Martinus
Jimung
Hidup manusia terdiri dari roh dan daging. Roh itu penurut
dan menghasilkan banyak buah kebaikan, seperti ‘cinta kasih, kesetiaan kawanan, kejujuran, keterbukaan, saling
pengertian dan perbuatan amal’. Sebaliknya, keinginan daging mengarah pada
tindakan kejahatan, seperti ‘iri hati,
cemburu, dengki, ketamakan, dendam, perseteruan dan serakah’. Kedua
kekuatan ini selalu mengganggu kehidupan manusia. Manusia berjuang untuk
memenangkan kekuatan roh atau daging. Tetapi, manusia tidak mampu berjuang
sendirian, dia membutuhkan campur tangan Tuhan dan Roh Kudus. Sebab Roh Kudus
menyanggupkan manusia untuk berbuat yang benar. Karena itu setiap orang
dituntut untuk tinggal bersama Yesus. Hal ini memiliki dasar yang kuat dalam
Injil Yohanes 15:5: ‘Barangsiapa tinggal
di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak. Sebab di luar Aku, kamu
tidak menghasilkan apa-apa’.
Setiap manusia yang berada di luar Yesus sama halnya berada
di dalam daging yang dikuasai oleh kekuasaan kejahatan, seperti yang dialami
para murid Yesus yang tak sanggup berjaga-jaga dan berdoa bersama Yesus di
taman Getsemani. Sebaliknya, orang yang berada bersama Yesus berarti berada
dalam kuasa Roh Kudus.
Ajakan tinggal bersama Yesus menuntut suatu ‘pembaharuan’ hidup dari para
pengikutNya. Artinya, hidup yang ditandai oleh kebangkitan iman. Iman yang
dewasa, iman yang mengikuti urutan credo: ‘Aku
percaya akan Allah, aku percaya akan Kristus yang membawa keselamatan bagi
semua orang. Aku percaya akan Kristus yang telah bangkit, Kristus yang dalam dan
denganNya saya akan hidup’.
Menghidupkan teologi cinta bukanlah perkara yang mudah. Ia
membutuhkan kesabaran, ketekunan, kesetiaan, pengorbanan serta kemauan untuk
berkembang. Cinta manusiapun kepada diri sendiri, sesama dan Tuhan hendaknya
berkembang setiap saat dalam membangun relasinya dengan Tuhan dan dunia. Bahwa
pertentangan keinginan roh dan daging dalam kehidupan manusia yang terrcermin
dalam ketidakcocokan pendapat, kehendak dan perasaan merupakan suatu bukti
bahwa teologi cinta membutuhkan penjernihan identitas diri masing-masing
pribadi sebagai makluk ciptaan Tuhan.
Kondisi itulah yang dapat disebut dengan teologi cinta yang
perlu dihidupkan dalam kehidupan manusia. Teologi cinta yang yang menerima
salib sebaga ‘kado gratis’ dari
Tuhan. Teologi cinta yang berani bermimpi dan rela membayar untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Karena itu, benarlah firman Tuhan bahwa ‘Roh
itu kuat, tapi daging manusia lemah’.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar