Minggu, 21 Juni 2015

MEMBANGUN KABUPATEN MANGGARAI TIMUR BERWAWASAN KEADILAN DAN SOSIO BUDAYA



                                                                                             

 Martinus Jimung,S.Fil.M.Si.M.Kes[1]
Abstract              
            Opening of forming of sub-province of Manggarai East on 23 November 2007 representing new chapter to development future history in area of Manggarai East. In consequence this momentum may not be wasted in. Because efficacy of opening of forming of sub-province of Manggarai East pursuant to UU No. 36 Year 2007, expected to add construction wight in region of Manggarai East become good progressively and fair. On the contrary, efficacy of development in sub-province storey; level of Manggarai East will give contribution which real very to efficacy of national development.
This article focussed attention at momentum develop; build Sub-Province of Manggarai East as moral defence document form forming of Sub-Province of Manggarai East. In consequence tidy the gist of one's thoughts in this article consist of Manggarai In At A Glance and Construction, Philosophy Live Society of Manggarai East, Defence Document Moral Forming Of Sub-Province of Manggarai East, Development Of Manggarai East With vision of Cultural Sosio and Development Of Kabupten Manggarai East In Social Aspect of Culture, Requirement of Whom? Fifth of this keyword is knitted by writer by following various development pattern issue which is expanding and also supported by various contemporary idea which by intrisik sue construction in area region of Manggarai East which with vision of and justice of sosio cultural.
Abstraksi
Peresmian  pembentukan Kabupaten Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember 2007 merupakan babak baru bagi sejarah masa depan pembangunan di kawasan Manggarai Timur. Karena itu momentum ini tidak boleh disia-siakan. Sebab keberhasilan peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur berdasarkan UU No. 36 Tahun 2007, diharapkan menambah bobot pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur menjadi semakin baik dan adil. Sebaliknya, keberhasilan pembangunan di tingkat kabupaten Manggarai Timur akan memberikan kontribusi yang amat nyata bagi keberhasilan pembangunan nasional.
            Tulisan ini memfokuskan perhatian pada momentum membangun Kabupaten Manggarai Timur sebagai wujud pleidoi moral pembentukan Kabupaten Manggarai Timur. Karena itu pokok pikiran yang dikemas dalam tulisan ini terdiri dari Manggarai Dalam Selayang Pandang dan Pembangunan Fisik, Falsafah Hidup Masyarakat Manggarai Timur, Pleidoi Moral Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur, Pembangunan Manggarai Timur Berwawasan Sosio Budaya dan Pembangunan Kabupten Manggarai Timur Dalam Aspek Sosial Budaya, Kebutuhan Siapa? Kelima kata kunci ini dirajut penulis dengan mengikuti berbagai isu pola pembangunan yang sedang berkembang serta didukung oleh berbagai gagasan kontemporer yang secara intrisik menggugat pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur yang berwawasan keadilan dan sosio budaya. 

PENDAHULUAN
             Kata membangun atau lebih tepatnya pembangunan mengacu pada makna ‘suatu tindakan nyata yang dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun bersama yang dapat menyebabkan sesuatu itu berubah dari yang semula atau aslinya’. Selain itu, kata membangun juga mengisyaratkan kepada kita bahwa ada dua aspek penting berjalan bersamaan dalam kegiatan membangun, yakni: manusia sebagai subyek pelaku pembangunan dan obyek yang terkena tindakan pelaku pembangunan.
Sementara wawasan keadilan merujuk pada pola pembangunan bangsa, baik pusat maupun daerah yang lebih berpihak pada kepentingan warga Negaranya tampa kecuali, entah orang desa maupun kota. Orang yang dekat dengan pusat kekuasaan maupun yang jauh dari pusat kekuasaan. Artinya, semua warga Negara mendapatkan porsi yang sama dalam menerima dan menikmati kue pembangunan bangsa.
Sedangkan sosio budaya dalam tulisan ini lebih merujuk pada ‘mentalitas’ manusia yang terarah kepada pola kehendak, pola pikir, pola kerja dan pola sikap suatu masyarakat dalam menyikapi berbagai kegiatan membangun.
            Mengacu pada argumentasi ini, maka membangun Kabupaten Manggarai Timur berwawasan keadilan dan sosio budaya lebih dipahami sebagai suatu kegiatan nyata yang dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Manggarai Timur dalam rangka mengubah wajah wilayahnya menjadi lebih adil dan maju dalam berbagai aspek kehidupan. Teristimewa aspek mentalitas manusia Manggarai Timur yang berwawasan membangun, mentalitas manusia yang mau bekerjasama dan mentalitas manusia yang hendak menempatkan wilayah Manggarai Timur sebagai satu kesatuan dalam koridor pembangunan daerah dan bangsa yang berkesinambungan serta pro kepada kebutuhan masyarakat.
Pertanyaannya, jika aspek keadilan dan sosio budaya dijadikan sebagai salah satu faktor pendukung pembangunan Kabupaten Manggarai Timur, kira-kira apa indikator? Apa ada hubungan nilai keadilan dan sosio budaya dengan aktivitas membangun itu sendiri? Mengapa aspek Sumber Daya manusia, Sumber Daya Alam dan Manajemen Birokrasi Pemerintahan tidak dikategorikan sebagai faktor inti untuk membangun Kabupaten Manggarai Timur yang lebih adil, maju dan mandiri?  Hipotesa penulis sederhana. Aspek keadilan dan sosio budaya menyangkut manusia. Di dalam manusia itu terdapat SDM dan manajemen kerja dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Pembangunan daerah akan berjalan kalau budaya membangun, budaya kerjasama, budaya mendahulukan kepentingan umum, budaya bertindak adil, budaya menghindari KKN, budaya menghilangkan dikotomi ‘ata dami dan ata dite’, budaya mengurangi manipulatif serta budaya berpikir nasional dan bertindak lokal berjalan bersamaan dalam kegiatan membangun.
Masalahnya, ketika nilai keadilan dan sosio budaya tidak lagi menjadi pilihan dasar untuk kegiatan membangun, apa yang akan terjadi? KKN tumbuh subur, kepentingan diri dan kelompoknya meraja lela, individualisme berkembang semakin pesat, money politic berkeliaran seakan tak terbendungi lagi, dan pembangunan daerah berjalan di tempat karena tidak terurus secara baik. Namun pertanyaannya, apakah nilai  sosio budaya masyarakat Manggarai Timur itu bisa dijadikan ideologi yang dapat membangun wilayahnya menjadi lebih baik dan adil? Apabila penulis bukan asli orang Manggarai Timur, pasti memiliki argumentasi yang kontradiktif dengan nilai sosio budaya itu.
Jawaban yang lebih teoritis dari nilai keadilan dan sosio budaya masyarakat Manggarai Timur dapat penulis kupas dalam tulisan sederhana ini.

I. MANGGARAI TIMUR DALAM SELAYANG PANDANG DAN PEMBANGUNAN FISIK
            Mengupas selayang pandang Manggarai Timur dan pembangunan fisik, setidaknya merujuk pada dua hal penting, yakni: Manggarai Timur dalam sebuah nama dan Manggarai Timur dalam pembangunan sebelum peresmian pembentukan kabupaten tersendiri.
a. Manggarai Timur Dalam Sebuah Nama
Kata Manggarai adalah sebuah warisan budaya yang telah mendarah daging dari satu generasi ke generasi yang lain. Dami N. Toda dalam bukunya, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi menyebutkan, kata Manggarai melukiskan tentang keanekaragaman etnis atau suku yang mendiami wilayah paling ujung barat pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kesatuan etnis ini melebur menjadi satu komunitas yang dikenal dengan nama suku atau orang Manggarai. Maka kata Manggarai dalam sejarah asal-usul etnisnya memiliki padanan makna, yakni menyebar dan membaur menjadi satu etnis yang disebut orang Manggarai. Karena menurut catatan para founding fathers bahwa Manggarai yang sekarang disebut kabupaten Manggarai merupakan bagian dari kesultanan Bima. Klaim ini terjadi karena menurut mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Manggarai pada umumnya, dan Manggarai Timur khususnya bahwa keturunan orang Manggarai berasal dari Goa-Tallo (Makassar).  
Sedangkan penempatan nama timur dibelakang kata Manggarai berkaitan dengan peta pembagian wilayah domisili masyarakat Manggarai. Di mana, pada saat itu wilayah Manggarai yang luasnya 7.136,4 km2 telah dibagi menjadi tiga kabupaten, yakni: Kabupaten Manggarai Barat (Mambar), Kabupaten Manggarai (Mateng) dan Kabupaten Manggarai Timur (Matim). Disebut Timur karena posisi Manggarai Timur yang saat ini telah diresmikan menjadi Kabupaten tersendiri berdasarkan UU No.36 Tahun 2007 dan diresmikan pada tanggal 23 Nopember 2007 berada paling timur dari kota Ruteng ibu kota kabupaten induk, atau Kabupaten Manggarai. Karena itu, Manggarai Timur hanyalah sebuah nama dalam peta wilayah Manggarai secara keseluruhan.

b. Manggarai Timur Dalam Pembangunan Fisik
            Berbicara tentang pembangunan fisik wilayah Manggarai Timur sebelum diresmikan menjadi kabupaten sendiri seakan membuka ‘borok ketidakadilan’ pembangunan di Manggarai pada umumnya. Karena wilayah Manggarai Timur ketika masih bergabung dengan kabupaten induk, pembangunan fisik kurang terurus. Seperti pengaspalan jalan raya ke desa-desa dan antar anak kampung jarang terjadi. Ironisnya, wilayah Manggarai Timur sebagai sumber utama hasil komiditi andalan bagi kabupaten Manggarai. Karena wilayah Manggarai Timur memiliki tanah yang subur dan pemasukan utama hasil kopi, cengkeh, fanili, kakao, kamiri, jambu mente, kelapa, pisang dan hasil pertanian lainnya. Namun, hal itu telah menjadi mubazir karena tidak dibarengi oleh pembangunan transportasi yang memadai demi mempermudah pelemparan hasil komiditi masyarakat.
            Selain pembangunan transportasi yang minim, juga pembangunan jaringan listrik negara, pembangunan gedung sekolah dan puskesmas sangat jarang. Banyak masyarakat Manggarai Timur hingga tulisan ini terpublikasikan belum tersentuh oleh jaringan listrik negara. Mereka masih menggunakan penerangan tradisional, seperti lampu pelita dalam bahasa lokal dan lampu petromaks atau generator bagi keluarga yang mampu. Di samping itu, pembangunan gedung SD yang masih semi permanen dengan fasilitas apa adanya, dan pembukaan posko puskesmas tiap desa kurang terawat dan terurus secara profesional. Sementara bidang transportasi, pendidikan dan kesehatan sangat penting untuk menciptakan masyarakat Manggarai Timur yang berkualitas.
            Mengacu pada pola pembangunan fisik ini, dapat disimpulkan bahwa wilayah Manggarai Timur selama ini sangat ‘dianaktirikan’ kalau dikomparasikan dengan wilayah Manggarai Barat dan Tengah sebelum peresmian pembentukan kabupaten sendiri. Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi? Dimanakah letak kesalahannya? Apakah ada hubungan dengan mentalitas ethos kerja pemerintah kabupaten Manggarai dalam mendistribuskan pembangunan yang adil dan merata? Ataukah, masyarakat Manggarai Timur sendiri yang tidak proaktif menyambut pembangunan yang digalakkan oleh Pemerintah selama ini?
            Jawaban atas pertanyaan gugatan ini, setidaknya merujuk pada dua hal, yakni: Pertama, minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur, dan kedua, sosio budaya orang Manggarai Timur yang lebih menekankan cinta kasih dan menghindari kekerasan. Hasil survey penulis di wilayah Kecamatan Kota Komba dan Kecamatan Borong bersama mahasiwa UNWIRA Kupang pada bulan Juli tahun 2005 dalam rangka mensosialisasikan rencana pembentukan Kabupaten Manggarai Timur sungguh mengejutkan, di mana memperlihatkan betapa (a) rendahnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur, dan (b) tingginya nilai budaya cinta kasih serta menghindari kekerasan fisik dari kedua kelompok masyarakat kecamatan tersebut. Tingkat perhatian Pemerintah Daerah Manggarai terhadap pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur mencapai 5% di Kecamatan Kota Komba dan 6,2% di Kecamatan Borong. Sedangkan penghargaan terhadap nilai budaya cinta kasih dan menghindari kekerasan fisik mencapai 87,% di Kecamatan Kota Komba dan 80% di Kecamatan Borong.
Walaupun hasil survey ini tidak merepresentasikan keseluruhan warga masyarakat Manggarai Timur yang meliputi enam kecamatan, yakni: Kecamatan Poco Ranaka, Sambi Rampas, Lamba Leda dan Elar (termasuk Kecamatan ‘Kota Komba dan Borong’ sebagai sample survei). Tetapi, survey ini paling kurang telah mewakili sebagian dari perhatian pemerintah daerah terhadap pemerataan pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur serta nilai sosio budaya masyarakat Manggarai Timur pada umumnya, yang menekankan nilai budaya cinta kasih dan menghindari kekerasan fisik. Di pihak lain, hasil survey ini menggambarkan secara keseluruhan orientasi pembangunan fisik Pemda Manggarai dan nilai budaya orang Manggarai Timur. Indikator yang dapat memperkuat argumentasi ini bisa diukur.
Pertama, pola hidup masyarakat Manggarai Timur, di mana masyarakatnya agak jarang mengadakan demo atau protes terhadap pemerintah setempat bila muncul ketidakadilan dalam mendistribusikan pembangunan daerah. Juga masyarakat Manggarai Timur jarang melakukan perang tanding memperebutkan tanah suku atau jabatan tertentu dalam suku atau pemerintahan. Artinya persaingan secara kekerasan untuk mendapatkan suatu jabatan atau harta warisan budaya tidak terakomodir dalam nilai-nilai budaya masyarakat Manggarai Timur. Karena setiap persoalan selalu diselesaikan secara adat. Di sini adat telah menjadi ideologi hidup mereka. Kalau memang ada, pasti ada pihak ketiga yang telah mengotori otak dan budaya masyarakat Manggarai Timur.
Kedua, orang Manggarai Timur sangat minim bekerja dibidang birokrasi atau pemerintahan daerah. Mereka lebih banyak berkecimpung di dunia pendidikan sebagai tenaga edukatif di lapangan, sebagai wartawan dan sekolah calon ‘imam’ yang mengajarkan tentang moral dan cinta kasih dalam berpikir dan berkarya. Karena itu, bisa dipahami kalau pembangunan fisik di wilayah Manggarai Timur sangat minim karena kurangnya ‘orang dalam’ (MAO=Manga Ata One dalam bahasa Manggarai) yang dapat mempresor (menekan,red) pemerintah untuk mengarahkan serta memberikan perhatian pembangunan fisik secara adil dan merata di wilayah Manggarai Timur.
 Tampaknya, itulah wajah masyarakat Manggarai Timur dalam pembangunan fisik sebelum diresmikan sebagai kabupaten sendiri. Maka peresmian kabupaten Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember 2007, secara politis merupakan suatu ‘kemerdekaan’ dari belenggu pembangunan fisik yang kurang adil selama ini, sehingga pada saat ini mereka boleh menghirup udara bebas untuk menggali potensi daerahnya, mengkaji dan membangun wilayahnya sesuai kebutuhan dan kemampuannya demi terwujudnya masyarakat Manggarai Timur yang berbudaya, beriman, berkualitas, berkeadilan serta mandiri dalam berpikir dan bertindak. Karena hal itu sesuai dengan tujuan utama pembentukan kabupten Manggarai Timur, yakni: mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat dan pemerataan pembangunan fisik.

II. FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MANGGARAI TIMUR

            Berbicara tentang falsafah berarti berbicara tentang nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Nilai itu menjadi pedoman atau pegangan hidupnya (way of life) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga seluruh aktivitasnya selalu mengacu pada falsafah hidupnya.
 Setiap masyarakat memiliki falsafah tersendiri. Demikian juga masyarakat Manggarai Timur memiliki falsafah hidup yang khas dan unik. Kekhasannya terletak dalam berbagai apresiasi hidup, baik pada masa lampau maupun masa sekarang.
1. Masa Lampau
Falsafah hidup orang Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya pada masa lampau mengandung pesan-pesan bernuansa filosofis, baik yang menyangkut dalam dunia nyata maupun yang berada di dunia cita-cita. Dua sumber tata kehidupan orang Manggarai Timur adalah ‘kesadaran’ tentang das sain dan das sollenapa adanya dan bagaimana adanya.
Kedua sumber tata kehidupan itu diwujudkan secara nyata dalam perilaku hidup, karya-karya seni dan teristimewa diabadikan dalam Logo Rumah Adat yang disebut ‘Mbo Meze’ dalam bahasa Rongga, orang Manggarai Timur Laut, ‘Mbaru Mezhe’ menurut orang Mukun (Manus) dan Rajong serta ‘Mbaru Wunut’ menurut orang Lamba Leda,  Elar, Poco Ranaka, Borong dan Sambi Rampas yang terdapat di setiap kampung, terutama pada setiap rumah gendang. Karena itu, setiap rumah adat di Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya dirancang dan dibangun dengan memperlihatkan konstruksi baku untuk menggambarkan pesan-pesan simbolik yang mengandung nilai-nilai sosial dan religiusitas yang begitu tinggi. Nilai-nilai itu terpampang pada tiga simbol utama di puncak rumah adat, yakni Periuk Persembahan, Tanduk Kerbau dan Atap Ijuk berbentuk bulat.
a. Periuk Persembahan
            Periuk persembahan melambangkan nilai religiusitas, yakni keyakinan dan sekaligus penghormatan orang Manggarai kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Keyakinan ini memacu orang Manggarai Timur untuk menanam apa saja dalam kebunnya karena mereka yakin bahwa Tuhan akan memberikan kehidupan. Keyakinan itu dalam bahasa Manggarai pada umumnya disebut ‘Mori Jari Dedek, tana wa awang eta, pukul parm agu kolep, ulun le wain lau’. Artinya, Tuhan pencipta, pembentuk kehidupan manusia dan segala makluk serta alam raya.
            Keyakinan itu telah berakar dalam kehidupan orang Manggarai Timur sejak nenek moyang hingga generasi sekarang bahwa Tuhan Allah, Mori Jari Dedek senantiasa ada, tetapi tidak dapat diraba dan dilihat oleh manusia. Karena itu, Tuhan pencipta langit dan bumi itu perlu disembah, dihormati serta diberi makan berupa sopi kampung, hati ayam, babi, kerbau, sapi dan sebagainya supaya tidak marah terhadap manusia sehingga manusia selamat dan tentram.
Keyakinan Mori Jari Dedek tinggal di tempat yang tinggi, maka pada bubungan rumah adat itulah tempat persembahannya sehingga mengandung nilai bahwa si Jari Dedek selalu tertinggi dan memang harus ditinggikan.

b. Tanduk Kerbau
            Tanduk kerbau mengajarkan nilai kemanusiaan, yakni kemanusiaan bermakna cita-cita agar keturunan kuat seperti kerbau dan suka bekerja keras. Konsepsi ideologis tanduk kerbau itu tergambar dalam ungkapan: ‘uwa haeng wulang, langkas haeng tala’. Artinya, tinggi sampai di bulan dan jangkaunya sampai di langit. Makna ini mau menunjukkan bahwa orang Manggarai Timur adalah orang yang ‘rajin bekerja keras dan suka bersaing’ untuk memenuhi kehidupannya serta sopan dalam bertutur.
Akibatnya, mereka membanting tulang, memeras otak dan keringat untuk mempertahankan hidupnya serta kaya dalam melahirkan berbagai karya seni. Entah itu, karya seni berupa tarian pera, tandak, caci, lagu-lagu daerah, puisi, karangan ilmiah, prosa dan kerajinan tangan lainnya. Hal ini sangat mempengaruhi orang Manggarai Timur dalam menentukan pilihan hidup untuk menyekolahkan anaknya, yakni menjadi guru, wartawan dan biarawan-biarawati.
Pilihan jatuh pada sekolah-sekolah tersebut karena nilai yang hendak ditonjolkan dalam sosial budaya orang Manggarai Timur adalah ‘kerja keras dan mau menegakkan kebenaran’. Misalnya, dengan menjadi guru, mereka perlu belajar memeras otak, waktu dan tenaga untuk memikirkan banyak hal berkaitan dengan materi pembelajaran bagi anak didiknya serta bersedia bekerja di tempat terpencil. Demikian juga dengan pilihan hidup menjadi wartawan, sesuatu akan tercapai melalui kerja keras. Seperti sang wartawan perlu bekerja keras siang dan malam memburu berita agar bisa mendapatkan data yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan faktual. Sebaliknya, melalui sekolah pendidikan menjadi biarawan-biarawati, mereka dilatih dan dibina untuk disiplin diri dan lingkungannya serta jujur dalam kata dan berkaya. Maka dapat dimengerti kalau orang Manggarai Timur sangat minim berkecimpung dalam dunia birokrasi dan politik, dan kalau toh ada mungkin tidak seberapa. Tetapi, dunia guru, wartawan dan kaum religius dapat dikategorikan  spesialisasi orang Manggarai Timur.
            Sementara makna simbolik lain dari tanduk kerbau adalah bahwa hewan itu sangat erat relasinya dengan orang Manggarai sebagai pembantu tenaga kerja untuk membajak sawah maupun membantu memikul beban serta jaminan membayar belis. Karena itu, besar-kecilnya belis bagi masyarakat Mangarai Timur sangat tergantung pada status sosial dalam masyarakat dan tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang.

c. Atap Ijuk
Atap ijuk dalam bentuk bulatan melambangkan nilai persatuan dan kesatuan yang kukuh kuat dan tak terpisahkan. Nilai persatuan dan kesatuan ini, pada masa lampau sungguh menjiwai seluruh aktivitas sosial orang Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya. Seperti terungkap dalam syair adat: ‘Nai ca anggit tuka ca leleng’ dalam bahasa Manggarai umum atau ‘kita setuka ne seate one kerja’ dalam bahasa orang Rongga Manggarai Timur Laut.  Artinya kita seia sekata, satu konsepsi demi kesatuan aksi. Atau syair lain: ‘Ca natas bate labar, ca uma bate duat, ca wae teku agu ca mbaru bate kaeng’. Artinya, kita satu halaman tempat bermain (bersaudara, red) atau bercandaria bersama, satu kebun tempat kerja bersama dan satu rumah tinggal bersama.
Prinsip kesatuan dan persatuan ini nyata dalam kehidupan orang Manggarai Timur masa lampau dalam berbagai aktivitas, seperti: kegiatan membuka kebun baru, pembuatan rumah baru, acara makan padi baru, acara membawa belis, menyekolahkan anak ke perguruan tinggi dan pada saat kematian selalu dilaksanakan dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan.
Karena itu, atap ijuk berbentuk bulat selain melambangkan persatuan dan kesatuan, juga mengandung prinsip nilai permusyawaratan atau demokrasi dan prinsip kesejahteraan sosial. Nilai demokrasi atau permusyawaratan nyata dalam berbagai pelaksanaan ritus adat atau kegiatan-kegiatan yang bersifat kebersamaan seperti penulis sebutkan di atas, selalu di dahului dengan permusyawaratan atau ‘reje leleng batang cama’. Artinya, selalu dibicarakan atau didiskusikan secara bersama-sama untuk memulai, melaksanakan dan menyelesaikannya atau merampungkan suatu urusan.
Demikian juga soal prinsip kesejahteraan sosial yang nyata dalam sikap ‘tolong menolong’ (gotong royong), seperti tetangga yang kekurangan garam atau gula pasir atau minyak tanah dapat meminta bantuan kepada tetangganya, dan sebagainya. Prinsip kesejahteraan sosial yang lain, juga nyata dalam sikap ‘suka bersaing’ yang sehat dalam hal menanam sesuatu. Misalnya, orang Manggarai Timur dalam sebidang tanahnya menanam segala jenis tanaman mulai dari ubi kayu sampai tanaman perdagangan. Akibatnya tanaman dipaksa untuk bersaing memperebut humus tanah dan yang kalah bersaing akan kurang subur bertumbuh dan berkembang. Contoh lain, berkaitan dengan dunia pendidikan, yang penulis kategorikan sebagai persaingan sehat. Dewasa ini, masyarakat Manggarai Timur berlomba-lomba menyekolahkan anaknya. Bahkan suatu keluarga atau suku merasa bangga kalau anggota sukunya banyak yang kuliah. Karena itu, ukuran kekayaan orang Manggarai Timur saat ini tidak terletak pada berpuluh juta uang yang ia simpan di bank, berapa banyak rumah ia yang miliki atau berapa banyak binatang peliharaan yang pelihara dan sebagainya. Melainkan orang yang disebut kaya adalah orang yang mampu menyekolahkan anak-anaknya. Artinya, orangtua mampu mempergunakan kekayaan otaknya dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebab kekayaan duniawi bisa hilang dan hancur dimakan ngengat, tetapi kekayaan ilmu pengetahuan dia tidak dapat hilang untuk selama-lamanya. Sebaliknya, ia dapat dipergunakan untuk kepenting diri, sesama dan dunia sekitarnya.
Nilai-nilai ini merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, dan yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari orang Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya pada masa lampau adalah ‘prinsip persatuan dan kesatuan’. Sedangkan zaman sekarang, orang Manggarai Timur lebih menekankan ‘individualisme dan persaingan’ yang selalu menampilkan jati dirinya bahwa dia ada. Hal ini nyata, kalau dalam forum-forum umum atau diskusi bersama mereka selalu berbicara dan terlibat adu argumentasi untuk menunjukkan bahwa dia ada. Sebaliknya, kalau mereka tidak menyampaikan pendaptnya sama dengan mereka tidak hadir dan tidak terlibat secara riil dalam hal-hal yang sedang didiskusikan.
            Saking pentingnya nilai persatuan dan kesatuan bagi masyarakat Manggarai pada umumnya dan Manggarai Timur khususnya pada masa lampau itu, mereka melukiskan dalam metafor-metafor lokal tentang hubungan sesama makluk di luar manusia. Seperti terungkap dalam bahasa Manggarai umum: ‘Nakeng ca wae neka woleng kaeng, ipung ca tiwu neka woleng inggut, muku ca pu’u neka woleng curub’ – atau dalam bahasa daerah suku Rongga Manggarai Timur Laut: ‘Nake sa alo mae wole kae, ipu sa tiwu mae wole siku, muku sa pu’u mae wole ju’u’. Artinya, orang Manggarai Timur pada zaman masa lampau seperti ‘ikan dalam satu kali supaya tidak tinggal berpisah, nener dalam satu kolam supaya tidak tinggal bermusuhan dan pisang serumpun jangan saling perintah’.
            Pesan moral sosial ini dalam kaitan dengan pola pembangunan Kabupaten Manggarai Timur sesungguhnya mau mengatakan bahwa orang Manggarai Timur sekarang yang lebih mengandalkan kemampuan sendiri serta berjuang sendiri-sendiri, perlu bersatu hati bersama-sama membangun Manggarai Timur yang berdemokrasi dan berkeadilan demi mendekatkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebab kalau bukan orang Manggarai Timur secara bersama-sama memperjuangkan percepatan proses pembangunan wilayah Manggarai Timur yang berwawasan budaya keadilan, siapa lagi. Dan kalau bukan saat sekarang, kapan lagi.

2. Masa Sekarang
          Masa lampau adalah ‘guru dan sekaligus ibu’ masa sekarang. Sebab bercermin pada masa lampau orang menatap masa depannya dengan penuh harapan. Demikian juga, sejarah hidup orang Manggarai Timur.
          Realitas sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur falsafah hidup orang Manggarai Timur yang dahulu disanjung-sanjung dan bahkan dijaga, dipelihara serta diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain mengalami banyak ‘pergeseran’ (perubahan). Misalnya, ‘nilai persatuan dan kesatuan diganti dengan individualisme atau kerja sendiri. Contoh kecil, orang Manggarai Timur yang bekerja di kota-kota besar agak sulit untuk duduk kumpul bersama pada acara tertentu bersama orang-orang Manggarai pada umumnya. Apalagi dalam kegiatan tersebut mereka tidak diundang, gensinya sebagai individu sangat kuat. Mereka rupanya lebih sibuk dengan kegiatannya. Dalam arti positif kemandirian hidup sebagai pribadi sangat kuat. Selain itu, nilai demokrasi atau permusyawaratan diganti dengan berjalan sendiri dan nilai kekeluargaan serta kebersamaan diganti dengan persaingan dan mengandalkan kekuatan sendiri’. Singkatnya, falsafah luhur orang Manggarai Timur masa lampau mengalami pergeseran besar-besaran dalam berbagai aspek kehidupan.
           Pertannyaan adalah, Apakah ini tanda kemajuan peradaban orang Manggarai Timur? Ataukah suatu kemunduran? Orang Manggarai Timur saat ini sedang ‘dikuasai atau diijonkan’ oleh orang-orang yang punya ‘kuasa dan modal’. Suara mereka dibeli dengan uang dan kekayaan alam sebagai sumber penghidupan keluarga dan anak cucunya dibabat oleh mereka yang punya kuasa dan modal. Akibatnya, pembangunan Kabupaten Manggarai Timur bisa terhambat. Karena orang Manggarai Timur kurang bersatu, mereka lebih suka ‘dipimpin ketimbang memimpin’. Akibatnya, suara mereka diperam dan keinginannya dibungkemkan. Sebab orang Manggarai Timur yang sudah menjadi birokrat dan politisi bisa dihitung dengan jari. Maka rapatkan barisan untuk menghidupkan nilai budaya masa lampau demi membangun kabupaten Manggarai Timur yang mandiri, adil dan beradab sesuai warisan sosio budayanya.

III. PLEIDOI MORAL PEMBENTUKAN KABUPATEN MANGGARAI TIMUR
            Sebagaimana penulis telah singgung di atas, bahwa peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur sadar atau tidak merupakan suatu pleidoi atau pembelaan moral pembangunan fisik yang berjalan mundur di wilayah timur selama ini.
            Langkah pembangunan fisik yang mundur ini, dalam arti ketidaktersediaannya fasilitas umum yang dapat dirasakan oleh masyarakat Manggarai Timur harus dirubah pola kerjanya. Terlebih setelah peresmian pembentukan kabupaten tersendiri yang pada saat ini dinakodai oleh Drs. Fransiskus BP Leok.
Dengan terbentuknya kabupaten Manggarai Timur, peluang pembangunan fisik yang adil terbuka lebar. Terlebih saat luas wilayah semakin sempit dan perhatian serta pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakat semakin dekat. Kondisi inilah yang memotivasikan masyarakat Manggarai Timur mengadakan pleidoi moral pembentukan kabupaten tersendiri. Maka keputusan pemerintah berdasarkan UU No.36 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu sumber hukum yang bisa dijadikan referensi bagi masyarakat Manggarai Timur menyandang kabupaten sendiri. Karena Negara Republik Indonesia menganut asas Negara hukum yang mengedepankan peraturan perundang-undangan untuk sah tidaknya suatu keputusan publik.
Selanjutnya, keputusan pemerintah pusat meresmikan berdirinya kabupaten Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember 2007, secara politis tidak bertentangan dengan pleidoi moral kerinduan masyarakat Manggarai Timur. Pleidoi moral pembentukan kabupaten Manggarai Timur mengacu pada dua argumentasi, yakni: kebutuhan masyarakat dan perintah moral pemerataan  pembangunan.
1. Kebutuhan Masyarakat Manggarai Timur
Peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur merupakan kebutuhan masyarakat. Di mana masyarakat Manggarai Timur sendiri yang mendesak pemerintah daerah maupun pusat untuk dibentuknya kabupaten sendiri.
Desakan rencana pembentukan Kabupaten Manggarai Timur sudah lama, yakni sejak tahun 1986, di mana pada saat itu ada perjuangan dari berbagai elemen masyarakat Manggarai untuk membagi Kabupaten Manggarai menjadi tiga Kabupaten, yakni: Manggarai Barat, Tengah dan Timur. Ide dasar pembagian Kabupaten Manggarai menjadi tiga bagian karena wilayahnya terlalu luas, yakni: 7.136,4 km2 atau 1 1/3 kali dari luas Provinsi Bali dengan jumlah penduduknya 603.206 jiwa.
Sedangkan tujuan pembentukan menjadi tiga Kabupaten sangat mulia dan urgen yakni ‘demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan demi pemerataan pembangunan’. Tujuan itu sejalan dengan UU Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999 dan yang telah disempurnakan oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perjalanan waktu dan pergantian puncuk Pimpinan Daerah Manggarai turut mempengaruhi proses pendefinitifan pembentukan Kabupaten Manggarai menjadi tiga bagian.
           Sementara pembicaraan pembentukan kabupaten mulai santer dibicarakan lagi pada awal tahun 2000, dan tahun 2004 Kabupaten Manggarai Barat resmi dibentuk. Sebaliknya, pembicaraan pembentukan kabupaten Manggarai Timur baru pada saat pilkada langsung pertengahan Juni 2005, di mana salah satu kandidat Bupati terpilih Kabupaten Manggarai, pasangan Drs. Christian Rotok dan Dr. Deno Kamilus,SH,MH dalam kampanye politiknya memberi janji kepada masyarakat Manggarai Timur akan memperjuangkan pembentukan Kabupaten Manggarai Timur apabila mereka terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai periode 2005-2010.
             Tawaran politik Rotok ini mendapat respons begitu besar dari kalangan masyarakat Manggarai Timur. Sebab ide pembentukan kabupaten tersendiri sangat relevan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat Manggarai Timur, yakni: demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan pemerataan pembangunan fisik. Seperti pembangunan transportasi antar desa dan anak kampung, pemasangan jaringan listrik negara sampai ke desa-desa terpencil serta pembangunan puskesmas dan lembaga pendidikan. Sebab ditilik dari sisi kebutuhan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa ketiga bidang pembangunan ini sangat minim di wilayah Manggarai Timur ketika masih bergabung dengan kabupaten induk, Manggarai.
        Pertanyaannya, mengapa pasangan Drs.Christian Rotok dan Dr. Deno Kamelus berani mengeluarkan pernyataan politik memperjuangkan pembentukan kabupaten Manggarai Timur? Jawabannya mengacu pada kebutuhan masyarakat. Rotok dan pasangannya mampu membaca kebutuhan masyarakat Manggarai Timur, sehingga strategi politik memenangkan pilkada langsung di kabupaten Manggarai pada  tanggal 27 Juni 2005 sangat besar. 
           Selain itu, Drs. Christian Rotok adalah salah satu putra terbaik dari wilayah Timur, khususnya berasal dari Kecamatan Lamba Leda. Rotok dapat disebut sebagai ikon orang Manggarai Timur yang bekerja dalam dunia birokrasi, yang dapat dipegang kebenaran pembicaraannya. Karena itu pantas kalau Christian Rotok tidak hanya berjanji, melainkan ‘memberi bukti’ perjuangannya kepada masyarakat Manggarai Timur. Keberanian Christian Rotok berjanji di depan keluarganya masyarakat Manggarai Timur karena dia mengenal pembangunan fisik di wilayahnya serta paham sosio budayanya.
          Selanjutnya, secara administrasi pemerintahan, Christian Rotok sungguh memahami bahwa ditinjau dari aspek hukum, ekonomi, SDM, SDA dan sosial budaya pembentukan Kabupaten Manggarai Timur sudah memenuhi syarat, bahkan melampaui syarat. Akibatnya, dia mendapat dukungan terbanyak dari masyarakat Manggarai Timur untuk menghantarnya menjadi orang nomor satu di Kabupaten Manggarai dengan berhasil mengumpulkan 114.261 suara atau 46,84% dari total suara pemilih 276,782 di kabupaten Manggarai.

2. Perintah  Moral Pemerataan Pembangunan
       Salah satu perintah moral pembangunan yang diusung dalam pleidoi moral pembentukan kabupaten Manggarai Timur adalah ‘mendekatkan pelayanan dan pemerataan pembangunan’. Sebagaimana penulis telah utarakan pada pembahasan sebelumnya bahwa wilayah Manggarai sangat luas. Akibatnya, efektivitas pelayanan pemerintah sangat minim dan pemerataan pembangunan sangat sulit dicapai. Salah satu pilihan yang paling tepat untuk mengefektifkan pelayanan pemerintahan dan pembangunan adalah peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur.
         Ide ini mungkin sangat kontradiktif dengan isu ‘memecah belahkan’ warisan khazanah budaya Manggarai sebagaimana diserukan oleh berbagai aktivis pencinta budaya Manggarai, bila Manggarai dibagi tiga. Tetapi suatu keputasan yang lebih bijaksana, kalau terjadi pembentukan kabupaten Manggarai menjadi tiga kabupaten. Karena dengan pembagian wilayah menjadi tiga kabupaten, luas wilayah Manggarai semakin sempit.
       Konsekuensinya, pemerintah semakin dekat dengan masyarakat dalam memberikan berbagai pelayanan publik. Juga waktu pemerintah untuk berjumpa dengan masyarakat semakin banyak serta perhatian pemerintah terhadap pembangunan fisik dan mental manusia yang bernuansa keadilan dapat direalisasikan sampai kepelosok desa. Maka pleidoi moral pembentukan kabupaten Manggarai Timur diteropong dari aspek mendekatan pelayanan dan pemerataan pembanguan fisik suatu harga mati. Karena itu, perintah moral pemerataan pembangunan segera ditindaklanjuti, paling kurang setelah diresmikan pembentukan kabupaten Manggarai Timur.
           Peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur selain sesuai tujuan UU Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999 dan yang telah disempurnakan oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni: demi mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat dan pemerataan pembangunan. Di sisi lain, suatu koreksi terhadap pemerintah Manggarai tentang pembangunan fisik di wilayah timur selama ini. Soalnya, banyak daerah di wilayah timur yang belum terjangkau oleh alat transportasi dan jaringan listrik Negara. Karena itu, peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur pada tanggal 23 Nopember 2007 lalu adalah sebuah langkah penting dan strategis.
         Pertama, peresmian pembentukan Manggarai Timur itu melegakan Rotok dan Deno, Bupati Manggarai terpilih periode 2005-2010 karena itulah salah satu janjinya saat kampanye Pilkada langsung  Manggarai 27 Juni 2005 kepada pendukungnya di wilayah Timur. Dengan pemenuhan janji ini, Rotok dan Deno tidak akan lagi ditagih oleh masyarakat wilayah timur. Kedua, peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur melegakan masyarakat wilayah timur, di mana harapan mendekatkan pelayanan dan pemerataan pembangunan fisik sampai ke pelosok desa mudah-mudahan bisa tercapai. Maka kebijakan pemerintah pusat meresmikan pembentukan kabupaten Manggarai Timur, secara moral pembangunan adalah sebuah langkah penting untuk keluar dari pembangunan fisik masa lalu yang kurang adil. Ketiga, peresmian pembentukan kabupaten Manggarai Timur melegakan masyarakat Manggarai Timur bahwa keberadaan pontensi alam, sumber daya manusia dan sosial budaya masyarakat timur diakui pemerintah pusat dan kabupaten induk.

IV. PEMBANGUNAN MANGGARAI TIMUR BERWAWASAN SOSIO BUDAYA
            Desain pembangunan fisik masa lalu yang kurang berpihak pada kebutuhan masyarakat dapat melukai rasa keadilan masyarakat wilayah timur. Luka rasa keadilan itu akan terulang kalau pola lama pembangunan diterapkan ketika Manggarai Timur telah berdiri sebagai kabupaten sendiri.
            Sebaliknya, luka rasa keadilan pembangunaan akan terelimir apabila para pemimpin yang diberi kepercayaan untuk menakodai wilayah kabupten Manggarai Timur mampu bekerjasma dengan masyarakat serta berpegang teguh pada nilai sosio budaya setempat. Hal itu mungkin terjadi apabila: Pertama, kehadiran pemerintah daerah di tengah masyarakat sebagai fasilitator dalam memperlancar pembangunan Manggarai Timur, terutama dalam bidang ekonomi, politik serta sosial budaya. Dalam bidang perekonomian misalnya, segala bentuk perizinan hendaknya dipermudah, bukan sebaliknya dengan menciptakan segala bentuk birokrasi yang menyulitkan kalangan pengusaha dan investor untuk menanamkan modalnya di Manggarai Timur. Logika yang hendak digunakan oleh Pemda Manggarai Timur adalah silakah menggunakan sarana dan prasarana daerah serta sumber daya daerah untuk  kegiatan ekonomi daerah. Dengan demikian menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dalam bidang politik, Pemda Manggarai Timur harus mampu membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kondisi riil dan kebutuhan masyarakat Manggarai Timur. Selain itu, Pemda Manggarai Timur harus mampu membangun sistem pola karier politik dan administrasi yang kompetitif serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, Pemda Manggarai Timur harus mampu mengelola daerah Manggarai Timur sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai sosio budaya masyarakat Manggarai Timur yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan di sekitarnya.
            Kedua, kehadiran pemerintah harus mampu menumbuhkan inisiatif dan kreativitas masyarakat Manggarai Timur. Sebab pembangunan yang berbasiskan inisiatif dan kreativitas sangat mengandaikan kemampuan pemimpin daerah Manggarai Timur untuk mengaturnya serta mendorong inisiatif dan kreativitas masyarakat. Tujuannya untuk mempercepat dan meningkatkan pembangunan kawasan Manggarai Timur. Artinya, kemampuan pimpinan daerah Manggarai Timur untuk mengelola segala pontensi atau modal sosial yang ada pada masyarakat Manggarai Timur. Misalnya, kreativitas pemerintah dalam mengalokasikan dana, apakah yang bersumber dari PAD ataukah dari  DAU secara tepat dan adil serta proporsional. Atau kreativitas pemerintah dalam memanfaatkan serta mendayagunakan SDM dan SDA yang ada pada masyarakat Manggarai Timur demi membangun kabupaten Manggarai Timur yang berwawasan keadilan dan sosio budaya.
            Kedua kekuatan ini akan berjalan sebagaimana adanya, bila Pemerintah Manggarai Timur sangat memahami aspek sosiologis dan antropologis masyarakat Manggarai Timur.
1. Aspek Sosiologis
            Dari sisi sosiologis pembangunan Kabupaten Manggarai Timur merupakan suatu ‘keharusan’ yang tidak boleh ditunda-tunda lagi. Karena wilayah Manggarai sangat luas dan pembangunan fisik sampai kepelosok desa sangat kurang sehingga sosialitas antara Pemerintah dan masyarakat Manggarai Timur belum berjalan sebagaimana mestinya.
          Akibatnya, pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat Manggarai Timur selama ini tersendat-sendat. Maka peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur dari sisi sosiologis menjawabi kerinduan dan kebutuhan masyarakat untuk mendekatkan pelayanan dan pembangunan. Dengan demikian, prinsip keadilan dapat dipersempit kesulitannya. Karena dengan peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur, diharapkan:
·         Wilayah pelayanan Pemerintah semakin sempit.
·  Pembangunan semakin gencar digalakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan.
·         Hasil budaya dan komiditi masyarakat Manggarai Timur tersalur secara baik, dan
·         Penggangguran dapat diperkecil karena lapangan pekerjaan tersedia.

2. Aspek Antropologis
            Secara Antropologis masyarakat Manggarai Timur terdiri dari berbagai etnis atau suku, seperti: Suku Rongga (Manggarai Timur Laut), Suku Wolos (Manggarai Timur Tenggara), Suku Manus (Manggarai Timur Utara), Suku Sigho (Manggarai Barat Laut, Barat Daya serta Barat Utara), dan Suku Rajong (Manggarai Timur Tenggara bagian Utara, dan setiap suku memiliki bahasa ibu yang berbeda-beda satu terhadap yang lain.
          Walaupun secara Antropologis masyarakat Manggarai Timur memiliki suku dan bahasa yang berbeda-beda, tetapi dimaknai sebagai tanda:
·         Heterogenitas atau kemajuan sosio budaya
·         Kemajuan perabadan dalam berkreasi atau menciptakan bahasa tiap etnis
·         Keterbukaan perabadaban dalam memberikan ruang dan kesempatan kepada etnis dan bahasa lain untuk bertumbuh dan berkembang, dan
·         solideritas sosial budaya masyarakat Manggarai Timur yang diwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain.
        Akibatnya, ‘individualisme semakin tinggi dan kerjasama’ warisan luhur nenek moyang semakin terkuras karena merasa diri mampu menciptakan berbagai tanda kemajuan peradaban. Hal itu turut mempengaruhi pola pikir dan pola kerjanya dalam kehidupan sehari-hari.
          Berbagai tanda kemajuan peradaban itu diinspirasi oleh falsafah hidup orang Manggarai Timur yang satu dan sama, dan juga ditopang oleh tiga nilai etis tradisional masyarakat Manggarai Timur, yakni: ‘Nilai iman, nilai kemanusiaan dan nilai kesetaraan dengan lingkungan’.
a. Nilai Iman
         Nilai iman mengandung keselamatan, kasih sayang, kejujuran, kesetiaan dan keterbukaan. Nilai iman ini sudah berakar dalam budaya masyarakat Manggarai Timur. Indikatornya, bahwa orang Manggarai Timur dalam kehidupan nyata setiap hari selalu menonjolkan hidup agamanya. Mereka mengakui bahwa ada wujud tertinggi atau tokoh supra natural yang berada di luar jangkauan akal budi manusia, yang mereka sebut  Mori Kraeng (Tuhan Allah).
       Mori Kraeng itu dalam sosio budaya masyarakat Manggarai Timur dimaknai sebagai tokoh keselamatan, maka dia perlu disembah dan diberi sesajian berupa darah dan daging hewan peliharaan mereka sendiri. Seperti ayam, babi, telur, nasi serta minuman miras tradisonal yang disebut tuak atau sopi kampung.
 b. Nilai Kemanusiaan
            Nilai kemanusiaan itu meliputi persaudaraan, kekeluargaan, persatuan, kebersamaan, keadilan, pengampunan dan tidak membeda-bedakan.
            Sistem nilai kekerabatan masyarakat Manggarai Timur yang tertinggi adalah ‘woe nelu’ (keluarga inti). Dalam satu kampung ikatan woe nelu dibangun karena hubungan darah dan perkawinan. Karena itu, nilai persaudaraan, persatuan, rasa keadilan dan sebagainya sudah ditanam mulai suku atau sub klien yang menganut sistem patrilineal (garis keturunan laki-laki yang berkuasa). Artinya, kaum laki-laki yang berhak atas warisan orangtuanya.
            Sedangkan kaum perempuan tidak mendapatkan apa-apa. Kalau toh ada itu merupakan belaskasihan dari saudara atau sukunya. Hak yang diterima oleh kaum perempuan yang diberikan oleh saudara atau sukunya itu disebut widang (pemberian).
 c. Nilai Kesetaraan Dengan Lingkungan Hidup
            Perlu diakui bahwa masyarakat Manggarai Timur mewarisi filsafat yang berciri agraris, yakni dengan banyak legenda dan mitos sebagai simbol komunikasi nilai dan kebijakan hidup yang berisikan tentang kesetaraan dengan alam. Misalnya: orang Manggarai Timur menghargai bulir padi, jagung dan sebagainya karena ada kaitannya dengan dewa kesuburan. Penghargaan terhadap pohon supaya jangan ditebang sebarang khususnya pohon dekat mata air berkaitan dengan legenda hidup para dewa air, dewa hujan dan pohon.
            Begitu pula dengan tempat pekuburan untuk selalu dijaga, dipelihara dan dihormati karena ada satu keyakinan akan persatuan dengan semua saudara yang sudah meninggal melalui arwah nenek moyang. Pohon, mata air, pekuburan dan kampung lingko semua dijaga oleh seorang tokoh dewa yang diyakini sebagai pengantar manusia dengan satu tokoh dewa tertinggi, yakni Mori Kraeng.
            Ketiga nilai etis tradisional ini telah menjadi milik masyarakat Manggarai Timur dulu dan sekarang. Nilai-nilai hidup itu telah berakar pada tradisional setempat yang nyata dalam ritus-ritus adat dan prilaku orang Manggarai Timur dalam bertindak.
Perbedaan dalam etnis dan bahasa merupakan suatu ‘kekayaan sosial budaya’ yang perlu dilestarikan sambil tidak melupakan rambu-rambu falsafah hidup dan nilai etnis tradisional.

V. PEMBANGUNAN KABUPATEN MANGGARAI TIMUR DALAM ASPEK SOSIAL    BUDAYA,  KEBUTUHAN SIAPA?
            Secara sosial budaya peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur tidak banyak mengalami kesulitan, bahkan merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang mendesak.  Karena dengan peresmian pembentukan Kabupaten secara sosial:
1.      Mempercepat pembangunan di kawasan Timur Manggarai karena wilayanya semakin sempit
2.      Semakin mendekatkan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat
3.      Lapangan pekerjaan tersedia
4.      Hasil komiditi dan nilai kekayaan budaya masyarakat Manggarai Timur semakin memiliki nilai jual, dan
5.      ruang isolasi pembangunan antara desa dan anak kampung semakin sempit.
             Karena itu, proses pembangunan Kabupaten Manggarai Timur akan diperpecat apabila:
1.      Masyarakat Manggarai Timur bersatu hati membangun wilayahnya secara bersama-sama berdasarkan sosio budaya yang dimilikinya.
2.       Masyarakat Manggarai Timur tetap berkiblat dan berpegang teguh pada falsafah hidup dan nilai etis tradisional warisan leluhur yang mengajarkan tentang persatuan dan kesatuan dalam membangun.
3.      Para elite politik Kabupaten Manggarai Timur yang diberi kuasa untuk mengendalikan roda pemerintahan harus berhenti dari berbagai tindakan yang menghalang-halangi proses pembangunan Kabupaten Manggarai Timur yang adil dan merata karena wilayah kepentingan politiknya semakin sempit.
4.      Semua pihak perlu menyatukan persepsi bahwa pembangunan Kabupaten baru merupakan kebutuhan mendesak yang mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta mempercepat pembangunan Daerah yang berkelanjutan. Maka dituntut dari semua pihak adalah: komitment dan kemauan yang sama, Akuntabilitas, Transparansi, Partisipasi, dan Equility yang bukan hanya sebatas pengetahuan umum saja, melainkan bersifat operasional yang menyentuh persoalan empiris yang secara riil dihadapi masyarakat Manggarai Timur, yakni: masyarakat yang selama wilayahnya terlalu luas pelayanan dari Pemerintah agak kurang mendapat perhatian sehingga pembangunan dalam segala aspek kehidupan sangat minim.
5.      Perlu mengedepankan kepentingan publik atau bersama. Maksudnya, dalam perjuangan proses mempercepat pembangunan Kabupaten Manggarai Timur kita perlu ‘kuburkan’ segala kepentingan politik pribadi maupun kelompoknya. Sebaliknya, kepentingan rakyatlah atau masyarakat Manggarai Timur yang perlu diperjuangkan secara bersama-sama. Kepentingan masyarakat yang menuntut rasa keadilan dalam pembangunan dan pelayanan nyata.

Daftar Pustaka
Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Penerbit Nusa Indah Ende, Flores, 2001.
Jimung Martinus, Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2005.
_____________ , Teori Pembangunan Politik Di Indonesia Dalam Praktek, Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2006.
_____________ , ‘Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur Dalam Perspektif Sosio Budaya’ (Makalah yang dibawakan pada saat seminar sehari Sosialisasi Rencana Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Manggarai Timur atau Formatim di Hotel Ina Boi Kupang), UNWIRA Kupang, 2005.
Robert Mirsel, ‘Masyarakat Manggarai: Sejarah, Alam Pemikiran, Tanah dan Hutan’  dalam Eman J. Embu & Robert Mirsel (Editor), Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai, Penerbit Ledalero, Maumere-Flores, 2004.


           


[1]Martinus Jimung,S.Fil.M.Si.M.Kes adalah mantan dosen Fisip UNWIRA Kupang. Ia adalah putra Rongga-Manggarai Timur Laut. Tepatnya berasal dari kampung Bamo-Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur. Penulis aktif dalam berbagai seminar politik dan menulis berbagai artikel dalam media massa lokal dan jurnal. Hasil karyanya yang telah terpublikasi dalam bentuk buku, yakni: (1) Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2005, (2) Teori Pembangunan Politik di Indonesia Dalam Praktek (Yogyakarta, 2006) dan (3) Semoga Kami Bersatu: Suatu Ziarah Bathin Para Pasutri (Yogyakarta, 2007). Dua naskah buku yang sedang diolah di penerbit, yakni: Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan Suatu Pengantar, dan Manusia adalah Rekan Kerja Allah.  Pekerjaannya sekarang sebagai Dosen AKPER Fatima Parepare-Sulawesi Selatan dan sambil melakukan riset di Kota Medya Parepare untuk menulis buku tentang: Pilkada Langsung dan Kecenderungan Pemilih Dalam Memilih Calon. Juga sebagai pengisi kolom opini pada Majalah Parepare Pos, Sulawesi Selatan. Tulisan ini sebagai wujud keberpihakan penulis terhadap peresmian pembentukan Kabupaten Manggarai Timur.

1 komentar: