Martinus
Jimung[1]
Tanah ulayat dan hak ulayat merupakan dua kosa kata
hukum adat dalam masyarakat adat yang berkesinambungan. Keduanya saling
melengkapi dan tak terpisahkan. Ada tanah ulayat pasti ada hak ulayatnya,
demikian sebaliknya. Maka suatu yang naif bila masyarakat adat mengakui ada
tanah ulayat tetapi tidak memiliki hak ulayatnya, atau mengakui ada hak
ulayatnya tetapi tidak memiliki tanah ulayatnya. Kedua kosa kata hukum adat ini
bisa dipertukarkan tetapi tidak bisa dipisahkan. Keduanya menginformasikan
kepada masyarakat luas pada umumnya
dan masyarakat adat khususnya tentang ‘kepemilikan dan kekuasaan/kewenangan’
suatu suku dalam mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas
tertentu dengan daya laku kedalam dan keluar.
Masyarakat
Indonesia mengakui tanah ulayat dan hak ulayat masyarakat adat. Bahkan negara
secara tegas menyatakan pengakuan tersebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun
1960. Bahkan lebih
progresif lagi Mahkamah
Konstitusi (MK) pada tanggal 16 Mei 2013 memberikan pengakuan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 terhadap tanah ulayat
dan hak ulayat masyarakat adat.
Suku Tanda sebagai
salah satu suku yang terdapat di wilayah Rongga Manggarai Timur
memiliki tanah ulayat dan hak ulayat dengan batas-batasnya: Utara bukit Mando
berbatasan dengan suku Ndolu, Selatan laut Sawu, Timur Watu Wengga berbatasan
dengan suku Kewi dan Raghi serta Barat Muku Lia berbatasan dengan suku Motu
Poso. Hal ini menunjukkan kepada publik pada umumnya dan masyarakat Rongga
khususnya bahwa suku Tanda selaku tuan tanah memiliki tanah ulayat dan hak ulayat dalam batas-batas
tertentu. Karena
itu, setiap suku
atau institusi Pemerintah Daerah yang bekerja/beraktivitas di wilayah kekuasaan
hukum adat Suku Tanda mutlak diperlukan izin dari ahliwaris Suku Tanda.
Menyikapi penyerahan
tanah bakal bandara udara di
Tanjung Bendera seluas 100 hektar kepada Pemerintah Daerah Manggarai Timur pada
tanggal 23 April 2015 di kantor Camat Kota Komba oleh sepuluh suku (Suka,
Ndolu, Motu, Nggeli, Liti, Kewi, Lowa, Poso, Raghi dan Sui) sungguh mencederai
keharmonisan sosial masyarakat Rongga
yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun. Karena penyerahan tanah tersebut
telah merusak nilai-nilai sosial adat Rongga, antara lain: (1) Mengabaikan
peran suku Tanda sebagai tuan tanah pemilik tanah ulayat dan hak ulayat di
wilayah tanah bakal bandaran udara di Tanjung Bendera, (2) Mengangkangi proses
dan prosedur adat Rongga serta mengabaikan peran dan kedudukan Tuan Tanah Suku
Tanda sebagai institusi adat tertinggi di wilayah Rongga yang mengatur tata
pembagian dan penyerahan tanah. Selain itu, penyerahan tanah tersebut telah menafikan
pengakuan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 terhadap
tanah ulayat dan hak ulayat masyarakat adat khususnya pasal 3 dan 4 tentang kewenangan
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya.
Berdasarkan
argumentasi ini, maka kami selaku Tuan Tanah Suku Tanda/Pemangku Ulayat Tanda
menegaskan bahwa penyerahan tanah tersebut tidak sah dan harus ditinjau ulang
demi menegakkan adat istiadat Rongga sekaligus menjaga keharmonisan sosial di
wilayah kami. Sebab belajar dari
pengalaman bahwa banyak asset daerah maupun nasional digugat kembali oleh
alihwaris karena mengabaikan proses dan prosedur adat serta diserahkan oleh pihak-pihak yang tidak
memiliki otoritas, maka PEMDA Manggarai Timur dan institusi terkait perlu
menyikapi serius gugatan ini. Sebab kalau PEMDA Manggarai Timur dan Institusi
terkait tidak merespons secara positif, maka cita-cita Tanjung Bendara bakal bandara
masih panjang. Tetapi, bila masih ada via ticum yang dapat dilakukan menurut
hukum adat Rongga, mengapa PEMDA Manggarai Timur mengangkangi proses dan
prosedur adat Rongga serta mengabaikan peran dan kedudukan Tuan Tanah Suku
Tanda di wilayah tanah bakal bandara di Tanjung Bendera?*
[1] Martinus Jimung adalah ahliwaris
suku Tanda generasi keenam bekerja di Parepare, Sulawesi Selatan.