Selasa, 28 Juli 2015

SUKU TANDA PEMILIK HAK ULAYAT MENGGUGAT PENYERAHAN TANAH BAKAL BANDARA UDARA DI TANJUNG BENDERA



Martinus Jimung[1]

            Tanah ulayat dan hak ulayat merupakan dua kosa kata hukum adat dalam masyarakat adat yang berkesinambungan. Keduanya saling melengkapi dan tak terpisahkan. Ada tanah ulayat pasti ada hak ulayatnya, demikian sebaliknya. Maka suatu yang naif bila masyarakat adat mengakui ada tanah ulayat tetapi tidak memiliki hak ulayatnya, atau mengakui ada hak ulayatnya tetapi tidak memiliki tanah ulayatnya. Kedua kosa kata hukum adat ini bisa dipertukarkan tetapi tidak bisa dipisahkan. Keduanya menginformasikan kepada masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat adat khususnya tentang ‘kepemilikan dan kekuasaan/kewenangan’ suatu suku dalam mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu dengan daya laku kedalam dan keluar.
Masyarakat Indonesia mengakui tanah ulayat dan hak ulayat masyarakat adat. Bahkan negara secara tegas menyatakan pengakuan tersebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor  5 Tahun 1960.  Bahkan lebih progresif lagi Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 16 Mei 2013 memberikan pengakuan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 terhadap tanah ulayat dan hak ulayat masyarakat adat.
Suku Tanda sebagai salah satu suku yang terdapat di wilayah Rongga Manggarai Timur memiliki tanah ulayat dan hak ulayat dengan batas-batasnya: Utara bukit Mando berbatasan dengan suku Ndolu, Selatan laut Sawu, Timur Watu Wengga berbatasan dengan suku Kewi dan Raghi serta Barat Muku Lia berbatasan dengan suku Motu Poso. Hal ini menunjukkan kepada publik pada umumnya dan masyarakat Rongga khususnya bahwa suku Tanda selaku tuan tanah memiliki tanah ulayat dan hak ulayat dalam batas-batas tertentu. Karena itu, setiap suku atau institusi Pemerintah Daerah yang bekerja/beraktivitas di wilayah kekuasaan hukum adat Suku Tanda mutlak diperlukan izin dari ahliwaris Suku Tanda.
Menyikapi penyerahan tanah bakal bandara udara di Tanjung Bendera seluas 100 hektar kepada Pemerintah Daerah Manggarai Timur pada tanggal 23 April 2015 di kantor Camat Kota Komba oleh sepuluh suku (Suka, Ndolu, Motu, Nggeli, Liti, Kewi, Lowa, Poso, Raghi dan Sui) sungguh mencederai keharmonisan sosial masyarakat  Rongga yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun. Karena penyerahan tanah tersebut telah merusak nilai-nilai sosial adat Rongga, antara lain: (1) Mengabaikan peran suku Tanda sebagai tuan tanah pemilik tanah ulayat dan hak ulayat di wilayah tanah bakal bandaran udara di Tanjung Bendera, (2) Mengangkangi proses dan prosedur adat Rongga serta mengabaikan peran dan kedudukan Tuan Tanah Suku Tanda sebagai institusi adat tertinggi di wilayah Rongga yang mengatur tata pembagian dan penyerahan tanah. Selain itu, penyerahan tanah tersebut telah menafikan pengakuan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 terhadap tanah ulayat dan hak ulayat masyarakat adat khususnya pasal 3 dan 4 tentang kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya.  
Berdasarkan argumentasi ini, maka kami selaku Tuan Tanah Suku Tanda/Pemangku Ulayat Tanda menegaskan bahwa penyerahan tanah tersebut tidak sah dan harus ditinjau ulang demi menegakkan adat istiadat Rongga sekaligus menjaga keharmonisan sosial di wilayah kami. Sebab  belajar dari pengalaman bahwa banyak asset daerah maupun nasional digugat kembali oleh alihwaris karena mengabaikan proses dan prosedur adat  serta diserahkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas, maka PEMDA Manggarai Timur dan institusi terkait perlu menyikapi serius gugatan ini. Sebab kalau PEMDA Manggarai Timur dan Institusi terkait tidak merespons secara positif, maka cita-cita Tanjung Bendara bakal bandara masih panjang. Tetapi, bila masih ada via ticum yang dapat dilakukan menurut hukum adat Rongga, mengapa PEMDA Manggarai Timur mengangkangi proses dan prosedur adat Rongga serta mengabaikan peran dan kedudukan Tuan Tanah Suku Tanda di wilayah tanah bakal bandara di Tanjung Bendera?*


[1] Martinus Jimung adalah ahliwaris suku Tanda generasi keenam bekerja di Parepare, Sulawesi Selatan.