Martinus
Jimung,S.Fil.M.Si.M.Kes[1]
Salah satu prasyarat seorang tenaga
kesehatan/perawat dapat diterima dalam dunia kerja memasuki Masyarakat Ekonomi
Asian (MEA) tahun 2015 adalah memiliki keterampilan dalam bidang Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS). Prasyarat ini tidak hanya
menjadi isapan jempol belaka, melainkan telah menjadi kenyataan. Realitanya
banyak pelamar pekerja kesehatan di berbagai rumah sakit, puskesmas dan
perusahaan menyertakan sertifikat BTCLS
dalam menentukan penerimaan tenaga kerjanya. Kondisi ini tentu saja mendorong
Institusi Pendidikan Kesehatan sebagai penyedia tenaga kesehatan memasukan mata
pelajaran Konsep Dasar Keperawatan Darurat dalam kurikulumnya agar para alumni
bisa terserap dalam persaingan dunia kerja. Misalnya, Institusi Akademi
Keperawatan Fatima Parepare sesuai visi-misinya dengan penekanan utama pada
‘kegawat daruratan’, maka sejak tahun 2009
sampai saat ini setiap mahasiswa tingkat terakhir perlu mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS), dan pada tahun 2015 ini bekerjasama
dengan SOS Profesional Jakarta mengadakan pelatihan BTCLS di Kampus AKPER
Fatima Parepare yang berlangsung dari tanggal 21 – 25 – 2015.
Basic
Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) adalah mekanisme yang dirancang untuk memberikan pertolongan
pada korban bencana atau gawat darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan
organ sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan setara sebelum terjadinya
bencana atau peristiwa gawat darurat. Karena dalam BTCLS terdapat enam fase, yaitu: fase deteksi, fase supresi, fase
pra rumah sakit, fase rumah sakit dan fase rehabilitasi. Fase deteksi dapat
diprediksi tentang frekuensi kajadian, penyebab, korban, tempat rawan kualitas
kejadian dan dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalulintas, maka
dapat diprediksi frekuansi kecelakaan lalu lintas, buruknya kualitas helm
sepeda motor yang dipakai, jarangnya orang memakai safety belt, tempat kejadian tersering di jalan raya yang padat dan
sebagainya. Fase supresi bertujuan untuk menekan agar terjadi penurunan korban
gawat darurat dilakukan dengan berbagai cara seperti perbaikan konstruksi
jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalulintas dan peningkatan patroli keamanan. Semantara fase
pra rumah sakit keberhasilan penanggulangan gawat darurat sangat tergantung
pada adanya kemampuan akses dari masyarakat untuk memberikan informasi
pertolongan kepada korban kecelakaan atau bencana. Kota Parepare termasuk
menanggapi fase ini dengan menyediakan mobil ambulan gawat darurat call center
112 yang sangat membantu masyarakat memberikan informasi keadaan gawat darurat.
Sedangkan fase rumah sakit dan rehabilitasi merupakan lanjutan dari fase-fase
sebelumnya. Karena dalam fase ini merupakan suatu pendekatan yang sistematik
untuk membawa korban gawat darurat ke suatu tempat penanganan yang definitif. Dalam
konteks inilah sertifikat BTCLS merupakan
suatu tuntutan bagi tenaga kesehatan memasuki dunia kerja pada era MEA 2015.
Tuntutan prasyarat dunia kerja
kesehatan sebenarnya bukan hal baru. Pengalaman empiris merupakan pelasanakan BTCLS di rumah sakit, puskesmas dan perusahaan sangat membutuhkan. Sebagai
gambaran, khususnya kecelakaan lalulintas dan bencana alam saat ini meningkat
dari peristiwa gawat darurat tersebut tidak semua korban meninggal di tempat,
tetapi justru yang terbanyak meninggal
dalam perjalanan menuju rumah sakit atau puskesmas. Hal ini terjadi karena keterampilan
BTCLS ini belum disiapkan secara
baik.
Untuk meminimalkan terjadinya
kematian akibat kecelakaan lalulitas atau bencana alam, upaya pencegahan pasien
lebih baik dilakukan dengan cara memasukan kursus atau pelatihan/program BTCLS atau kurikulum pendidikan
kesehatan yang membantu keterampilan dan pengetahuan tenaga perawat kesehatan
dalam menyikapi peristiwa gawat darurat. Alasannya, pertama frekuensi kuantitas
kecelakaan lalulintas dan bencana alam yang membutuhkan pertolongan pertama
sebelum ke rumah sakit meningkat. Kedua, data kejadian kecelakaan/peristiwa
gawat darurat di lapangan selama ini tidak selamanya orang meninggal di tempat,
tetapi lebih banyak dalam perjalanan ke rumah sakit karena kekurangan darah
atau keterlambatan memberikan pertolongan pertama. Ketiga, minimnya tenaga
kesehatan yang terampil dalam menangani masalah gawat darurat.
Selain mengadakan pelatihan BTCLS, ada satu hal mendasar yang harus
segera ditangani, yaitu pembenahan kurikulum kesehatan untuk menjawab kebutuhan
masyarakat. Selama ini pendidkan kesehatan sangat umum memberikan teori
pertolongan pertama pada kecelakaan sehingga orientasi tenaga kesehatan hanya
ke rumah sakit dan puskesmas sehingga masalah BTCLS belum maksimal. Karena berbagai kendala seperti kurangnya
sarana, terbatasnya pengetahuan dan keterampilan petugas serta persiapan
mengarah keterampilan BTCLS belum
terlatih dengan baik. Realisasinya penanganan peristiwa gawat darurat belum maksimal. Maka mau atau tidak mau, suka
atau tidak suka, Institusi kesehatan memasukkan mata kuliah BTCLS di dalam kurikulumnya sehingga
para alumninya dapat terserap dalam dunia kerja kesehatan*.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar