Martinus Jimung,S.Fil.M.Si.M.Kes[1]
Abstract
Opening of forming of sub-province of Manggarai East on 23 November 2007 representing new chapter to development future history in area of Manggarai East. In consequence this momentum may not be wasted in. Because efficacy of opening of forming of sub-province of Manggarai East pursuant to UU No. 36 Year 2007, expected to add construction wight in region of Manggarai East become good progressively and fair. On the contrary, efficacy of development in sub-province storey; level of Manggarai East will give contribution which real very to efficacy of national development.
This article focussed attention at momentum develop; build Sub-Province of Manggarai East as moral defence document form forming of Sub-Province of Manggarai East. In consequence tidy the gist of one's thoughts in this article consist of Manggarai In At A Glance and Construction, Philosophy Live Society of Manggarai East, Defence Document Moral Forming Of Sub-Province of Manggarai East, Development Of Manggarai East With vision of Cultural Sosio and Development Of Kabupten Manggarai East In Social Aspect of Culture, Requirement of Whom? Fifth of this keyword is knitted by writer by following various development pattern issue which is expanding and also supported by various contemporary idea which by intrisik sue construction in area region of Manggarai East which with vision of and justice of sosio cultural.
Abstraksi
Peresmian pembentukan Kabupaten
Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember 2007 merupakan babak baru bagi sejarah
masa depan pembangunan di kawasan Manggarai Timur. Karena itu momentum ini
tidak boleh disia-siakan. Sebab keberhasilan peresmian pembentukan kabupaten
Manggarai Timur berdasarkan UU No. 36 Tahun 2007, diharapkan menambah bobot
pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur menjadi semakin baik dan adil.
Sebaliknya, keberhasilan pembangunan di tingkat kabupaten Manggarai Timur akan
memberikan kontribusi yang amat nyata bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Tulisan ini memfokuskan perhatian pada momentum
membangun Kabupaten Manggarai Timur sebagai wujud pleidoi moral pembentukan
Kabupaten Manggarai Timur. Karena itu pokok pikiran yang dikemas dalam tulisan
ini terdiri dari Manggarai Dalam Selayang Pandang dan Pembangunan Fisik,
Falsafah Hidup Masyarakat Manggarai Timur, Pleidoi Moral Pembentukan Kabupaten
Manggarai Timur, Pembangunan Manggarai Timur Berwawasan Sosio Budaya dan Pembangunan
Kabupten Manggarai Timur Dalam Aspek Sosial Budaya, Kebutuhan Siapa? Kelima
kata kunci ini dirajut penulis dengan mengikuti berbagai isu pola pembangunan yang
sedang berkembang serta didukung oleh berbagai gagasan kontemporer yang secara
intrisik menggugat pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur yang berwawasan
keadilan dan sosio budaya.
PENDAHULUAN
Kata
membangun atau lebih tepatnya pembangunan mengacu pada makna ‘suatu tindakan
nyata yang dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun bersama yang dapat
menyebabkan sesuatu itu berubah dari yang semula atau aslinya’. Selain itu,
kata membangun juga mengisyaratkan kepada kita bahwa ada dua aspek penting
berjalan bersamaan dalam kegiatan membangun, yakni: manusia sebagai subyek
pelaku pembangunan dan obyek yang terkena tindakan pelaku pembangunan.
Sementara wawasan keadilan merujuk pada
pola pembangunan bangsa, baik pusat maupun daerah yang lebih berpihak pada
kepentingan warga Negaranya tampa
kecuali, entah orang desa maupun kota.
Orang yang dekat dengan pusat kekuasaan maupun yang jauh dari pusat kekuasaan. Artinya,
semua warga Negara mendapatkan porsi yang sama dalam menerima dan menikmati kue
pembangunan bangsa.
Sedangkan sosio budaya dalam tulisan ini
lebih merujuk pada ‘mentalitas’ manusia yang terarah kepada pola kehendak, pola pikir, pola kerja
dan pola sikap suatu masyarakat dalam menyikapi berbagai kegiatan membangun.
Mengacu pada argumentasi
ini, maka membangun Kabupaten Manggarai Timur berwawasan keadilan dan sosio
budaya lebih dipahami sebagai suatu kegiatan nyata yang dilakukan oleh
masyarakat dan Pemerintah Daerah Manggarai Timur dalam rangka mengubah wajah wilayahnya
menjadi lebih adil dan maju dalam berbagai aspek kehidupan. Teristimewa aspek mentalitas
manusia Manggarai Timur yang berwawasan membangun, mentalitas manusia yang mau
bekerjasama dan mentalitas manusia yang hendak menempatkan wilayah Manggarai
Timur sebagai satu kesatuan dalam koridor pembangunan daerah dan bangsa yang
berkesinambungan serta pro kepada kebutuhan masyarakat.
Pertanyaannya, jika aspek keadilan dan sosio
budaya dijadikan sebagai salah satu faktor pendukung pembangunan Kabupaten
Manggarai Timur, kira-kira apa indikator? Apa ada hubungan nilai keadilan dan sosio
budaya dengan aktivitas membangun itu sendiri? Mengapa aspek Sumber Daya
manusia, Sumber Daya Alam dan Manajemen Birokrasi Pemerintahan tidak
dikategorikan sebagai faktor inti untuk membangun Kabupaten Manggarai Timur
yang lebih adil, maju dan mandiri?
Hipotesa penulis sederhana. Aspek keadilan dan sosio budaya menyangkut
manusia. Di dalam manusia itu terdapat SDM dan manajemen kerja dalam kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Pembangunan daerah akan berjalan kalau
budaya membangun, budaya kerjasama, budaya mendahulukan kepentingan umum, budaya
bertindak adil, budaya menghindari KKN, budaya menghilangkan dikotomi ‘ata dami dan ata
dite’, budaya mengurangi manipulatif serta budaya
berpikir nasional dan bertindak lokal berjalan bersamaan dalam kegiatan
membangun.
Masalahnya, ketika nilai keadilan dan sosio
budaya tidak lagi menjadi pilihan dasar untuk kegiatan membangun, apa yang akan
terjadi? KKN tumbuh subur, kepentingan diri dan kelompoknya meraja lela,
individualisme berkembang semakin pesat, money politic berkeliaran seakan tak
terbendungi lagi, dan pembangunan daerah berjalan di tempat karena tidak
terurus secara baik. Namun pertanyaannya, apakah nilai sosio budaya masyarakat Manggarai Timur itu bisa
dijadikan ideologi yang dapat membangun wilayahnya menjadi lebih baik dan adil?
Apabila penulis bukan asli orang Manggarai Timur, pasti memiliki argumentasi yang
kontradiktif dengan nilai sosio budaya itu.
Jawaban yang lebih teoritis dari nilai keadilan
dan sosio budaya masyarakat Manggarai Timur dapat penulis kupas dalam tulisan
sederhana ini.
I. MANGGARAI TIMUR DALAM
SELAYANG PANDANG DAN PEMBANGUNAN FISIK
Mengupas selayang
pandang Manggarai Timur dan pembangunan fisik, setidaknya merujuk pada dua hal penting,
yakni: Manggarai Timur dalam sebuah nama dan Manggarai Timur dalam pembangunan sebelum
peresmian pembentukan kabupaten tersendiri.
a. Manggarai Timur Dalam
Sebuah Nama
Kata Manggarai adalah sebuah warisan
budaya yang telah mendarah daging dari satu generasi ke generasi yang lain. Dami N. Toda dalam bukunya, Manggarai Mencari
Pencerahan Historiografi menyebutkan, kata
Manggarai melukiskan tentang keanekaragaman etnis atau suku yang mendiami wilayah
paling ujung barat pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kesatuan etnis ini
melebur menjadi satu komunitas yang dikenal dengan nama suku atau orang
Manggarai. Maka kata Manggarai dalam sejarah asal-usul etnisnya memiliki
padanan makna, yakni menyebar dan membaur menjadi satu etnis yang disebut orang
Manggarai. Karena menurut catatan para founding fathers bahwa Manggarai yang sekarang disebut kabupaten Manggarai merupakan
bagian dari kesultanan Bima. Klaim ini terjadi karena menurut mitos yang
berkembang di kalangan masyarakat Manggarai pada umumnya, dan Manggarai Timur
khususnya bahwa keturunan orang Manggarai berasal dari Goa-Tallo (Makassar).
Sedangkan penempatan nama timur dibelakang
kata Manggarai berkaitan dengan peta pembagian wilayah domisili masyarakat
Manggarai. Di mana, pada saat itu wilayah Manggarai yang luasnya 7.136,4 km2 telah dibagi menjadi tiga kabupaten, yakni: Kabupaten Manggarai
Barat (Mambar), Kabupaten Manggarai (Mateng) dan Kabupaten Manggarai Timur
(Matim). Disebut Timur karena posisi Manggarai Timur yang saat ini telah diresmikan
menjadi Kabupaten tersendiri berdasarkan UU No.36 Tahun 2007 dan diresmikan
pada tanggal 23 Nopember 2007 berada paling timur dari kota Ruteng ibu kota
kabupaten induk, atau Kabupaten Manggarai. Karena itu, Manggarai Timur hanyalah
sebuah nama dalam peta wilayah Manggarai secara keseluruhan.
b. Manggarai Timur
Dalam Pembangunan Fisik
Berbicara tentang
pembangunan fisik wilayah Manggarai Timur sebelum diresmikan menjadi kabupaten
sendiri seakan membuka ‘borok
ketidakadilan’ pembangunan di Manggarai pada
umumnya. Karena wilayah Manggarai Timur ketika masih bergabung dengan kabupaten
induk, pembangunan fisik kurang terurus. Seperti pengaspalan jalan raya ke
desa-desa dan antar anak kampung jarang terjadi. Ironisnya, wilayah Manggarai
Timur sebagai sumber utama hasil komiditi andalan bagi kabupaten Manggarai. Karena
wilayah Manggarai Timur memiliki tanah yang subur dan pemasukan utama hasil
kopi, cengkeh, fanili, kakao, kamiri, jambu mente, kelapa, pisang dan hasil
pertanian lainnya. Namun, hal itu telah menjadi mubazir karena tidak dibarengi oleh
pembangunan transportasi yang memadai demi mempermudah pelemparan hasil
komiditi masyarakat.
Selain pembangunan
transportasi yang minim, juga pembangunan jaringan listrik negara, pembangunan
gedung sekolah dan puskesmas sangat jarang. Banyak masyarakat Manggarai Timur
hingga tulisan ini terpublikasikan belum tersentuh oleh jaringan listrik negara.
Mereka masih menggunakan penerangan tradisional, seperti lampu pelita dalam
bahasa lokal dan lampu petromaks atau generator bagi keluarga yang mampu. Di
samping itu, pembangunan gedung SD yang masih semi permanen dengan fasilitas
apa adanya, dan pembukaan posko puskesmas tiap desa kurang terawat dan terurus
secara profesional. Sementara bidang transportasi, pendidikan dan kesehatan
sangat penting untuk menciptakan masyarakat Manggarai Timur yang berkualitas.
Mengacu pada pola
pembangunan fisik ini, dapat disimpulkan bahwa wilayah Manggarai Timur selama
ini sangat ‘dianaktirikan’ kalau dikomparasikan dengan wilayah Manggarai Barat dan Tengah
sebelum peresmian pembentukan kabupaten sendiri. Pertanyaannya, mengapa hal itu
terjadi? Dimanakah letak kesalahannya? Apakah ada hubungan dengan mentalitas ethos
kerja pemerintah kabupaten Manggarai dalam mendistribuskan pembangunan yang
adil dan merata? Ataukah, masyarakat Manggarai Timur sendiri yang tidak
proaktif menyambut pembangunan yang digalakkan oleh Pemerintah selama ini?
Jawaban atas
pertanyaan gugatan ini, setidaknya merujuk pada dua hal, yakni: Pertama, minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan fisik di
wilayah Manggarai Timur, dan kedua, sosio budaya
orang Manggarai Timur yang lebih menekankan cinta kasih dan menghindari
kekerasan. Hasil survey penulis di wilayah Kecamatan Kota Komba dan Kecamatan
Borong bersama mahasiwa UNWIRA Kupang pada bulan Juli tahun 2005 dalam rangka
mensosialisasikan rencana pembentukan Kabupaten Manggarai Timur sungguh
mengejutkan, di mana memperlihatkan betapa (a) rendahnya perhatian pemerintah daerah
terhadap pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur, dan (b) tingginya nilai
budaya cinta kasih serta menghindari kekerasan fisik dari kedua kelompok
masyarakat kecamatan tersebut. Tingkat perhatian Pemerintah Daerah Manggarai
terhadap pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur mencapai 5% di Kecamatan
Kota Komba dan 6,2% di Kecamatan Borong. Sedangkan penghargaan terhadap nilai
budaya cinta kasih dan menghindari kekerasan fisik mencapai 87,% di Kecamatan
Kota Komba dan 80% di Kecamatan Borong.
Walaupun hasil survey ini tidak
merepresentasikan keseluruhan warga masyarakat Manggarai Timur yang meliputi enam
kecamatan, yakni: Kecamatan Poco Ranaka, Sambi Rampas, Lamba Leda dan Elar (termasuk Kecamatan ‘Kota Komba dan Borong’
sebagai sample survei).
Tetapi, survey ini paling kurang telah mewakili sebagian dari perhatian
pemerintah daerah terhadap pemerataan pembangunan fisik di wilayah Manggarai
Timur serta nilai sosio budaya masyarakat Manggarai Timur pada umumnya, yang
menekankan nilai budaya cinta kasih dan menghindari kekerasan fisik. Di pihak
lain, hasil survey ini menggambarkan secara keseluruhan orientasi pembangunan
fisik Pemda Manggarai dan nilai budaya orang Manggarai Timur. Indikator yang dapat
memperkuat argumentasi ini bisa diukur.
Pertama, pola hidup masyarakat Manggarai Timur,
di mana masyarakatnya agak jarang mengadakan demo atau protes terhadap
pemerintah setempat bila muncul ketidakadilan dalam mendistribusikan pembangunan
daerah. Juga masyarakat Manggarai Timur jarang melakukan perang tanding memperebutkan
tanah suku atau jabatan tertentu dalam suku atau pemerintahan. Artinya
persaingan secara kekerasan untuk mendapatkan suatu jabatan atau harta warisan
budaya tidak terakomodir dalam nilai-nilai budaya masyarakat Manggarai Timur. Karena
setiap persoalan selalu diselesaikan secara adat. Di sini adat telah menjadi
ideologi hidup mereka. Kalau memang ada, pasti ada pihak ketiga yang telah
mengotori otak dan budaya masyarakat Manggarai Timur.
Kedua, orang Manggarai Timur sangat minim bekerja dibidang birokrasi atau
pemerintahan daerah. Mereka lebih banyak berkecimpung di dunia pendidikan
sebagai tenaga edukatif di lapangan, sebagai wartawan dan sekolah calon ‘imam’
yang mengajarkan tentang moral dan cinta kasih dalam berpikir dan berkarya. Karena
itu, bisa dipahami kalau pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur sangat
minim karena kurangnya ‘orang
dalam’ (MAO=Manga Ata One dalam bahasa Manggarai) yang dapat mempresor (menekan,red)
pemerintah untuk mengarahkan serta memberikan perhatian pembangunan fisik secara
adil dan merata di wilayah Manggarai Timur.
Tampaknya,
itulah wajah masyarakat Manggarai Timur dalam pembangunan fisik sebelum diresmikan
sebagai kabupaten sendiri. Maka peresmian kabupaten Manggarai Timur pada
tanggal 23 Nopember 2007, secara politis merupakan suatu ‘kemerdekaan’ dari belenggu pembangunan fisik yang kurang adil selama ini,
sehingga pada saat ini mereka boleh menghirup udara bebas untuk menggali
potensi daerahnya, mengkaji dan membangun wilayahnya sesuai kebutuhan dan
kemampuannya demi terwujudnya masyarakat Manggarai Timur yang berbudaya,
beriman, berkualitas, berkeadilan serta mandiri dalam berpikir dan bertindak.
Karena hal itu sesuai dengan tujuan utama pembentukan kabupten Manggarai Timur,
yakni: mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat dan pemerataan
pembangunan fisik.
II. FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MANGGARAI TIMUR
Berbicara
tentang falsafah berarti berbicara tentang nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok masyarakat. Nilai itu menjadi pedoman atau pegangan
hidupnya (way
of life) dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara sehingga seluruh aktivitasnya selalu mengacu pada falsafah hidupnya.
Setiap masyarakat memiliki falsafah
tersendiri. Demikian juga masyarakat Manggarai Timur memiliki falsafah hidup
yang khas dan unik. Kekhasannya terletak dalam berbagai apresiasi hidup, baik
pada masa lampau maupun masa sekarang.
1. Masa Lampau
Falsafah hidup orang Manggarai pada
umumnya dan Manggarai Timur khususnya pada masa lampau mengandung pesan-pesan
bernuansa filosofis, baik yang menyangkut dalam dunia nyata maupun yang berada
di dunia cita-cita. Dua sumber tata kehidupan orang Manggarai Timur adalah ‘kesadaran’
tentang das
sain dan das sollen – apa adanya dan bagaimana adanya.
Kedua sumber tata kehidupan itu diwujudkan
secara nyata dalam perilaku hidup, karya-karya seni dan teristimewa diabadikan
dalam Logo
Rumah Adat yang disebut ‘Mbo Meze’ dalam bahasa Rongga, orang Manggarai Timur Laut, ‘Mbaru Mezhe’ menurut orang Mukun (Manus) dan Rajong serta ‘Mbaru Wunut’ menurut orang Lamba Leda,
Elar, Poco Ranaka, Borong dan Sambi Rampas yang terdapat di setiap
kampung, terutama pada setiap rumah gendang. Karena itu, setiap rumah adat di
Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya dirancang dan dibangun
dengan memperlihatkan konstruksi baku
untuk menggambarkan pesan-pesan simbolik yang mengandung nilai-nilai sosial dan
religiusitas yang begitu tinggi. Nilai-nilai itu
terpampang pada tiga simbol utama di puncak rumah adat, yakni Periuk Persembahan,
Tanduk Kerbau dan Atap Ijuk berbentuk bulat.
a. Periuk
Persembahan
Periuk persembahan
melambangkan nilai religiusitas, yakni keyakinan dan sekaligus penghormatan orang Manggarai kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Keyakinan ini memacu
orang Manggarai Timur untuk menanam apa saja dalam kebunnya karena mereka yakin
bahwa Tuhan akan memberikan kehidupan. Keyakinan itu dalam bahasa Manggarai
pada umumnya disebut ‘Mori
Jari Dedek, tana wa awang eta, pukul parm agu kolep, ulun le wain lau’. Artinya, Tuhan pencipta, pembentuk kehidupan manusia dan segala
makluk serta alam raya.
Keyakinan itu telah
berakar dalam kehidupan orang Manggarai Timur sejak nenek moyang hingga
generasi sekarang bahwa Tuhan
Allah, Mori Jari Dedek senantiasa ada, tetapi tidak
dapat diraba dan dilihat oleh manusia. Karena itu, Tuhan pencipta langit dan
bumi itu perlu disembah, dihormati serta diberi makan berupa sopi kampung, hati
ayam, babi, kerbau, sapi dan sebagainya supaya tidak marah terhadap manusia
sehingga manusia selamat dan tentram.
Keyakinan Mori Jari Dedek tinggal di tempat yang tinggi, maka pada bubungan rumah adat itulah
tempat persembahannya sehingga mengandung nilai bahwa si Jari Dedek selalu tertinggi dan memang harus ditinggikan.
b. Tanduk Kerbau
Tanduk kerbau
mengajarkan nilai kemanusiaan, yakni kemanusiaan bermakna cita-cita agar keturunan kuat seperti
kerbau dan suka bekerja keras. Konsepsi ideologis tanduk kerbau itu tergambar
dalam ungkapan:
‘uwa haeng wulang, langkas haeng tala’. Artinya,
tinggi sampai di bulan dan jangkaunya sampai di langit. Makna ini mau
menunjukkan bahwa orang Manggarai Timur adalah orang yang ‘rajin bekerja keras dan
suka bersaing’ untuk memenuhi kehidupannya serta sopan dalam bertutur.
Akibatnya, mereka membanting tulang,
memeras otak dan keringat untuk mempertahankan hidupnya serta kaya dalam
melahirkan berbagai karya seni. Entah itu, karya seni berupa tarian pera,
tandak, caci, lagu-lagu daerah, puisi, karangan ilmiah, prosa dan kerajinan
tangan lainnya. Hal ini sangat mempengaruhi orang Manggarai Timur dalam
menentukan pilihan hidup untuk menyekolahkan anaknya, yakni menjadi guru,
wartawan dan biarawan-biarawati.
Pilihan jatuh pada sekolah-sekolah
tersebut karena nilai yang hendak ditonjolkan dalam sosial budaya orang
Manggarai Timur adalah ‘kerja
keras dan mau menegakkan kebenaran’. Misalnya,
dengan menjadi guru, mereka perlu belajar memeras otak, waktu dan tenaga untuk
memikirkan banyak hal berkaitan dengan materi pembelajaran bagi anak didiknya
serta bersedia bekerja di tempat terpencil. Demikian juga dengan pilihan hidup
menjadi wartawan, sesuatu akan tercapai melalui kerja keras. Seperti sang
wartawan perlu bekerja keras siang dan malam memburu berita agar bisa
mendapatkan data yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan faktual. Sebaliknya, melalui sekolah pendidikan menjadi biarawan-biarawati,
mereka dilatih dan dibina untuk disiplin diri dan lingkungannya serta jujur
dalam kata dan berkaya. Maka dapat dimengerti kalau orang Manggarai Timur
sangat minim berkecimpung dalam dunia birokrasi dan politik, dan kalau toh ada
mungkin tidak seberapa. Tetapi, dunia guru, wartawan dan kaum religius dapat
dikategorikan spesialisasi orang
Manggarai Timur.
Sementara
makna simbolik lain dari tanduk kerbau adalah bahwa hewan itu sangat erat
relasinya dengan orang Manggarai sebagai pembantu tenaga kerja untuk membajak
sawah maupun membantu memikul beban serta jaminan membayar belis. Karena itu,
besar-kecilnya belis bagi masyarakat Mangarai Timur sangat tergantung pada
status sosial dalam masyarakat dan tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang.
c. Atap Ijuk
Atap ijuk dalam bentuk bulatan
melambangkan nilai persatuan
dan kesatuan yang kukuh kuat dan tak terpisahkan.
Nilai persatuan dan kesatuan ini, pada masa lampau sungguh menjiwai seluruh
aktivitas sosial orang Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya.
Seperti terungkap dalam syair adat: ‘Nai ca anggit tuka ca leleng’ dalam bahasa Manggarai umum atau ‘kita setuka ne
seate one kerja’ dalam bahasa orang Rongga
Manggarai Timur Laut.
Artinya kita
seia sekata, satu konsepsi demi kesatuan aksi. Atau syair lain: ‘Ca natas bate
labar, ca uma bate duat, ca wae teku agu ca mbaru bate kaeng’. Artinya, kita satu halaman tempat bermain (bersaudara,
red) atau bercandaria bersama, satu kebun tempat
kerja bersama dan satu rumah tinggal bersama.
Prinsip kesatuan dan persatuan ini nyata
dalam kehidupan orang Manggarai Timur masa lampau dalam berbagai aktivitas,
seperti: kegiatan membuka kebun baru, pembuatan rumah baru, acara makan padi
baru, acara membawa belis, menyekolahkan anak ke perguruan tinggi dan pada saat
kematian selalu dilaksanakan dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan.
Karena itu, atap ijuk berbentuk bulat
selain melambangkan persatuan dan kesatuan, juga mengandung prinsip nilai permusyawaratan
atau demokrasi dan prinsip kesejahteraan sosial. Nilai demokrasi atau
permusyawaratan nyata dalam berbagai pelaksanaan ritus adat atau kegiatan-kegiatan yang bersifat kebersamaan seperti penulis sebutkan
di atas, selalu di dahului dengan permusyawaratan atau ‘reje leleng batang
cama’. Artinya, selalu dibicarakan atau
didiskusikan secara bersama-sama untuk memulai, melaksanakan dan
menyelesaikannya atau merampungkan suatu urusan.
Demikian juga soal prinsip kesejahteraan
sosial yang nyata dalam sikap ‘tolong menolong’ (gotong royong), seperti tetangga yang kekurangan garam atau gula pasir atau minyak
tanah dapat meminta bantuan kepada tetangganya, dan sebagainya. Prinsip
kesejahteraan sosial yang lain, juga nyata dalam sikap ‘suka bersaing’ yang sehat dalam hal menanam sesuatu. Misalnya, orang Manggarai
Timur dalam sebidang tanahnya menanam segala jenis tanaman mulai dari ubi kayu
sampai tanaman perdagangan. Akibatnya tanaman dipaksa untuk bersaing memperebut
humus tanah dan yang kalah bersaing akan kurang subur bertumbuh dan berkembang.
Contoh lain, berkaitan dengan dunia pendidikan, yang penulis kategorikan
sebagai persaingan sehat. Dewasa ini, masyarakat Manggarai Timur berlomba-lomba
menyekolahkan anaknya. Bahkan suatu keluarga atau suku merasa bangga kalau anggota
sukunya banyak yang kuliah. Karena itu, ukuran kekayaan orang Manggarai Timur
saat ini tidak terletak pada berpuluh juta uang yang ia simpan di bank, berapa
banyak rumah ia yang miliki atau berapa banyak binatang peliharaan yang pelihara
dan sebagainya. Melainkan orang yang disebut kaya adalah orang yang mampu
menyekolahkan anak-anaknya. Artinya, orangtua mampu mempergunakan kekayaan
otaknya dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebab kekayaan
duniawi bisa hilang dan hancur dimakan ngengat, tetapi kekayaan ilmu pengetahuan
dia tidak dapat hilang untuk selama-lamanya. Sebaliknya, ia dapat dipergunakan
untuk kepenting diri, sesama dan dunia sekitarnya.
Nilai-nilai ini merupakan satu kesatuan
yang bulat dan utuh, dan yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari orang
Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya pada masa lampau adalah ‘prinsip persatuan
dan kesatuan’. Sedangkan zaman sekarang, orang
Manggarai Timur lebih menekankan ‘individualisme dan persaingan’ yang selalu menampilkan jati dirinya bahwa dia ada. Hal ini nyata,
kalau dalam forum-forum umum atau diskusi bersama mereka selalu berbicara dan
terlibat adu argumentasi untuk menunjukkan bahwa dia ada. Sebaliknya, kalau
mereka tidak menyampaikan pendaptnya sama dengan mereka tidak hadir dan tidak
terlibat secara riil dalam hal-hal yang sedang didiskusikan.
Saking pentingnya
nilai persatuan dan kesatuan bagi masyarakat Manggarai pada umumnya dan
Manggarai Timur khususnya pada masa lampau itu, mereka melukiskan dalam
metafor-metafor lokal tentang hubungan sesama makluk di luar manusia. Seperti
terungkap dalam bahasa Manggarai umum: ‘Nakeng ca wae neka woleng
kaeng, ipung ca tiwu neka woleng inggut, muku ca pu’u neka woleng curub’ – atau dalam bahasa daerah suku Rongga Manggarai Timur Laut: ‘Nake sa alo mae wole
kae, ipu sa tiwu mae wole siku, muku sa pu’u mae wole ju’u’. Artinya, orang Manggarai Timur pada zaman masa lampau seperti ‘ikan
dalam satu kali supaya tidak tinggal berpisah, nener dalam satu kolam supaya
tidak tinggal bermusuhan dan pisang serumpun jangan saling perintah’.
Pesan moral sosial
ini dalam kaitan dengan pola pembangunan Kabupaten Manggarai Timur sesungguhnya
mau mengatakan bahwa orang Manggarai Timur sekarang yang lebih mengandalkan
kemampuan sendiri serta berjuang sendiri-sendiri, perlu bersatu hati
bersama-sama membangun Manggarai Timur yang berdemokrasi dan berkeadilan demi
mendekatkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebab kalau bukan
orang Manggarai Timur secara bersama-sama memperjuangkan percepatan proses
pembangunan wilayah Manggarai Timur yang berwawasan budaya keadilan, siapa
lagi. Dan kalau bukan saat sekarang, kapan lagi.
2. Masa Sekarang
Masa lampau
adalah ‘guru dan sekaligus ibu’ masa sekarang. Sebab bercermin pada masa lampau
orang menatap masa depannya dengan penuh harapan. Demikian juga, sejarah hidup
orang Manggarai Timur.
Realitas sosial menunjukkan bahwa
nilai-nilai luhur falsafah hidup orang Manggarai Timur yang dahulu
disanjung-sanjung dan bahkan dijaga, dipelihara serta diwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lain mengalami banyak ‘pergeseran’ (perubahan). Misalnya, ‘nilai persatuan dan kesatuan diganti dengan
individualisme atau kerja sendiri. Contoh kecil, orang Manggarai Timur yang
bekerja di kota-kota besar agak sulit untuk duduk kumpul bersama pada acara
tertentu bersama orang-orang Manggarai pada umumnya. Apalagi dalam kegiatan
tersebut mereka tidak diundang, gensinya sebagai individu sangat kuat. Mereka rupanya
lebih sibuk dengan kegiatannya. Dalam arti positif kemandirian hidup sebagai
pribadi sangat kuat. Selain itu, nilai demokrasi atau permusyawaratan diganti
dengan berjalan sendiri dan nilai kekeluargaan serta kebersamaan diganti dengan
persaingan dan mengandalkan kekuatan sendiri’. Singkatnya, falsafah luhur orang
Manggarai Timur masa lampau mengalami pergeseran besar-besaran dalam berbagai
aspek kehidupan.
Pertannyaan adalah, Apakah ini
tanda kemajuan peradaban orang Manggarai Timur? Ataukah suatu kemunduran? Orang Manggarai Timur saat ini sedang ‘dikuasai atau
diijonkan’ oleh orang-orang yang punya ‘kuasa dan modal’. Suara mereka dibeli dengan uang dan kekayaan alam sebagai sumber
penghidupan keluarga dan anak cucunya dibabat oleh mereka yang punya kuasa dan
modal. Akibatnya, pembangunan Kabupaten Manggarai Timur bisa terhambat. Karena
orang Manggarai Timur kurang bersatu, mereka lebih suka ‘dipimpin ketimbang
memimpin’. Akibatnya, suara mereka diperam dan keinginannya dibungkemkan. Sebab
orang Manggarai Timur yang sudah menjadi birokrat dan politisi bisa dihitung
dengan jari. Maka rapatkan barisan untuk menghidupkan nilai budaya masa lampau
demi membangun kabupaten Manggarai Timur yang mandiri, adil dan beradab sesuai
warisan sosio budayanya.
III. PLEIDOI MORAL
PEMBENTUKAN KABUPATEN MANGGARAI TIMUR
Sebagaimana penulis
telah singgung di atas, bahwa peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur
sadar atau tidak merupakan suatu pleidoi atau pembelaan moral pembangunan fisik
yang berjalan mundur di wilayah timur selama ini.
Langkah pembangunan
fisik yang mundur ini, dalam arti ketidaktersediaannya fasilitas umum yang
dapat dirasakan oleh masyarakat Manggarai Timur harus dirubah pola kerjanya.
Terlebih setelah peresmian pembentukan kabupaten tersendiri yang pada saat ini
dinakodai oleh Drs.
Fransiskus BP Leok.
Dengan terbentuknya kabupaten Manggarai
Timur, peluang pembangunan fisik yang adil terbuka lebar. Terlebih saat luas
wilayah semakin sempit dan perhatian serta pelayanan pemerintah daerah terhadap
masyarakat semakin dekat. Kondisi inilah yang memotivasikan masyarakat
Manggarai Timur mengadakan pleidoi moral pembentukan kabupaten tersendiri. Maka
keputusan pemerintah berdasarkan UU No.36 Tahun 2007 tentang pembentukan
Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu sumber hukum yang bisa dijadikan
referensi bagi masyarakat Manggarai Timur menyandang kabupaten sendiri. Karena
Negara Republik Indonesia
menganut asas Negara hukum yang mengedepankan peraturan perundang-undangan
untuk sah tidaknya suatu keputusan publik.
Selanjutnya, keputusan pemerintah pusat
meresmikan berdirinya kabupaten Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember 2007,
secara politis tidak bertentangan dengan pleidoi moral kerinduan masyarakat
Manggarai Timur. Pleidoi moral pembentukan kabupaten Manggarai Timur mengacu
pada dua argumentasi, yakni: kebutuhan masyarakat dan perintah moral pemerataan pembangunan.
1. Kebutuhan
Masyarakat Manggarai Timur
Peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai
Timur merupakan kebutuhan masyarakat. Di mana masyarakat Manggarai Timur
sendiri yang mendesak pemerintah daerah maupun pusat untuk dibentuknya
kabupaten sendiri.
Desakan rencana pembentukan Kabupaten Manggarai Timur sudah lama, yakni sejak tahun
1986, di mana pada saat itu ada perjuangan dari berbagai elemen masyarakat
Manggarai untuk membagi Kabupaten Manggarai menjadi tiga Kabupaten, yakni: Manggarai
Barat, Tengah dan Timur. Ide dasar pembagian Kabupaten Manggarai menjadi tiga
bagian karena wilayahnya terlalu luas, yakni: 7.136,4 km2 atau 1
1/3 kali dari luas Provinsi Bali dengan jumlah
penduduknya 603.206 jiwa.
Sedangkan tujuan pembentukan menjadi tiga
Kabupaten sangat mulia dan urgen yakni ‘demi mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat, dan demi pemerataan pembangunan’. Tujuan itu sejalan dengan UU
Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999 dan yang telah disempurnakan oleh UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perjalanan waktu dan pergantian
puncuk Pimpinan Daerah Manggarai turut mempengaruhi proses pendefinitifan
pembentukan Kabupaten Manggarai menjadi tiga bagian.
Sementara pembicaraan pembentukan kabupaten
mulai santer dibicarakan lagi pada awal tahun 2000, dan tahun 2004 Kabupaten
Manggarai Barat resmi dibentuk. Sebaliknya, pembicaraan pembentukan kabupaten
Manggarai Timur baru pada saat pilkada langsung pertengahan Juni 2005, di mana
salah satu kandidat Bupati terpilih Kabupaten Manggarai, pasangan Drs. Christian Rotok
dan Dr. Deno Kamilus,SH,MH dalam kampanye
politiknya memberi janji kepada masyarakat Manggarai Timur akan memperjuangkan
pembentukan Kabupaten Manggarai Timur apabila mereka terpilih menjadi Bupati
dan Wakil Bupati Manggarai periode 2005-2010.
Tawaran politik Rotok ini mendapat
respons begitu besar dari kalangan masyarakat Manggarai Timur. Sebab ide
pembentukan kabupaten tersendiri sangat relevan dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat Manggarai Timur, yakni: demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat
dan pemerataan pembangunan fisik. Seperti pembangunan transportasi antar desa
dan anak kampung, pemasangan jaringan listrik negara sampai ke desa-desa
terpencil serta pembangunan puskesmas dan lembaga pendidikan. Sebab ditilik
dari sisi kebutuhan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa ketiga bidang
pembangunan ini sangat minim di wilayah Manggarai Timur ketika masih bergabung
dengan kabupaten induk, Manggarai.
Pertanyaannya, mengapa pasangan Drs.Christian Rotok
dan Dr. Deno Kamelus berani mengeluarkan pernyataan
politik memperjuangkan pembentukan kabupaten Manggarai Timur? Jawabannya
mengacu pada kebutuhan masyarakat. Rotok dan pasangannya mampu membaca
kebutuhan masyarakat Manggarai Timur, sehingga strategi politik memenangkan
pilkada langsung di kabupaten Manggarai pada tanggal 27 Juni 2005 sangat besar.
Selain itu, Drs. Christian Rotok
adalah salah satu putra terbaik dari wilayah Timur, khususnya berasal dari
Kecamatan Lamba Leda. Rotok dapat disebut sebagai ikon orang Manggarai Timur
yang bekerja dalam dunia birokrasi, yang dapat dipegang kebenaran pembicaraannya.
Karena itu pantas kalau Christian Rotok tidak hanya berjanji, melainkan ‘memberi bukti’ perjuangannya kepada masyarakat Manggarai Timur. Keberanian
Christian Rotok berjanji di depan keluarganya masyarakat Manggarai Timur karena
dia mengenal pembangunan fisik di wilayahnya serta paham sosio budayanya.
Selanjutnya, secara administrasi
pemerintahan, Christian
Rotok sungguh memahami bahwa ditinjau dari aspek hukum,
ekonomi, SDM, SDA dan sosial budaya pembentukan Kabupaten
Manggarai Timur sudah memenuhi syarat, bahkan melampaui syarat. Akibatnya, dia
mendapat dukungan terbanyak dari masyarakat Manggarai Timur untuk menghantarnya
menjadi orang nomor satu di Kabupaten Manggarai dengan berhasil mengumpulkan
114.261 suara atau 46,84% dari total suara pemilih 276,782 di kabupaten
Manggarai.
2. Perintah Moral Pemerataan Pembangunan
Salah satu perintah moral pembangunan
yang diusung dalam pleidoi moral pembentukan kabupaten Manggarai Timur adalah ‘mendekatkan
pelayanan dan pemerataan pembangunan’. Sebagaimana penulis telah utarakan pada
pembahasan sebelumnya bahwa wilayah Manggarai sangat luas. Akibatnya,
efektivitas pelayanan pemerintah sangat minim dan pemerataan pembangunan sangat
sulit dicapai. Salah satu pilihan yang paling tepat untuk mengefektifkan
pelayanan pemerintahan dan pembangunan adalah peresmian pembentukan kabupaten
Manggarai Timur.
Ide ini mungkin sangat kontradiktif
dengan isu ‘memecah
belahkan’ warisan khazanah budaya Manggarai
sebagaimana diserukan oleh berbagai aktivis pencinta budaya Manggarai, bila
Manggarai dibagi tiga. Tetapi suatu keputasan yang lebih bijaksana, kalau
terjadi pembentukan kabupaten Manggarai menjadi tiga kabupaten. Karena dengan
pembagian wilayah menjadi tiga kabupaten, luas wilayah Manggarai semakin
sempit.
Konsekuensinya, pemerintah semakin
dekat dengan masyarakat dalam memberikan berbagai pelayanan publik. Juga waktu
pemerintah untuk berjumpa dengan masyarakat semakin banyak serta perhatian
pemerintah terhadap pembangunan fisik dan mental manusia yang bernuansa
keadilan dapat direalisasikan sampai kepelosok desa. Maka pleidoi moral
pembentukan kabupaten Manggarai Timur diteropong dari aspek mendekatan
pelayanan dan pemerataan pembanguan fisik suatu harga mati. Karena itu,
perintah moral pemerataan pembangunan segera ditindaklanjuti, paling kurang
setelah diresmikan pembentukan kabupaten Manggarai Timur.
Peresmian pembentukan kabupaten Manggarai
Timur selain sesuai tujuan UU Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999 dan yang telah
disempurnakan oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni: demi
mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat dan pemerataan pembangunan.
Di sisi lain, suatu koreksi terhadap pemerintah Manggarai tentang pembangunan
fisik di wilayah timur selama ini. Soalnya, banyak daerah di wilayah timur yang
belum terjangkau oleh alat transportasi dan jaringan listrik Negara. Karena
itu, peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember
2007 lalu adalah sebuah langkah penting dan strategis.
Pertama, peresmian pembentukan Manggarai Timur itu melegakan Rotok dan Deno, Bupati Manggarai terpilih periode 2005-2010 karena itulah salah
satu janjinya saat kampanye Pilkada langsung
Manggarai 27 Juni 2005 kepada pendukungnya di wilayah Timur. Dengan
pemenuhan janji ini, Rotok
dan Deno tidak akan lagi ditagih oleh masyarakat
wilayah timur. Kedua, peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur melegakan
masyarakat wilayah timur, di mana harapan mendekatkan pelayanan dan pemerataan
pembangunan fisik sampai ke pelosok desa mudah-mudahan bisa tercapai. Maka
kebijakan pemerintah pusat meresmikan pembentukan kabupaten Manggarai Timur,
secara moral pembangunan adalah sebuah langkah penting untuk keluar dari
pembangunan fisik masa lalu yang kurang adil. Ketiga, peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur melegakan
masyarakat Manggarai Timur bahwa keberadaan pontensi alam, sumber daya manusia
dan sosial budaya masyarakat timur diakui pemerintah pusat dan kabupaten induk.
IV. PEMBANGUNAN MANGGARAI TIMUR
BERWAWASAN SOSIO BUDAYA
Desain pembangunan fisik
masa lalu yang kurang berpihak pada kebutuhan masyarakat dapat melukai rasa
keadilan masyarakat wilayah timur. Luka rasa keadilan itu akan terulang kalau
pola lama pembangunan diterapkan ketika Manggarai Timur telah berdiri sebagai kabupaten
sendiri.
Sebaliknya, luka rasa keadilan
pembangunaan akan terelimir apabila para pemimpin yang diberi kepercayaan untuk
menakodai wilayah kabupten Manggarai Timur mampu bekerjasma dengan masyarakat
serta berpegang teguh pada nilai sosio budaya setempat. Hal itu mungkin terjadi
apabila: Pertama, kehadiran pemerintah daerah di tengah masyarakat sebagai fasilitator dalam memperlancar pembangunan Manggarai Timur, terutama dalam
bidang ekonomi, politik serta sosial budaya. Dalam bidang perekonomian
misalnya, segala bentuk perizinan hendaknya dipermudah, bukan sebaliknya dengan
menciptakan segala bentuk birokrasi yang menyulitkan kalangan pengusaha dan
investor untuk menanamkan modalnya di Manggarai Timur. Logika yang hendak
digunakan oleh Pemda Manggarai Timur adalah silakah menggunakan sarana dan
prasarana daerah serta sumber daya daerah untuk
kegiatan ekonomi daerah. Dengan demikian menciptakan lapangan kerja baru
bagi masyarakat. Dalam bidang politik, Pemda Manggarai Timur harus mampu
membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kondisi riil dan kebutuhan
masyarakat Manggarai Timur. Selain itu, Pemda Manggarai Timur harus mampu
membangun sistem pola karier politik dan administrasi yang kompetitif serta
mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. Sedangkan dalam
bidang sosial budaya, Pemda Manggarai Timur harus mampu mengelola daerah Manggarai
Timur sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada
saat yang sama memelihara nilai-nilai sosio budaya masyarakat Manggarai Timur
yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika
kehidupan di sekitarnya.
Kedua, kehadiran pemerintah harus mampu menumbuhkan inisiatif dan
kreativitas masyarakat Manggarai Timur. Sebab
pembangunan yang berbasiskan inisiatif dan kreativitas sangat mengandaikan
kemampuan pemimpin daerah Manggarai Timur untuk mengaturnya serta mendorong inisiatif
dan kreativitas masyarakat. Tujuannya untuk mempercepat dan meningkatkan
pembangunan kawasan Manggarai Timur. Artinya, kemampuan pimpinan daerah
Manggarai Timur untuk mengelola segala pontensi atau modal sosial yang ada pada
masyarakat Manggarai Timur. Misalnya, kreativitas pemerintah dalam
mengalokasikan dana, apakah yang bersumber dari PAD ataukah dari DAU secara tepat dan adil serta proporsional.
Atau kreativitas pemerintah dalam memanfaatkan serta mendayagunakan SDM dan SDA
yang ada pada masyarakat Manggarai Timur demi membangun kabupaten Manggarai
Timur yang berwawasan keadilan dan sosio budaya.
Kedua kekuatan ini akan berjalan
sebagaimana adanya, bila Pemerintah Manggarai Timur sangat memahami aspek
sosiologis dan antropologis masyarakat Manggarai Timur.
1. Aspek Sosiologis
Dari sisi sosiologis pembangunan
Kabupaten Manggarai Timur merupakan suatu ‘keharusan’ yang tidak boleh ditunda-tunda lagi. Karena wilayah Manggarai
sangat luas dan pembangunan fisik sampai kepelosok desa sangat kurang sehingga
sosialitas antara Pemerintah dan masyarakat Manggarai Timur belum berjalan
sebagaimana mestinya.
Akibatnya, pembangunan dan
pelayanan terhadap masyarakat Manggarai Timur selama ini tersendat-sendat. Maka
peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur dari sisi sosiologis menjawabi
kerinduan dan kebutuhan masyarakat untuk mendekatkan pelayanan dan pembangunan.
Dengan demikian, prinsip keadilan dapat dipersempit kesulitannya. Karena dengan
peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur, diharapkan:
·
Wilayah pelayanan Pemerintah
semakin sempit.
· Pembangunan semakin gencar
digalakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan.
·
Hasil budaya dan komiditi
masyarakat Manggarai Timur tersalur secara baik, dan
· Penggangguran dapat diperkecil
karena lapangan pekerjaan tersedia.
2. Aspek Antropologis
Secara Antropologis masyarakat
Manggarai Timur terdiri dari berbagai etnis atau suku, seperti: Suku Rongga
(Manggarai Timur Laut), Suku Wolos (Manggarai Timur Tenggara), Suku Manus
(Manggarai Timur Utara), Suku Sigho (Manggarai Barat Laut, Barat Daya serta
Barat Utara), dan Suku Rajong (Manggarai Timur Tenggara bagian Utara, dan setiap suku memiliki bahasa ibu yang berbeda-beda satu terhadap
yang lain.
Walaupun secara Antropologis
masyarakat Manggarai Timur memiliki suku dan bahasa yang berbeda-beda, tetapi
dimaknai sebagai tanda:
·
Heterogenitas atau kemajuan sosio
budaya
·
Kemajuan perabadan dalam
berkreasi atau menciptakan bahasa tiap etnis
·
Keterbukaan perabadaban dalam
memberikan ruang dan kesempatan kepada etnis dan bahasa lain untuk bertumbuh
dan berkembang, dan
·
solideritas sosial budaya
masyarakat Manggarai Timur yang diwarisi dari satu generasi ke generasi yang
lain.
Akibatnya, ‘individualisme semakin
tinggi dan kerjasama’ warisan luhur nenek moyang semakin terkuras karena merasa
diri mampu menciptakan berbagai tanda kemajuan peradaban. Hal itu turut
mempengaruhi pola pikir dan pola kerjanya dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai tanda kemajuan peradaban itu
diinspirasi oleh falsafah hidup orang Manggarai Timur yang satu dan sama, dan
juga ditopang oleh tiga nilai etis tradisional masyarakat Manggarai Timur,
yakni: ‘Nilai iman, nilai kemanusiaan dan nilai kesetaraan dengan lingkungan’.
a. Nilai Iman
Nilai iman mengandung keselamatan,
kasih sayang, kejujuran, kesetiaan dan keterbukaan. Nilai iman ini sudah
berakar dalam budaya masyarakat Manggarai Timur. Indikatornya, bahwa orang
Manggarai Timur dalam kehidupan nyata setiap hari selalu menonjolkan hidup
agamanya. Mereka mengakui bahwa ada wujud tertinggi atau tokoh supra natural
yang berada di luar jangkauan akal budi manusia, yang mereka sebut Mori Kraeng (Tuhan Allah).
Mori Kraeng itu dalam sosio budaya
masyarakat Manggarai Timur dimaknai sebagai tokoh keselamatan, maka dia perlu
disembah dan diberi sesajian berupa darah dan daging hewan peliharaan mereka
sendiri. Seperti ayam, babi, telur, nasi serta minuman miras tradisonal yang
disebut tuak atau sopi kampung.
b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan itu meliputi
persaudaraan, kekeluargaan, persatuan, kebersamaan, keadilan, pengampunan dan tidak
membeda-bedakan.
Sistem nilai kekerabatan masyarakat
Manggarai Timur yang tertinggi adalah ‘woe nelu’ (keluarga inti). Dalam satu
kampung ikatan woe
nelu dibangun karena hubungan darah dan perkawinan.
Karena itu, nilai persaudaraan, persatuan, rasa keadilan dan sebagainya sudah
ditanam mulai suku atau sub klien yang menganut sistem patrilineal (garis keturunan
laki-laki yang berkuasa). Artinya, kaum laki-laki yang
berhak atas warisan orangtuanya.
Sedangkan kaum perempuan tidak
mendapatkan apa-apa. Kalau toh ada itu merupakan belaskasihan dari saudara atau
sukunya. Hak yang diterima oleh kaum perempuan yang diberikan oleh saudara atau
sukunya itu disebut widang (pemberian).
c. Nilai Kesetaraan Dengan
Lingkungan Hidup
Perlu diakui bahwa masyarakat Manggarai
Timur mewarisi filsafat yang berciri agraris, yakni dengan banyak legenda dan
mitos sebagai simbol komunikasi nilai dan kebijakan hidup yang berisikan
tentang kesetaraan dengan alam. Misalnya: orang Manggarai Timur menghargai bulir
padi, jagung dan sebagainya karena ada kaitannya
dengan dewa kesuburan. Penghargaan terhadap pohon supaya jangan ditebang
sebarang khususnya pohon dekat mata air berkaitan dengan legenda hidup para
dewa air, dewa hujan dan pohon.
Begitu pula dengan tempat pekuburan
untuk selalu dijaga, dipelihara dan dihormati karena ada satu keyakinan akan
persatuan dengan semua saudara yang sudah meninggal melalui arwah nenek moyang.
Pohon,
mata air, pekuburan dan kampung lingko semua dijaga
oleh seorang tokoh dewa yang diyakini sebagai pengantar manusia dengan satu
tokoh dewa tertinggi, yakni Mori
Kraeng.
Ketiga nilai etis tradisional ini
telah menjadi milik masyarakat Manggarai Timur dulu dan sekarang. Nilai-nilai
hidup itu telah berakar pada tradisional setempat yang nyata dalam ritus-ritus
adat dan prilaku orang Manggarai Timur dalam bertindak.
Perbedaan dalam etnis dan bahasa
merupakan suatu ‘kekayaan sosial budaya’ yang perlu dilestarikan sambil tidak
melupakan rambu-rambu falsafah hidup dan nilai etnis tradisional.
V. PEMBANGUNAN KABUPATEN MANGGARAI
TIMUR DALAM ASPEK SOSIAL BUDAYA, KEBUTUHAN SIAPA?
Secara sosial budaya peresmian pembentukan
Kabupaten Manggarai Timur tidak banyak mengalami kesulitan, bahkan merupakan
suatu kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Karena dengan peresmian pembentukan Kabupaten secara sosial:
1.
Mempercepat pembangunan di
kawasan Timur Manggarai karena wilayanya semakin sempit
2.
Semakin mendekatkan pelayanan
Pemerintah kepada masyarakat
3.
Lapangan pekerjaan tersedia
4.
Hasil komiditi dan nilai
kekayaan budaya masyarakat Manggarai Timur semakin memiliki nilai jual, dan
5.
ruang isolasi pembangunan
antara desa dan anak kampung semakin sempit.
Karena itu, proses pembangunan
Kabupaten Manggarai Timur akan diperpecat apabila:
1.
Masyarakat Manggarai Timur
bersatu hati membangun wilayahnya secara bersama-sama berdasarkan sosio budaya
yang dimilikinya.
2. Masyarakat Manggarai Timur tetap berkiblat dan berpegang teguh pada
falsafah hidup dan nilai etis tradisional warisan leluhur yang mengajarkan
tentang persatuan dan kesatuan dalam membangun.
3.
Para elite politik Kabupaten Manggarai Timur yang diberi kuasa untuk
mengendalikan roda pemerintahan harus berhenti dari berbagai tindakan yang
menghalang-halangi proses pembangunan Kabupaten Manggarai Timur yang adil dan
merata karena wilayah kepentingan politiknya semakin sempit.
4.
Semua pihak perlu menyatukan
persepsi bahwa pembangunan Kabupaten baru merupakan kebutuhan mendesak yang
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta mempercepat pembangunan Daerah
yang berkelanjutan. Maka dituntut dari semua pihak adalah: komitment dan
kemauan yang sama, Akuntabilitas, Transparansi, Partisipasi, dan Equility yang
bukan hanya sebatas pengetahuan umum saja, melainkan bersifat operasional yang
menyentuh persoalan empiris yang secara riil dihadapi masyarakat Manggarai
Timur, yakni: masyarakat yang selama wilayahnya terlalu luas pelayanan dari
Pemerintah agak kurang mendapat perhatian sehingga pembangunan dalam segala
aspek kehidupan sangat minim.
5.
Perlu mengedepankan kepentingan
publik atau bersama. Maksudnya, dalam perjuangan proses mempercepat pembangunan
Kabupaten Manggarai Timur kita perlu ‘kuburkan’ segala kepentingan politik pribadi maupun kelompoknya. Sebaliknya,
kepentingan rakyatlah atau masyarakat Manggarai Timur yang perlu diperjuangkan
secara bersama-sama. Kepentingan masyarakat yang menuntut rasa keadilan dalam
pembangunan dan pelayanan nyata.
Daftar Pustaka
Dami N. Toda, Manggarai Mencari
Pencerahan Historiografi, Penerbit Nusa Indah Ende,
Flores, 2001.
Jimung Martinus, Politik Lokal dan
Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah,
Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta,
2005.
_____________ , Teori Pembangunan
Politik Di Indonesia
Dalam Praktek, Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2006.
_____________ , ‘Pembentukan
Kabupaten Manggarai Timur Dalam Perspektif Sosio Budaya’ (Makalah yang dibawakan pada saat seminar sehari Sosialisasi
Rencana Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur yang diselenggarakan oleh Forum
Mahasiswa Manggarai Timur atau Formatim di Hotel Ina Boi Kupang), UNWIRA
Kupang, 2005.
Robert Mirsel, ‘Masyarakat
Manggarai: Sejarah, Alam Pemikiran, Tanah dan Hutan’ dalam Eman J.
Embu & Robert Mirsel (Editor), Gugat! Darah Petani Kopi
Manggarai, Penerbit
Ledalero, Maumere-Flores, 2004.
[1]Martinus Jimung,S.Fil.M.Si.M.Kes adalah mantan dosen Fisip UNWIRA Kupang. Ia
adalah putra Rongga-Manggarai Timur Laut. Tepatnya berasal dari kampung
Bamo-Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur. Penulis aktif dalam berbagai
seminar politik dan menulis berbagai artikel dalam media massa lokal dan jurnal. Hasil karyanya yang
telah terpublikasi dalam bentuk buku, yakni: (1) Politik Lokal dan
Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2005, (2) Teori Pembangunan Politik di Indonesia Dalam
Praktek (Yogyakarta, 2006) dan (3) Semoga Kami
Bersatu: Suatu Ziarah Bathin Para Pasutri (Yogyakarta, 2007). Dua naskah
buku yang sedang diolah di penerbit, yakni: Perubahan Sosial dan Dinamika
Pemerintahan Suatu Pengantar, dan Manusia adalah Rekan Kerja Allah. Pekerjaannya sekarang
sebagai Dosen AKPER Fatima Parepare-Sulawesi Selatan dan sambil melakukan riset
di Kota Medya Parepare untuk menulis buku tentang: Pilkada Langsung dan
Kecenderungan Pemilih Dalam Memilih Calon. Juga
sebagai pengisi kolom opini pada Majalah Parepare Pos, Sulawesi Selatan.
Tulisan ini sebagai wujud keberpihakan penulis terhadap peresmian pembentukan
Kabupaten Manggarai Timur.
Ulasan bagus pak Martin.....
BalasHapus