang sendirian, dia membutuhkan campur tangan Tuhan dan Roh Kudus. Sebab Roh Kudus menyanggupkan manusia untuk berbuat yang benar. Karena itu setiap orang dituntut untuk tinggal bersama Yesus. Hal ini memiliki dasar yang kuat dalam Injil Yohanes 15:5: ‘Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak. Sebab di luar Aku, kamu tidak menghasilkan apa-apa’.
Setiap manusia yang berada di luar Yesus sama halnya berada di dalam daging yang dikuasai oleh kekuasaan kejahatan, seperti yang dialami para murid Yesus yang tak sanggup berjaga-jaga dan berdoa bersama Yesus di taman Getsemani. Sebaliknya, orang yang berada bersama Yesus berarti berada dalam kuasa Roh Kudus.
Ajakan tinggal bersama Yesus menuntut suatu ‘pembaharuan’ hidup dari para pengikutNya. Artinya, hidup yang ditandai oleh kebangkitan iman. Iman yang dewasa, iman yang mengikuti urutan credo: ‘Aku percaya akan Allah, aku percaya akan Kristus yang membawa keselamatan bagi semua orang. Aku percaya akan Kristus yang telah bangkit, Kristus yang dalam dan denganNya saya akan hidup’.
Menghidupkan teologi cinta bukanlah perkara yang mudah. Ia membutuhkan kesabaran, ketekunan, kesetiaan, pengorbanan serta kemauan untuk berkembang. Cinta manusiapun kepada diri sendiri, sesama dan Tuhan hendaknya berkembang setiap saat dalam membangun relasinya dengan Tuhan dan dunia. Bahwa pertentangan keinginan roh dan daging dalam kehidupan manusia yang terrcermin dalam ketidakcocokan pendapat, kehendak dan perasaan merupakan suatu bukti bahwa teologi cinta membutuhkan penjernihan identitas diri masing-masing pribadi sebagai makluk ciptaan Tuhan.
Kondisi itulah yang dapat disebut dengan teologi cinta yang perlu dihidupkan dalam kehidupan manusia. Teologi cinta yang yang menerima salib sebaga ‘kado gratis’ dari Tuhan. Teologi cinta yang berani bermimpi dan rela membayar untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Karena itu, benarlah firman Tuhan bahwa ‘Roh itu kuat, tapi daging manusia lemah’.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar