Martinus
Jimung
Paus Benediktus XVI, dalam pesan pastoralnya menyongsong Hari
Orang Muda sedunia ke XXIII di Sydney, tanggal 14-20 Juli 2008, mengatakan: ‘Banyak
orang muda memandang hidup dengan gelisah dan mengajukan banyak pertanyaan
mengenai masa depan mereka’. Dengan cemas mereka bertanya: Bagaimana orang muda
bisa hidup dalam dunia yang ditandai dengan begitu banyak ketidakadilan yang
parah dan begitu banyak penderitaan ini? Bagaimana seharusnya orang muda
bersikap atas egoisme dan kekerasan yang kadang-kadang tampak lebih kuat?
Bagaimana orang muda memberi makna jati diri sepenuhnya dalam hidup ini?
Bagaimana orang muda bisa menolong diri dan dunianya melalui tindakan ‘kasih,
sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kedewasaan, dan pengendalian diri’ sehingga dapat mengisi dunia yang cemas dan
rapuh ini, dunia yang sebagian besar darinya adalah orang muda itu sendiri?
Melalui pernyataan kegelisaan dan harapan di atas, tampaklah
bahwa orang muda selalu menarik untuk dibicarakan dengan segala suka dan
dukanya, dengan jati diri dan dinamikanya yang khas. Orang muda diharapkan
mampu mengenal jati dirinya dan mampu pula mengimplementasikan jati dirinya dalam
dunia nyata bersama dengan kekhasan dan predikatnya sebagai ‘pelaku perubahan
dan pembaruan’ dalam masyarakat dan bangsa. Hal itu bisa terjadi bila orang
muda mampu mengenal jati dirinya. Sebaliknya, ia akan mengalami kesulitan dalam
mengaktualisasi jati dirinya.
Jati Diri Orang Muda
Orang
muda senantiasa berusaha menemukan jati diri dan aktualisasi dirinya sendiri.
Mereka juga lemah dan mudah terpengaruh oleh lingkungan hidupnya. Mereka selalu
memilih yang menyenangkan dan memberikan kebahagiaan bagi dirinya. Dalam
pencarian identitas diri ini, orang muda
dapat menampakkan aneka sifat yang indah dan mempesona, sekaligus kemampuan
yang mengagumkan.
Pencarian identitas ini tidak lepas dari kesadaran akan
kelemahan dan kelebihannya, kesukaan dan ketidaksukaannya, keinginan dan tujuan
masa depannya, serta perasaan untuk mengatur hidupnya sendiri. Itulah sebabnya orang
muda rindu untuk diakui, dihargai, diterima, dilibatkan, dan dicintai jati
dirinya. Maka tidak jarang kalau karakter dasar orang muda sering terungkap
dalam perilaku yang kurang sabar, cenderung kasar, terlalu cepat ingin
menyelesaikan masalah, kurang percaya pada pengalaman orang yang lebih tua, terlalu
cepat membuat generalisasi. Mereka cepat bereaksi dan cenderung emosional. Hal
itu bisa terjadi karena orang muda cenderung berorientasi ke masa depan,
mempunyai keinginan besar untuk maju, dan tidak suka dibandingkan dengan zaman
lampau, yang merupakan dunia generasi tua. Orientasi ke depan merupakan sesuatu
yang sangat positif jika didasarkan pada pijakan yang benar dan kuat, agar
mereka tidak terjerumus pada hal-hal yang dapat menghentikan langkah ke depan
yang dapat merusak jati dirinya.
Bagi orang muda yang dapat melalui krisis identitas yang
dialaminya dengan baik, maka mereka akan memiliki rasa aman dan nyaman terhadap
sesama dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya berkembang dalam relasi dengan
orang lain, namun mereka pun mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk
dalam pergaulan. Orang muda seperti itulah yang disebut memiliki jati diri yang
berkualitas, benar, kuat dan bertanggung jawab.
Sebaliknya, orang muda yang gagal melalui krisis identitasnya
akan menarik dan menutup diri. Mereka tidak berhasil memberikan kasih dan
hidupnya untuk bersatu dengan orang lain. Ia cenderung memiliki kepribadian
yang impulsif, selalu bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Keadaan ini
membuat mereka lemah dan tidak mampu berdiri sendiri, kepribadian yang tidak
matang, dan dapat menimbulkan keputusasaan serta ketidakmampuan untuk
menghadapi penderitaan sehingga pada gilirannya mereka mengalami kesulitan dan
kerapuhan untuk bertindak dan bersikap dalam hidup sehari-hari. Hal yang
demikian dapat juga dialami oleh orang muda katolik.
Orang Muda Katolik
Orang muda katolik juga tidak dapat terlepas dengan situasi
tersebut. Oleh karena itu mereka seharusnya berani untuk mengakui identitasnya
di hadapan Tuhan dan sesamanya. Ia dapat bertanya pada diri sendiri: ‘Siapakah
saya dihadapan Tuhan, sesama dan diriku sendiri? Karena itu tidak cukup hanya
mengatakan bahwa kami orang muda katolik, kalau tanpa ada perwujudan kongkrit
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam sikap dan perbuatan nyata di rumah, sekolah,
universitas, keluarga, masyarakat, gereja dan kantor.
Pertanyaan
yang menelusuri kehidupan orang muda katolik adalah: ‘kemana
arah orang muda katolik masa kini? Pertanyaan ini berangkat dari kenyataan
bahwa orang muda katolik masa kini telah dijangkiti oleh ‘virus’ arus
globalisasi. Kehadiran globalisasi tidak hanya melahirkan krisis dalam hidup orang
muda katolik terutama dalam pencarian identitas iman mereka, tetapi juga bahwa orang
muda katolik sebagai harapan masa depan Gereja dan masyarakat berada dalam
disposisi yang tidak menentu. Artinya, di satu pihak kehadiran globalisasi
menguntungkan orang muda katolik terutama dalam mewujudkan segala harapan dan
cita-cita mereka sekaligus dapat memperluas relasi mereka dengan orang lain,
tetapi di lain pihak ‘globalisasi’ membuat orang muda katolik berada dalam
kesulitan untuk mencari makna jati diri mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu orang
muda katolik menghadapi sekian banyak persoalan dalam hidup mereka, tak
terkecuali mereka mengalami krisis iman akibat perkembangan globalisasi.
Untuk itu kita perlu mengerti,
memahami pengalaman hidup rohani mereka dan membantu mereka untuk menjadi saksi
Kristus dalam hidup sehari-hari, berani berbicara mengenai Kristus dalam
keluarga dan lingkungan belajar, bekerja dan bermain. Maka proses pendampingan terhadap
orang muda katolik merupakan kebutuhan mendesak agar mereka bisa diandalkan,
dan menjadi garam dalam masyarakat yang menyelamatkan, menyembuhkan dan
memulihkan, serta memberikan kekuatan dan motivasi baru untuk hidup dan karyanya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar