Minggu, 21 Juni 2015

SERTIFIKAT BTCLS, PRASYARAT DUNIA KERJA KESEHATAN



Martinus Jimung,S.Fil.M.Si.M.Kes[1]

            Salah satu prasyarat seorang tenaga kesehatan/perawat dapat diterima dalam dunia kerja memasuki Masyarakat Ekonomi Asian (MEA) tahun 2015 adalah memiliki keterampilan dalam bidang Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS). Prasyarat ini tidak hanya menjadi isapan jempol belaka, melainkan telah menjadi kenyataan. Realitanya banyak pelamar pekerja kesehatan di berbagai rumah sakit, puskesmas dan perusahaan menyertakan sertifikat BTCLS dalam menentukan penerimaan tenaga kerjanya. Kondisi ini tentu saja mendorong Institusi Pendidikan Kesehatan sebagai penyedia tenaga kesehatan memasukan mata pelajaran Konsep Dasar Keperawatan Darurat dalam kurikulumnya agar para alumni bisa terserap dalam persaingan dunia kerja. Misalnya, Institusi Akademi Keperawatan Fatima Parepare sesuai visi-misinya dengan penekanan utama pada ‘kegawat daruratan’, maka  sejak tahun 2009 sampai saat ini setiap mahasiswa tingkat terakhir perlu mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS), dan pada tahun 2015 ini bekerjasama dengan SOS Profesional Jakarta mengadakan pelatihan BTCLS di Kampus AKPER Fatima Parepare yang berlangsung dari tanggal 21 – 25 – 2015.
            Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) adalah mekanisme yang dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat. Karena dalam BTCLS terdapat enam fase, yaitu: fase deteksi, fase supresi, fase pra rumah sakit, fase rumah sakit dan fase rehabilitasi. Fase deteksi dapat diprediksi tentang frekuensi kajadian, penyebab, korban, tempat rawan kualitas kejadian dan dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalulintas, maka dapat diprediksi frekuansi kecelakaan lalu lintas, buruknya kualitas helm sepeda motor yang dipakai, jarangnya orang memakai safety belt, tempat kejadian tersering di jalan raya yang padat dan sebagainya. Fase supresi bertujuan untuk menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat dilakukan dengan berbagai cara seperti perbaikan konstruksi jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalulintas  dan peningkatan patroli keamanan. Semantara fase pra rumah sakit keberhasilan penanggulangan gawat darurat sangat tergantung pada adanya kemampuan akses dari masyarakat untuk memberikan informasi pertolongan kepada korban kecelakaan atau bencana. Kota Parepare termasuk menanggapi fase ini dengan menyediakan mobil ambulan gawat darurat call center 112 yang sangat membantu masyarakat memberikan informasi keadaan gawat darurat. Sedangkan fase rumah sakit dan rehabilitasi merupakan lanjutan dari fase-fase sebelumnya. Karena dalam fase ini merupakan suatu pendekatan yang sistematik untuk membawa korban gawat darurat ke suatu tempat penanganan yang definitif. Dalam konteks inilah sertifikat BTCLS merupakan suatu tuntutan bagi tenaga kesehatan memasuki dunia kerja pada era MEA 2015.
            Tuntutan prasyarat dunia kerja kesehatan sebenarnya bukan hal baru. Pengalaman empiris merupakan pelasanakan BTCLS di rumah sakit, puskesmas  dan perusahaan sangat membutuhkan. Sebagai gambaran, khususnya kecelakaan lalulintas dan bencana alam saat ini meningkat dari peristiwa gawat darurat tersebut tidak semua korban meninggal di tempat, tetapi  justru yang terbanyak meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit atau puskesmas. Hal ini terjadi karena keterampilan BTCLS ini belum disiapkan secara baik.
            Untuk meminimalkan terjadinya kematian akibat kecelakaan lalulitas atau bencana alam, upaya pencegahan pasien lebih baik dilakukan dengan cara memasukan kursus atau pelatihan/program BTCLS atau kurikulum pendidikan kesehatan yang membantu keterampilan dan pengetahuan tenaga perawat kesehatan dalam menyikapi peristiwa gawat darurat. Alasannya, pertama frekuensi kuantitas kecelakaan lalulintas dan bencana alam yang membutuhkan pertolongan pertama sebelum ke rumah sakit meningkat. Kedua, data kejadian kecelakaan/peristiwa gawat darurat di lapangan selama ini tidak selamanya orang meninggal di tempat, tetapi lebih banyak dalam perjalanan ke rumah sakit karena kekurangan darah atau keterlambatan memberikan pertolongan pertama. Ketiga, minimnya tenaga kesehatan yang terampil dalam menangani masalah gawat darurat.
            Selain mengadakan pelatihan BTCLS, ada satu hal mendasar yang harus segera ditangani, yaitu pembenahan kurikulum kesehatan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Selama ini pendidkan kesehatan sangat umum memberikan teori pertolongan pertama pada kecelakaan sehingga orientasi tenaga kesehatan hanya ke rumah sakit dan puskesmas sehingga masalah BTCLS belum maksimal. Karena berbagai kendala seperti kurangnya sarana, terbatasnya pengetahuan dan keterampilan petugas serta persiapan mengarah keterampilan BTCLS belum terlatih dengan baik. Realisasinya penanganan peristiwa gawat darurat  belum maksimal. Maka mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Institusi kesehatan memasukkan mata kuliah BTCLS di dalam kurikulumnya sehingga para alumninya dapat terserap dalam dunia kerja kesehatan*.



[1]Martinus Jimung, Dosen Tetap Akademi Keperawatan Fatima Parepare.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar