Martinus
Jimung[1]
Dunia
kerja tenaga kesehatan Indonesia pada era Masyarakat Ekonomi Asian (MEA) tahun 2016 sungguh ditantang.
Betapa tidak, karena pada era ini negeri kita akan dibanjiri oleh tenaga
kesehatan asing seperti dokter, dokter gigi, perawat dan bidan. Sudah pasti tenaga
kesehatan kita akan bersaing dengan mereka, baik dari aspek pengetahuan maupun
keterampilan. Untuk itu tenaga kesehatan Indonesia perlu memiliki ‘kompetensi
lebih’ agar kita tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Karena prasyarat
untuk dapat bekerja di dunia kesehatan pada era MEA tahun 2016 semakin tinggi
kompetensinya.
Salah satu prasyarat seorang tenaga
kesehatan dapat diterima dalam dunia kerja di era Masyarakat Ekonomi Asian
(MEA) tahun 2016 adalah memiliki keterampilan dalam bidang Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS). Karena hal ini sesuai keadaan negara kita saat ini, dimana
banyak peristiwa gawat darurat yang membutuhkan pertolongan dari tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi. Prasyarat ini tidak hanya menjadi isapan
jempol belaka, melainkan telah menjadi kenyataan. Realita menunjukkan bahwa banyak
pelamar pekerja kesehatan di berbagai rumah sakit, puskesmas dan perusahaan di tahun
2015 menyertakan sertifikat BTCLS sebagai
salah satu penentu untuk diterima atau tidak. Kondisi ini tentu saja mendorong
Institusi Pendidikan Kesehatan sebagai penyedia tenaga kesehatan memasukan mata
pelajaran Konsep Dasar Keperawatan Darurat dalam kurikulumnya serta membuka
berbagai progam pelatihan skill agar para alumninya bisa terserap dalam
persaingan dunia kerja.
Tentu saja, sudah banyak Institusi Kesehatan
menyikapi hal ini sebagai langkah antisipasi menghadapi era MEA di tahun 2016. Hal
itu dilakukan sebagai bukti keberpihakan Institusi dalam menyiapkan alumninya
untuk menghadapi dunia kerja nyata di era MEA tahun 2016. Karena Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) adalah mekanisme yang dirancang
untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk
mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktivitasnya dapat
dipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat. Karena
itu dalam BTCLS terdapat enam fase,
yaitu: fase deteksi, fase supresi, fase pra rumah sakit, fase rumah sakit dan
fase rehabilitasi. Fase deteksi dapat diprediksi tentang frekuensi kejadian,
penyebab, korban, tempat rawan kualitas kejadian dan dampaknya. Misalnya
terkait dengan kecelakaan lalulintas, maka dapat diprediksi frekueansi
kecelakaan lalu lintas, buruknya kualitas helm sepeda motor yang dipakai,
jarangnya orang memakai safety belt,
tempat kejadian tersering di jalan raya yang padat dan sebagainya. Fase supresi
bertujuan untuk menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat dilakukan
dengan berbagai cara seperti perbaikan konstruksi jalan, peningkatan
pengetahuan peraturan lalulintas dan peningkatan patroli keamanan. Sementara fase
pra rumah sakit, keberhasilan penanggulangan gawat darurat sangat tergantung
pada adanya kemampuan akses dari masyarakat untuk memberikan informasi
pertolongan kepada korban kecelakaan atau bencana. Pemerintah Kota Parepare termasuk
menanggapi fase ini dengan menyediakan mobil ambulan gawat darurat call center
112 yang sangat membantu masyarakat memberikan informasi keadaan gawat darurat.
Sedangkan fase rumah sakit dan rehabilitasi merupakan lanjutan dari fase-fase
sebelumnya. Karena dalam fase ini merupakan suatu pendekatan yang sistematik
untuk membawa korban gawat darurat ke suatu tempat penanganan yang definitif. Dalam
konteks inilah sertifikat BTCLS merupakan
suatu tuntutan bagi tenaga kesehatan memasuki dunia kerja pada era MEA tahun 2016.
BCTLS Kebutuhan Dunia
Kerja Kesehatan
Tuntutan prasyarat dunia kerja
kesehatan sebenarnya bukan hal baru. Pengalaman empiris merupakan pelasanakan BTCLS di rumah sakit, puskesmas dan perusahaan sangat membutuhkan. Sebagai
gambaran, khususnya kecelakaan lalulintas dan bencana alam saat ini meningkat,
dan bahkan dari berbagai peristiwa gawat darurat tersebut tidak semua korban
meninggal di tempat, tetapi justru yang
terbanyak meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit atau puskesmas. Hal itu
terjadi karena keterampilan BTCLS ini
belum disiapkan secara baik.
Untuk meminimalkan terjadinya
kematian akibat kecelakaan lalulitas atau bencana alam, upaya pencegahan pasien
lebih baik dilakukan dengan cara memasukan kursus atau pelatihan/program BTCLS atau kurikulum pendidikan
kesehatan yang membantu keterampilan dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam
menyikapi peristiwa gawat darurat. Alasannya, pertama frekuensi kuantitas
kecelakaan lalulintas dan bencana alam yang membutuhkan pertolongan pertama
sebelum ke rumah sakit meningkat. Kedua, data kejadian kecelakaan/peristiwa
gawat darurat di lapangan selama ini tidak selamanya orang meninggal di tempat,
tetapi lebih banyak dalam perjalanan ke rumah sakit karena kekurangan darah
atau keterlambatan memberikan pertolongan pertama. Ketiga, minimnya tenaga
kesehatan yang terampil dalam menangani masalah gawat darurat.
Pembenahan Kurikulum
Kesehatan
Selain mengadakan pelatihan BTCLS, ada satu hal mendasar yang harus
segera ditangani, yaitu pembenahan kurikulum kesehatan untuk menjawab kebutuhan
masyarakat memasuki era MEA tahun 2016. Selama
ini pendidikan kesehatan sangat umum memberikan teori pertolongan pertama pada
kecelakaan sehingga orientasi tenaga kesehatan hanya ke rumah sakit dan
puskesmas sehingga masalah BTCLS
belum maksimal. Karena berbagai kendala seperti kurangnya sarana, terbatasnya
pengetahuan dan keterampilan petugas serta persiapan mengarah keterampilan BTCLS belum terlatih dengan baik. Realisasinya
penanganan peristiwa gawat darurat belum
maksimal. Maka mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Institusi Kesehatan
memasukkan mata kuliah BTCLS atau
program pelatihan BTCLS bersertifikat
di dalam kurikulumnya sehingga para alumninya dapat terserap dalam dunia kerja
kesehatan*.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar