Martinus
Jimung[1]
Belakangan ini
kita menyimak polemik tanah bakal Bandara di Tanjung Bendera intensitasnya semakin
meningkat. Banyak suku yang selama ini tak kedengaran, kini bermunculan
mengadakan ritual adat pa’u manu (memotong ayam secara adat) dan memasang
bendera untuk memperlihatkan kepada publik bahwa merekalah salah satu pemiliknya.
Pada titik ini, nurani bening penulis bertanya: Mengapa baru sekarang menyatakan
haknya? Apakah karena perencanaan bakal bandara sehingga lokasi menjadi sangat strategis
dan mempunyai nilai jual ekonomi yang menjanjikan masa depan yang cerah? Ataukah
ada maksud lain yang belum berungkap yang dapat ditangkap secara kasat mata oleh
nalar kritis penulis? Mungkin tujuan setiap suku baik, tetapi niat dan
prosedurnya salah, maka tidak mengherankan bila polemik saling mengklaim
semakin tak terkendalikan. Tetapi penulis merasa bersyukur bahwa dengan adanya
polemik ini, Suku Tanda sebagai penguasa ulayat di tanah bakal bandara di
Tanjung Bendera semakin menunjukkan identitas dan independensinya.
Masalahnya ada sebelas suku (11) yang
mempolemikan lokasi yang sama. Kombinasi kesebelas suku ini mungkin saja
terjadi karena ada hubungan kekerabatan, perkawinan, widah dan tanah t’u (tinggal di tanah ulayat suku lain).
Mungkin juga tidak ada hubungan sebab akibat sehingga setiap suku boleh menunjukkan
identitasnya masing-masing, dan jika dipertemukan pada lokasi yang dipersoalkan
akan menimbulkan gesekan fisik yang luar biasa. Tetapi yang pasti, diantara
kesebelas suku itu kecuali Suku Tanda yang tidak menandatangani surat
penyerahan tanah bakal bandara seluas 100 hektar di Tanjung Bendera karena ada alasan
sosial dan budaya jika dipertemukan melalui proses dan prosedur adat yang benar.
Suku Tanda dalam menyikapi penyerahan
tanah bakal bandara di Tanjung Bendera oleh ke sepuluh suku pada tanggal 23 April 2015 di kantor Camat Kota
Komba telah
melayangkan surat pernyataan ‘sikap
dan keberatan’ kepada Bupati Manggarai Timur pada tanggal 30 Mei 2015 lalu, tetapi sampai penulisan
artikel ini belum ada tanggapan dari Pemerintah. Karena itu dapat
dimengerti bila ada pernyataan dari salah seorang tokoh mudah suku Motu Poso,
Irenius Lagung (Flores.co/2015/04/30) yang mengatakan bahwa ‘masih ada masyarakat
yang belum menyetujui’ pernyerahan tanah bakal bandara di Tanjung Bendera. Pernyataan
ini secara implisit merujuk pada masyarakat Suku Tanda karena memang
realitasnya demikian.
Masyarakat Rongga dapat menangkap
perlawanan Suku Tanda dalam polemik tanah bakal bandara di Tanjung bendera. Kehadiran
Suku Tanda dalam pusaran polemik tanah bakal bendera di Tanjung bendera sangat signifikant.
Suku Tanda melakukan pencegah terhadap beberapa suku yang mengadakan upacara
ritual adat pau manu dan memasang
bendera di lokasi bakal bandara. Suku Tanda melakukan hal itu karena mereka
sebagai pemilik tanah ulayat dan hak ulayat pada tanah bakal bandara di Tanjung
Bendera yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus tanah seisinya
dalam batas-batas tertentu. Karena itu, Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang
berkepentingan harus jelih dalam menyikapi polemik ini. Tulisan sederhana ini
menyoroti siapa itu Suku Tanda dan apa perannya dalam pusaran polemik tanah
bakal bandara di Tanjung Bendera.
Siapa itu Suku Tanda?
Mungkin
tidak banyak yang mengenalnya siapa itu Suku Tanda dan mengapa diberi nama
Tanda. Penulis dalam konteks polemik ini memberikan sajian yang sangat eksploratif
menguraikan tentang Suku Tanda. Para pembaca diajak untuk menggapai kedalaman
peran Suku Tanda dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera
yang selama ini masih terselubung.
Suku Tanda adalah salah satu
suku yang tumbuh dan berkembang di wilayah hukum adat Rongga yang mendiami
wilayah Rongga Kota. Wilayah Rongga Kota terbentang dari kaki gunung Komba sampai gunung Ndeki
dan terhampar dari lembah Kisol sampai ke laut Sawu, utara dari gunung Mando
Ndolu sampai Timur padang Mausui dan Barat Muku Lia. Disebut Rongga Kota karena terdapat Watu Kota (batu susun) dekat kaki gunung Ndeki di belakang kampung Sere. Selain
itu, wilayah Rongga
Kota sangat luas yang meliputi: Kampung Bamo, Luwu, Wolo Sambi, Waru, Mbero, Bonggikawa,
Mabha Mausui, Tanjung Bendera, Lekoture, Watu Kodhi, Nanggarawa, Tire, Mbondei,
Pupung, Sambi Tei, Wolo Roka,
Mabha Ndata, Muting, Waerua, Pomarepu, Sere, Padang, Mbaru Jawa, Waekorok, Waekutung, Kambe, Kisol, Waepake,
Watunggong, Nio Raja, Sambi, Lekeng, Ngamba Sapi, Bagha, Wolo Mboro, Waepoang dan Wokopau.
Masyarakat Rongga Kota masih
sangat kental dengan dialek bahasa asli Rongga. Hanya sebagian wilayah seperti Kambe, Kisol, Waepake, Lekeng, Waepoang dan Wokopau
mengalami pergeseran dialek Rongga karena pengaruh perkawinan dengan
masyarakat luar hukum adat Rongga. Suku Tanda merupakan salah satu suku yang
hidup dan berkembang di wilayah hukum adat Rongga Kota yang muncul sejak masa
Meka Jama
Baji, kemudian diturunkan
kepada anaknya Meka Mbali. Meka Mbali menurunkan ke Meka
Alexander Ngoi anaknya dan Meka Alexander Ngoi menurunkan kepada anaknya bapak Yosep
Mangi, lalu berkembang
hingga sekarang. Suku Tanda berada di wilayah hukum adat Rongga Kota tidak ditetapkan
atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi/penguasa lain, melainkan warisan Meka Jama Baji berdasarkan ikatan batin yang kuat antara anggota
keluarganya yang dikarenakan faktor geneologis (keturunan)
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pemilihan dan pemberian nama Suku Tanda ‘mengandung makna simbolis’ tentang identitas keberadaan
dan
kapabilitas Suku Tanda
sebagai tuan tanah (Mori
tanah dalam bahasa Rongga)
sebagai pemangku/pemilik tanah ulayat dan hak ulayat dalam mengurus dan
mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu di wilayah hukum adat
Suku Tanda khususnya dan wilayah hukum adat Rongga umumnya. Karena
itu, dapat dipahami bila Suku Tanda memiliki peran yang penting dalam pusaran
polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera.
Peran Suku Tanda Dalam Pusaran
Polekmik Tanah Bakal Bandara
Sebagaimana telah diuraikan
pada nama Suku Tanda, maka perannya dalam pusaran polemik tanah bakal bandara
di Tanjung Bendera sangat jelas, yaitu sebagai pemangku ulayat yang memiliki
kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu
dalam wilayah hukum adat Suku Tanda khususnya dan wilayah hukum adat Rongga
umumnya. Artinya, tanah bakal bandara di Tanjung Bendera berada dalam wilayah tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda.
Tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda sudah ada
sejak masa meka Jama Baji. Ia mendapat tanah ulayat dan hak ulayat karena perkawinan
dengan mbupu Bogho dari Suku Ndolu dengan batas-batasnya: Sebelah Timur Watu Wengga dekat kampung Lekolembo, bagian Barat Muku Lia, bagian utara gunung
Mando berbatasan langsung dengan suku Ndolu dan Selatan Laut Sawu.
Sejarah mencatat bahwa penyerahan tanah
ulayat dan hak ulayat dari Suku Ndolu kepada Suku Tanda sebagai widah (hadiah) kepada salah seorang putri Ndolu, yakni: mbupu Bogho yang
menikah dengan meka Jama Baji dari Suku Tanda, dengan tujuan: Pertama,
agar mbupu Bogho memiliki kekuasaan yang sama sebagai penguasa dan pengatur
tanah ulayat dan hak ulayat di wilayah hukum adat Suku Tanda khususnya dan
wilayah hukum adat Rongga pada umumnya. Kedua, supaya tali persaudara Suku
Ndolu dengan Suku Tanda tidak putus, dan Ketiga, agar mbupu Bogho yang telah
masuk Suku Tanda dan keturunannya memiliki kekuasaan yang sama dalam mengatur
dan mengurus tanah seisinya dalam batas-batas tertentu di wilayah hukum adat
Suku Tanda.
Peran
Suku Tanda sebagai pemilik dan penguasa ulayat dalam pusaran polemik tanah
bakal bandara di Tanjung Bendera telah diakui oleh masyarakat Rongga dari dahulu
sampai sekarang yang terwujud dalam berbagai pengakuan, antara lain adalah: (1)
Setiap kali masyarakat Rongga mengadakan ritual adat pau manu dalam wilayah hukum adat Suku Tanda secara sadar atau
tidak mereka mengakui kekuasaan dan kepemilikan tanah ulayat dan hak ulayat
Suku Tanda dengan mengatakan: ‘meu mori
tanah tanda watumanu ko ata tanda, mai
kha ko ate manu ndia’. Maknanya, kamu pemilik dan penguasa
tanah ulayat Tanda datang makan hati
ayam pemberian kami ini. (2) Pada saat ritual
upacara menanam dan memetik hasil panen baru. Pada masa meka Baji sampai
Alexander Ngoi semua masyarakat Rongga yang berada dalam wilayah tanah ulayat dan
hak ulayat Suku Tanda tidak boleh menanam dan memanen hasil panen kebunnya bila
Suku Tanda belum menanam dan mememanen hasil panennya. Kalau ada masyarakat yang
melanggar akan mendapat denda adat. Biasanya, setelah suku Tanda menanam ada pire/pantang selama tiga hari dan baru
hari keempat masyarakat lain boleh menanam. Demikian juga pada saat memetik
hasil panen. Hal itu dilakukan oleh masyarakat Rongga sebagai bukti pengakuan
mereka terhadap keberadaan dan peran Suku Tanda sebagai penguasa ulayat dalam
mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu dalam wilayah hukum adat Suku Tanda. (3) Ketika ritual mengusir hama tikus,
belalang dan sebagainya yang menyerang tanaman pertanian masyarakat. Pemimpin
upacara ritual adat pengusiran hama harus dari Suku Tanda sebagai pemilik tanah
ulayat. (4) Ritual kebu di muara Nangarawa atau upacara penangkapan ikan dan
biota air lainnya 5 tahunan di wae limbu/muara
Nangarawa. Proses penangkapan akan dilakukan bila ahliwaris Suku Tanda berada
di depan yang memimpin upacara dan didampingi oleh ahliwaris suku Lowa yang
diberi wewenang oleh Suku Tanda sebagai penjaga wae limbu Nangarawa. (5) Batas tanah pire/pemali menanam padi ladang mulai dari wilayah pupung dekat
rumah bapak Nikolaus Nggorong dari Suku Lowa sampai ke pantai laut Sawu. Kalau
ada masyarakat yang melanggar akan ada tanda alam seperti musim kemarau yang
panjang, kilat disiang hari dan lain sebagainya, maka Suku Tanda hadir di sana
untuk mengadakan ucapara ritual adat pencabutan dan upacara pemulihan. Sekali
lagi kehadiran Suku Tanda dalam ritual adat ini
menunjukkan kepada publik bahwa Suku Tanda sesungguhnya penguasa ulayat dalam
wilayah tersebut. (6) uma wau dan mbo
nggo Sambi Tei (kebun bersama dan
rumah gendang Sambi Tei) yang dalam konteks Manggarai Tengah disebut Rumah
Gendang dalam dan tanah lingko luar Suku Tanda sebagai simbol persatuan dan
persekutuan Suku dalam mengurus dan mengatur tanah ulayat dan hak ulayatnya. (7)
Peristiwa permintaan izin padang untuk ternak binatang peliharaan dalam wilayah
tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda yang berada di bagian Selatan termasuk tanah
bakal bandara di Tanjung Bendera dari dahulu sampai sekarang. Penulis sebut
saja Bapak (almarhum) Yosep Pandong pada tahun 1950-an meminta kepada ahliwaris
Suku Tanda untuk memelihara sapi dan ternak peliharaan lainnya di padang
Lekoture dan bapak Antonius Gelang tahun 1970-an (permintaan resmi tahun 2002)
datang ke rumah adat Suku Tanda meminta izin agar sapinya dipelihara di padang
Watu Kodi, serta beberapa masyarakat Rongga lain yang penulis tidak sebutkan
namanya karena ruang ini tidak mencukupinya.
Berbagai penjelasan yang penulis
uraikan ini semakin terang benderang tentang peran Suku Tanda dalam pusaran polemik
tanah bakal bandara di Tanjung Bendera. Tinggal saja bagaimana Pemerintah
Daerah, pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat Rongga menanggapinya.
Karena salah merespon polemik semakin panjang konfliknya, dan salah melakukan
pendekatan budaya yang bukan pada otoritasnya dengan mengangkangi proses dan
prosedur adat sama seperti orang menangkap udang di dalam air keruh. Selain
itu, jika diantara para pembaca ada yang meragukan tulisan ini, lebih terhormat
mengkofirmasi langsung kepada ahliwaris Suku Tanda dan masyarakat Rongga yang
berdomisili atau tu (tinggal) dalam wilayah tanah ulayat dan
hak ulayat Suku Tanda. Karena di sana ada jawaban riil yang dapat menyatukan
persepsi kita yang berbeda. Karena itu jangan ada dusta diantara kita. Mari
kita tinggalkan polemik bakal tanah bandara di Tanjung Bendera karena bukan
menjadi prioritas dan kebutuhan pembangunan bagi masyarakat Rongga saat ini. Sebaliknya,
kita satukan hati, pikiran dan tindakan untuk membangun masyarakat Rongga yang
lebih kreatif dan inovatif. Sebab masyarakat Rongga yang dahulu sampai sekarang
Indonesia telah merdeka 71 tahun kurang merasakan keadilan dalam pembangunan di
daerah.*
[1]Martinus Jimung, Penulis Buku
Teori Pembangunan Politik di Indonesia dalam Praktek dan buku Politik Lokal dan
Otonomi Daerah dalam Perspektif Otda.
Siap terbit buku Filosofi Woe
Suku Tanda: Suatu Rekonstruksi Pemikiran Tanah Ulayat dan Hak Ulayat.