Kamis, 25 Juni 2015
Minggu, 21 Juni 2015
WAKIL RAKYAT
Martinus Jimung[1]
Ketika Wakil Rakyat (DPR) mendadak
mengusulkan ‘menonaktifkan Menteri lebih awal yang diduga bersalah’, sontak beragam tanggapan
dari kalangan masyarakat. Seperti Wakil Rakyat melangkahi hak prerogatif
Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para Menterinya. Wakil Rakyat
terlalu jauh mencampuri wilayah kekuasaan Presiden. Usulan Wakil Rakyat menonaktifkan
Menteri lebih awal yang diduga bersalah bertentangan dengan asas praduga tak
bersalah yang dilindungi UU. Ada
juga yang mengatakan bahwa Wakil Rakyat terlalu over acting dengan mencari
sensasi murahan untuk merebut hati masyarakat demi mendongkrak popularitasnya
yang kian turun drastis. Karena itu, kita patut mencurigai usulan Wakil Rakyat
itu. Apakah murni memperjuangkan kepentingan bangsa? Ataukah mencari
kepentingan politik diri, kelompok dan partai politinya? Setiap orang bebas
menginterpretasikannya selagi kita masih hidup dialam demokrasi.
Tetapi saya sepakat, kalau usulan Wakil Rakyat
itu kita letakan pada koridor hukum adalah sangat tepat, dan bahkan mendesak.
Mengapa? Kalau pejabat publik yang diduga bersalah tidak dinonaktifkan lebih
awal agak sulit bagi pihak penyidik untuk melakukan penyelidikan terhadap
pejabat tersebut. Karena dia masih terikat dengan jabatannya dan harus mendapat
izin tertulis dari Presiden sebagai pimpinannya untuk diselidiki atau tidak. Selain
itu, kalau pejabat publik yang diduga bersalah akan diselidiki bisa terganggu
tugas-tugas kenegaraannya. Ringkasnya, tujuan penonaktifan lebih awal terhadap
pejabat publik yang diduga bersalah adalah untuk mempermudah proses penyelidikan.
Pada tahap ini, posisi Wakil Rakyat
semakin bersahabat di mata masyarakat. Peluang bagi Wakil Rakyat untuk
memperbaiki citranya semakin besar. Kenapa? Karena Wakil Rakyat lagi negative
thinking di hati masyarakat. Ketika rakyat Indonesia lapar, tariff BBM dan
listrik naik, malah gaji Wakil Rakyat dinaikan. Ketika berbagai bencana melanda
wilayah Indonesia,
Wakil Rakyat diam, dan bahkan mereka sibuk mempersoalkan PP 37 tahun 2006.
Malahan mereka melakukan demo secara besar-besaran di kota Jakarta
menuntut Pemerintah untuk merevisi PP 37 tahun 2006. Repotnya, identitas DPR
sebagai Wakil Rakyat sudah melekat pada diri mereka. Karena itu, setuju atau
tidak hal tersebut sudah diatur dalam UU Pemilu.
Sementara itu, masyarakat terus memplesetkan
Wakil Rakyat pilihannya sendiri dengan kata-kata yang sangat keras. Seperti apa
yang dilontarkan oleh Dewan Redaksi Metro TV dalam beda editorial pada tanggal
24 Maret 2007 dengan topik: “Solusi
Mencari Wakil Rakyat” memplesetkan DPR dengan singkatan: ‘Dewan Pemeras Rakyat, Dewan
Penindas Rakyat dan Dewan Penipu Rakyat’. Plesetan
ini sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi masyarakat Indonesia.
Menurut saya, sejak reformasi bergulir
sampai dikeluarkannya UU pemilihan langsung Anggota Dewan oleh masyarakat, Wakil
Rakyat (DPR) mengalami tiga fase. Pada fase pertama, saya menyebutnya dengan konsolidasi. Pada fase ini kegiatan Wakil Rakyat lebih terfokus pada pembenahan
ke dalam, baik kinerjanya maupun struktur kelembagaannya. Entah itu berkaitan langsung
dengan fraksi-fraksi maupun komisi-komisi yang telah dibentuk. Tetapi, pada
masa konsolidasi ini aroma konflik internal sangat terasa karena egoisme diri
dari masing-masing pribadi, fraksi, komisi dan partai politik masih sangat
kental. Sehingga tidak mengherankan kalau kita mencium aroma tidak sedap dari Wakil
Rakyat yang terhormat. Seperti adu otot antar Wakil Rakyat di gedung senayan Jakarta, perebutan
jabatan ketua fraksi dan komisi-komisi, loby bagi-bagi jabatan, dan sebagainya.
Selain itu, saya agak pesimis dengan perubahan yang dihembuskan oleh Wakil Rakyat
pada masa konsolidasi ini. Karena tidak banyak perkembangan berarti yang muncul
dari Wakil Rakyat.
Pada suatu diskusi ilmiah di Hotel Kristal
Kupang-Timor, NTT pada tahun 2005 tentang Peran Wakil Rakyat di Lembaga Legislatif, saya pernah meminta pendapat secara langsung kepada peserta
tentang apa yang mereka ketahui dari Wakil Rakyat dan kerjanya selama ini. Ada dua jawaban yang
menarik. Pertama, Wakil Rakyat itu ibarat ‘seorang yang memanjat
pohon’ dia membutuhkan orang lain untuk membantunya
supaya ia sampai di atas puncak. Tetapi setelah ia berada di atas puncak, ia
tidak memperhatikan lagi siapa yang menolongnya. Artinya, Wakil Rakyat sebelum
terpilih menjadi Anggota Dewan (entah daerah maupun pusat), dia meminta
dukungan dari masyarakat untuk memilihnya. Tetapi setelah dia terpilih menjadi Anggota
Legislatif, dia lupa akan rakyat yang memilihnya. Sedangkan kerja Wakil Rakyat
lebih banyak memikirkan dirinya, yakni bagaimana dia bisa mengembalikan dana
yang ia pergunakan pada saat pemilu dahulu. Apa lagi kalau dana itu hasil anggunan
atau pinjaman dari bank, pengusaha dan sebagainya. Konsekuensinya, memikirkan
kepentingan rakyat terbagi kalau tidak mau dikatakan lupa sama sekali.
Di sini terlihat bahwa orang yang
mengemukan pendapatnya tersebut sebenarnya tidak suka dengan kinerja Wakil Rakyat
selama ini. Jawaban seperti itu terutama bisa terucap dari kalangan masyarakat
yang kritis dan cerdas mengikuti berbagai kinerja Wakil Rakyat selama ini. Di
satu sisi, dia punya persepsi bahwa Wakil Rakyat sudah jauh dari visi dan misi
utamanya. Tetapi di satu sisi, dia sebenarnya takut mencalonkan diri menjadi Wakil
Rakyat karena kerja Wakil Rakyat berat, yakni memikirkan kepentingan rakyat dan
Negara Republik Indonesia.
Hal menarik kedua yang muncul dari diskusi tersebut bahwa Wakil Rakyat merupakan ‘utusan partai
politik’ dan bukan utusan rakyat. Hal ini sesuai
perintah UU Pemilu, di mana pada saat pemilihan Anggota Dewan masyarakat
memilih partai politiknya dan bukan orangnya. Juga masyarakat bukan menusuk
gambar orangnya, melainkan tanda gambar partai politiknya. Konsekuensi
logisnya, Wakil Rakyat lebih taat pada perintah partai politiknya ketimbang
amanat rakyat. Sedangkan ketentuan siapa yang dapat menjadi Anggota Dewan bukan
berdasarkan suara terbanyak, melainkan menurut nomor urutnya. Akibatnya, Wakil
Rakyat yang duduk dikursi Lembaga Legislatif bukan berdasarkan orang yang
dikenal rakyat dan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, melainkan menurut nomor
urut yang mungkin tidak dipilih dan juga tidak dikenal oleh masyarakat. Karena
itu, usulan Pemerintah agar UU Sistim Pemilu harus segera dirubah bahwa rakyat
harus menusuk orangnya dan bukan tanda gambar partai politik serta yang berhak
duduk dikursi Lembaga Legislatif berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan
langsung dan bukan berdasarkan nomor urutnya adalah usulan yang tepat dan
segera diundang-undangkan.
Fase
kedua adalah pemantapan. Pada fase ini Wakil Rakyat mengklaim diri sebagai representasi
suara rakyat. Karena itu, kehadirannya sangat perlu dalam suatu lembaga
pemerintahan, yakni sebagai pengimbang pemerintah dengan mengemban tiga fungsi
utamanya, yakni legislasi (pembuatan UU), fungsi anggaran dan pengawasan. Pada
fase ini, kalau Wakil Rakyat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai Wakil Rakyat,
apa yang terjadi dengan Negara kita. Boleh jadi rakyat semakin dekat di hati Wakil
Rakyat. Kemiskinan bisa dieliminasi dan produk UU yang dihasilkan lebih banyak
menyentuh kepentingan rakyat. Tetapi justru ketika harapan masyarakat terarah
kepada Wakil Rakyat, mereka diuji perannya, apakah dia sebagai representasi
rakyat atau kepentingan diri, kelompok dan partainya.
Akhirnya, fase ketiga adalah pengembangan. Fase ini ditandai dengan kerja nyata yang dihasilkan oleh Wakil Rakyat
untuk masyarakat. Seperti mengamademenkan UUD 1945 sampai empat kali sehingga
terjadi perubahan sistem politik ketatanegaraan kita berkaitan dengan Pemilu
dan pilkada langsung. Juga usulan menonaktifkan pejabat negara lebih awal yang
diduga bersalah untuk mempermudah proses penyidikan, dan sebagainya. Fase ini
sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Indonesia tentang berbagai gebrakan
baru yang dilakukan oleh Wakil Rakyat bagi kepentingan nasional dan daerah.
Kelihatannya, rakyat Indonesia lagi
jauh melihat harapan dari Wakil Rakyat ini. Bahkan ada yang mengusulkan supaya Wakil
Rakyat (DPR) dibubarkan saja karena kurang berpengaruh bagi kepentingan rakyat.
Sementara itu, masih banyak orang yang berjuang sekuat tenaga, pikiran,
kehendak dan bahkan harta benda untuk dapat dipilih menjadi Wakil Rakyat. Pertanyaannya
adalah, untuk apa dan siapa mereka berlomba-lomba menjadi Wakil Rakyat? Apakah mereka
mencari kekayaan, kekuasaan dan kehormatan demi kepentingan diri, kelompok dan
partainya? Atau untuk kepentingan umum, dan bagaimana tolok ukurnya? Juga apa
pekerjaan Wakil Rakyat setelah terpilih menjadi Anggota Dewan, baik daerah
maupun pusat?
Secara hukum tata Negara, Wakil Rakyat itu
perlu supaya berjalannya proses demokrasi. Tetapi, secara praksis jelas tidak
perlu. Karena tidak banyak yang kita harapkan dari Wakil Rakyat. Misalnya, dari
dulu sampai sekarang banyak Wakil Rakyat berbicara sebagai ‘pembela rakyat’, tetapi belum banyak perubahan signifikan berkaitan dengan
kepentingan rakyat. Malahan yang terjadi, gaji Wakil Rakyat semakin bertambah
yang tidak seimbang dengan efektifitas kerja nyatanya. Selain itu, mobil berganti-ganti,
rumah bertingkat dan tersedianya berbagai fasilitas oleh Negara.
Barangkali sudah saatnya, Wakil Rakyat melakukan
introspeksi diri serta bertobat untuk melihat kinerja dan mentalitasnya selama
ini. Apakah Wakil Rakyat benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai
dengan namanya Wakil Rakyat? Atau mereka menyembunyikan diri dibalik nama Wakil
Rakyat untuk menggolkan kepentingan diri, kelompok dan partainya? Kalau hal itu
yang terjadi, lebih baik label Wakil Rakyat yang melekat pada jabatanya segera
dicabut. Dengan demikian, segala plesetan Wakil Rakyat sebagai ‘Dewan Penindasan
dan Pemeras Rakyat’ tidak terulang lagi.
Sebaliknya, sekali Wakil Rakyat tetaplah memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mungkinkah hal itu terjadi*
[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik
Lokal dan Pemerintahan Daerah. Ketika menulis artikel ini tinggal di Jl. Kawi VI No. 30 RT
007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang,
Jawa Tengah.
SERTIFIKASI GURU: PROFESIONALISME ATAU FORMALITAS?
Martin
Jimung,M.Si[1]
Belum
lama ini, media massa
lokal maupun nasional melangsirkan berita tentang para guru yang lagi sibuk
mempersiapkan diri mengikuti ujian sertifkasi sebagai salah satu prasyarat kelayakan
untuk mengajar. Bagi para guru yang telah lulus sertifikasi boleh bertawa ria
karena segudang mimpi indah memperbaiki nasib untuk mendapatkan kenaikan gaji
dan tunjangan profesinya akan mengalir sehingga cita-cita memperoleh
penghidupan yang lebih layak segera terealisasikan.
Sementara
bagi para guru yang belum berhasil dan akan mengikuti ujian sertifikasi perlu
berjuang sekuat tenaga, baik secara halal maupun haram. Karena kriteria untuk
lulus dan mendapatkan sertifikasi semakin ketat serta birokrasi yang semakin
rumit. Seperti para guru yang telah lulus ujian tidak serta merta mendapatkan
tunjangan sebagaimana disampaikan sebelum mendapatkan sertifikasi, melainkan
perlu melengkapi berbagai portofolio dan sebagainya (Fajar Makassar,14/12/2007). Pada level
ini kita boleh bertanya: Apakah sertifikasi guru itu suatu profesionalisme atau
formalitas dari suatu proyek yang terselubung?
Formalitas
Tuntutan
agar para guru perlu memiliki sertifikasi tidak selamanya melahirkan tenaga
pendidik yang siap pakai. Sebaliknya, justru memunculkan aneka persoalan baru
yang irasional dan sangat krusial. Persoalan baru itu antara lain, pertama para guru bisa melupakan tugas pokoknya sebagai pendidik yang
selalu hadir di kelas. Karena desakan untuk melengkapi berbagai kertas kerja
portofolio membuatnya kurang hadir di kelas memberikan pelajaran kepada peserta
didiknya. Ia sibuk menyiapkan diri dengan berbagai hal dan strategi untuk
mengikuti ujian sertifikasi. Seperti mengikuti seminar-seminar, pelatihan,
kursus-kursus dan kuliah dadakan. Konsekuensinya, konsentrasi mengajar dan
menyiapkan materi pembelajaran bagi peserta didiknya semakin kurang. Di samping
itu, status guru bergeser dari yang sering hadir di kelas menjadi lebih banyak
berada di luar kelas untuk mengikuti berbagai kursus, seminar dan pelatihan demi
mendapatkan sertikat tambahan. Akibatnya, pelajaran tertinggal dan peserta
didik kehilangan haknya untuk mendapatkan pelajaran pada waktunya dari para
pendidiknya.
Kedua, saya membaca bahwa sertifikasi guru merupakan salah satu upaya
dari pemerintah untuk menafikan ijazah guru yang telah dikeluarkan oleh lembaga
pendidikan tinggi selama ini yang menamatkan mereka sebagai tenaga guru.
Artinya, pemerintah secara tidak langsung tidak mengakui ijazah guru yang telah
mereka peroleh dengan cara mewajibkan para guru untuk mendapatkan sertifikasi.
Berkaitan dengan hal itu muncul pertanyaan retoris, sertifikasi guru suatu
proyek atau ketidaksanggupan pemerintah mengakui keberadaan guru selama ini.
Selain itu, sertifikasi guru
memunculkan ijazah dan sertifikat-sertifikat dadakan. Karena tuntutan
melengkapi portofolio bagi setiap peserta ujian sertifikasi melahirkan mental
guru instan, asal jadi. Singkatnya, sertifikasi guru sadar atau tidak
menciptakan penipuan atau pembohongan gaya
baru dalam dunia pendidikan. Karena para guru menyiapkan diri mengikuti ujian
sertifikasi hanya sebagai formolitas untuk mendapatkan sertifikasi dan bukan
karena profesionalisme dalam bidangnya.
Profesionalisme
S.Wojowasito
(1985:160) dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia
dan Indonesia-Inggris mengartikan profesionalisme
adalah ‘orang
yang mempunyai keahlian dalam bidangnya’. Keahliannya
itu dapat diukur melalui sikap, kata, perbuatan dan hasil karya nyata dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, hasil karyanya dapat berguna bagi
segenap komponen bangsa. Sikap hidupnya menjadi teladan bagi sesama dan buah
pikirannya dicari oleh banyak orang. Ringkasnya, dia menjadi manusia kaya arti.
Karena itu kehadirannya dicari oleh banyak orang. Itulah yang disebut dengan orang
yang profesionalisme dalam bidangnya.
Sertifikasi
guru setidaknya merujuk kepada makna profesionalisme itu. Karena pengertian
sertifikasi mengacu pada ‘surat
keterangan kelayakan mengajar’. Maka guru yang professional dalam bidangnya
dapat diukur dari kemampuan pengetahuannya dalam menyajikan materi pembelajaran
yang nyata dalam (a) metode pembahasan dan pengolahan bahan yang jelas, padat
dan mudah dipahami oleh peserta didik, (b) out put hasil didikannya mampu
memahami dan mengevaluasi materi sehingga tidak banyak mengalami kesulitan
dalam penerapannya, dan (c) hasil kajian ilmiah berkaitan dengan mata
pelajarannya berupa buku, silabus, opini dan alat-alat peraga yang dapat
dijadikan rujukan bagi peserta didik dan para guru lain.
Menurut
penulis, inilah yang dapat disebut dengan kriteria guru profesional, guru yang
pantas mendapat sertifikasi. Karena itu, proses mendapatkan sertifikasi bagi
para guru sesungguhnya tidak perlu mengeluarkan banyak dana. Juga tidak perlu mengikuti
ujian tertulis dan birokrasi yang panjang. Cara yang sangat sederhana yakni,
pihak-pihak atau lembaga yang diberi kewenangan untuk mengeksekusi para guru
yang berhak mendapatkan sertifikasi langsung mengadakan inspeksi ke
sekolah-sekolah. Tentu saja, inspeksi dadakan yang tidak perlu diinformasikan
lebih dahulu agar keaslian terjamin sehingga pemilihan guru yang berhak
mendapatkan sertifikasi tidak keliru.
Tujuan
kehadiran lembaga pemberi sertifikasi ke sekolah-sekolah untuk meminta secara langsung
portofolio dari setiap guru, berdialog dengan para siswa tentang guru-gurunya
berkaitan dengan proses dan metode pembelajaran yang diberikan. Selain itu,
mereka menyaksikan secara langsung bagaimana para guru mengimplementasikan
metode dan proses pembelajarannya, serta meminta silabus dan berbagai hasil
kajian ilmiah dari para guru berkaitan dengan materi pelajarannya. Karena hanya
dengan cara itu penipuan gaya
baru untuk memperlicin perolehan sertifikasi dapat dieliminir dan pemberian
sertifiksi kepada para guru benar-benar karena profesionalisme dalam bidangnya.
Bukan hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan sertifikasi guru.
Kalau profesionalisme
yang dibutuhkan dalam sertifikasi guru, maka sudah dipastikan bahwa dunia
pendidikan Indonesia
akan mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia dan nama guru tetap
dikenang sepanjang masa. Singkatnya, program sertifikasi guru bisa diteruskan. Sebaliknya,
kalau bukan guru professional yang
berhak mendapatkan sertifikasi, maka program mewajibkan para guru untuk mendapatkan
sertifikasi perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Mengapa tidak.*
BELAJAR DARI PT SINAR MAS
Martin Jimung[1]
Kita semua pasti tahu dan mengenal PT Sinar Mas. Itulah
PT (Perseroan Terbatas) pengadaan kertas terbesar dan berkualitas di Indonesia.
Mengapa bisa demikian? Soalnya, ia berkualitas tidak saja diakui di Indonesia,
bahkan meluas sampai ke manca Negara. PT Sinar Mas memang unik dan dan
istimewa. Keunikan dan keistimewaannya terletak pada kualitasnya yang tetap
utuh sejak berdiri hingga saat ini.
PT Sinar Mas sudah puluhan tahun beroperasi, tetapi
tetap bersinar dihati konsumen sesuai dengan namanya Sinar Mas atau cahaya
emas. Karena dia memancarkan cahaya emas kepada konsumen melalui kualitas
produksi yang dihasilkannya serta kegunaannya di lingkungan konsumen. Belakangan
bahkan ia membuat kejutan special bagi para konsumen, teristimewa untuk anak-anak
korban banjir ibu kota
Jakarta dengan
mengusung tema: ‘Sejuta Buku Untuk Anak Korban Banjir Jakarta’ (Konfir kembali
Siaran TV7 pada tanggal 8 Maret 2007).
Gebrakan PT Sinar Mas ini patut diangkat jempol. Betapa
tidak! Karena di tengah PT dan Perusahaan mengejar keuntungan bisnisnya secara besar-besaran,
ia masih memiliki nurani untuk berpihak pada penderitaan korban banjir Jakarta. Tentu saja,
keberpihakan PT Sinar Mas ini mendapat sambutan beragam dari kalangan
masyarakat, paling kurang anak-anak korban banjir Jakarta dan Gubernur DKI, Sutiyoso. Gubernur
Sutiyoso misalnya, menyebut PT Simar Mas sebagai ‘PT
contoh yang memperhatikan masalah pendidikan pasca banjir Jakarta’. PT
Sinar Mas juga sebagai pembuka jalan bagi PT-PT atau Perusahaan-Perusahaan lain
untuk menyalurkan bantuannya bagi masyarakat korban banjir Jakarta. Mengapa? Karena kalau orang ingat
tema ‘sejuta buku untuk anak korban banjir Jakarta’, dia ingat PT Sinar Mas
yang terasa dekat di hati konsumennya. Sutiyoso juga menambahkan, PT Sinar Mas
akan berakhir kalau lembaga pendidikan, perkantoran, percetakan, tempat foto copy
dan sebagainya tidak menggunakan kertas lagi.
Dulu dan sekarang, PT Sinar Mas mengklaim diri sebagai
PT milik masyarakat Indonesia.
Mengapa? Karena semua lembaga pendidikan, perkantoran, percetakan, tempat foto
copy dan sebagainya, dia pasti membutuhkan kertas. Dengan demikian, PT Sinar
Mas ingin mengatakan bahwa dia terus bersinar di tengah konsumen seindah sinar
namanya.
PT Sinar Mas tidak saja terkenal di Indonesia,
melainkan sudah menembus pasar global. Bahkan kualitas kertas produksi PT Sinar
Mas diakui di luar negeri. Kekuatan PT Sinar Mas terletak pada mutuhnya dan
kepercayaan (trust) dari pihak konsumen. Hal tersebut diperhatikan serta
terpelihara betul oleh PT Sinar Mas. Sebab kualitas produksi dan kepercayaan dari
konsumen adalah modal utama bagi semua PT dan Perusahaan untuk terus berkembang
dan memperbanyak produksinya. Sebaliknya, akan ditinggalkan oleh para konsumennya.
Kalau kesadaran konsumen menggunakan kertas akan dan
terus meningkat, bisa dipastikan bahwa produk PT Sinar Mas tidak akan menurun.
Karena itu, ada nilai plusnya ketika PT Sinar Mas melakukan kampanye “Sejuta Buku Untuk Anak Korban Banjir
Jakarta’, seperti yang disiarkan oleh TV 7 pada
tanggal 8 Maret 2007 lalu akan memperkuat persepsi dibenak konsumen bahwa PT
Sinar Mas tidak saja mengejar keuntungan bisnis melulu, tetapi juga melakukan
misi kemanusiaan dalam tindakan nyata, yakin dengan membagi-bagikan buku secara
gratis kepada anak korban banjir Jakarta.
Harapan saya, PT Sinar Mas tidak cukup hanya membantu
anak-anak korban banjir Jakarta,
melainkan juga bisa mengembangkan sayapnya untuk anak-anak korban bencana di
daerah-daerah terpencil. Karena mereka mungkin lebih membutuhkannya. Dengan demikian,
daya pikat para konsumen terus meningkat. Naiknya konsumen akan kegunaan kertas
sebenarnya yang melatarbelakangi tindakan PT Sinar Mas melakukan kampanye ‘sejuta buku untuk
anak korban banjir Jakarta’.
PT Sinar Mas sebagai Perusahaan publik tentu saja akan tetap menjaga
popularitasnya. Prestasinya semakin naik ketika berani muncul di tengah pasca
bencana banjir kota
Jakarta. Ia
disebut PT pertama penyumbang sejuta buku untuk lembaga pendidikan pasca banjir
sekota Jakarta.
Keberhasilnya untuk mengungkapkan jati dirinya pada timing yang tepat ini tentu
tidak terlepas dari keberpihakannya pada kebutuhan lembaga pendidikan, yakni
untuk mencerdaskan bangsa. Sebab bangsa yang cerdas adalah bangsa yang
mencintai pendidikan.
Kisah PT Sinar
Mas adalah kisah yang nyata. Anjuran saya, bukalah mata dan hati karena masih
banyak anak negeri ini sangat membutuhkan uluran tangan kita. Alangkah
indahnya, apabila kita belajar dari PT Sinar Mas. Siapa yang mau mengikutinya?
[1]Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik Lokal dan Pemerintahan
Daerah. Ketika menulis artikel ini tinggal di Jl. Kawi VI N0.30 RT007/RW003
Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.
“PERANG SPANDUK” MENYONGSONG PEMILIHAN WALI KOTA PAREPARE 2008
Martinus
Jimung,S.Fil.M.Si[1]
Pemilihan langsung wali kota Parepare 2008 tidak lama lagi. Hal itu
ditandai dengan maraknya perang spanduk sebagai bukti ‘kampanye tidak
langsung’ yang kian ramai menghiasi kota Parepare dan
sekitarnya. Salah satunya, para balon wali kota dan wakil wali kota dalam proposisi atau pernyataan tertulis
pada berbagai perang spanduk menyatakan komitmennya untuk ikut bertarung dalam
pemilihan langsung wali kota
Parepare 2008.
Realitas tersebut dapat kita baca dengan
mata telanjang pada berbagai poster atau spanduk yang terpasang di tempat-tempat
strategis kota
Parepare dan sekitarnya. Seperti di perempatan jalan umum, lampu merah,
pertokoan, pasar serta di depan rumah tim suksesi dan para pendukung setianya. Tujuannya,
agar dapat dibaca oleh kalangan masyarakat luas.
Menjamurnya perang spanduk para balon wali
kota itu
menunjukkan kepada masyarakat pemilih bahwa pemilihan wali kota Parepare 2008 kian mendekat. Selain itu,
pemilihan wali kota Parepare 2008 akan semakin ‘seru’ karena menampilkan balon
putra daerah yang berkualitas serta syarat pengalaman dalam dunia pemerintahan
dan politik praktis.
Pertanyaannya, kini bukan lagi mengapa perang
spanduk menjadi media kampanye tidak langsung bagi para balon, tetapi apa makna
perang spanduk bagi para balon? Tulisan
ini coba menjawab pertanyaan tersebut.
Makna Perang Spanduk
Ada empat kemungkinan jawaban. Pertama, makna politis, yakni: suatu strategi ‘politik kepentingan’ diri para balon dalam menarik simpati dan empati masyarakat untuk menjatuhkan
pilihannya. Karena itu, para balon mengemas bahasa perang spanduknya dalam berbagai
bentuk. Antara lain dalam bentuk persuasif, misalnya: ‘Maju untuk mengabdi
kepada masyarakat’, ‘Saatnya kaum muda berbicara’, ‘Bangkit untuk perubahan’
dan ‘Mari bersama-sama membangun kota Parepare menjadi kota yang bersih dari
perilaku korupsi guna mewujudkan masyarakat sejahtera dan berkeadilan’. Tetapi, ada juga dalam bentuk evoria kedaerahannya yang sangat
kental, seperti:
‘Kota Parepare
tempatku dilahirkan dan dibesarkan, perkenankan aku mengabdi secara jujur, adil
dan amanah’. Selain itu, ada pula dalam bentuk
kritikan tajam yang menilai pola kepemimpinan terdahulu tidak berbuat banyak,
seperti: ‘Sudah
saatnya kita mendukung figur yang bisa berbuat dan siap mengabdi’.
Kedua, makna ekonomi. Secara ekonomi maraknya perang spanduk setidaknya
menunjukkan kemampuan ekonomi para balon bahwa mereka memiliki modal yang
besar. Sebab sadar atau tidak pilkada langsung saat ini merupakan ‘judi terbesar’ karena membutuhkan kost yang sangat besar pula. Rupanya hanya orang
yang berduit yang berani maju dalam pilkada. Mengapa tidak. Karena secara
ekonomi kita bisa memprediksi, bila spanduk atau poster yang ukuran 1 x 2 meter
dijual dengan harga Rp100.000, dan kalau 1000 spanduk berarti membutuhkan dana
Rp 100 juta. Spanduk saja sudah sangat besar kostnya, apa lagi kalau
ditambahkan dengan atribut-atribut lain seperti transport, bendera, pamflet,
foto, kartu, baju, tim suksesi, dan sebagainya. Pada tahap ini, mungkin benar
keluhan masyarakat bahwa hanya orang bermodal yang bisa maju dalam pilkada
langsung bisa dipahami dalam konteks ini. Tetapi, perlu diakui bahwa
menjamurnya perang spanduk menjadi penghasilan tambahan bagi kas daerah dan para
pelukis. Karena setiap pemasangan spanduk atau poster perlu mendapat izin dari
pemerintah daerah, teristimewa dari pemerintah bagian tata kota serta dikenai pajak. Selain itu, para
pelukis kebanjiran orde lukisannya sehingga penghasilannya meningkat.
Ketiga, makna psikologi. Ditinjau dari aspek psikologi, perang spanduk
merupakan tanda ‘kegelisahan
dan ketidak percayaan diri’ (kurang
pede) dari para balon terhadap masyarakat pemilih. Para balon meragukan diri dan kemampuannya, apakah mereka
layak mendapatkan dukungan atau tidak dari masyarakat. Karena itu dia menciptakan
berbagai sensasi dengan satu misi terselubung agar dia dikenal dan diterima
oleh masyarakat luas.
Keempat, makna sosio kemasyarakatan. Secara sosio kemasyarakatan, perang
spanduk mengandung makna untuk memperkenalkan diri para balon kepada masyarakat
luas bahwa siapa dia sesungguhnya. Selain itu, para balon mau mensosialisasikan
visi-misi perjuangannya serta pola kepemimpinannya lima tahun ke depan sehingga pada akhirnya dapat
membangkitkan opini masyarakat tentang para balon dan menjatuhkan pilihannya
yang tepat.
Berpijak pada empat makna di atas, dapat
disimpulkan bahwa perang spanduk dalam menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008
mengandung dua arah, yakni: bagi masyarakat pemilih dan para balon sendiri. Pertama, bagi masyarakat pemilih, perang spanduk merupakan tahap perkenalan
diri para balon dalam mensosialisasikan visi-misi perjuangannya. Selain itu, sebagai
catatan kritis bagi para pemilih untuk menilai apakah sang balon sungguh-sungguh
memperjuangkan kepentingan masyarakat atau tidak. Kedua, bagi para balon sendiri, perang spanduk adalah suatu strategi
politik kepentingan untuk menarik hati para pemilih. Bagi masyarakat yang tidak
kritis dan mudah terbuai (terpengaruh, red) oleh berbagai proposisi para balon
akan menimbulkan simpati dan empati untuk menentukan arah pilihannya.
Sebaliknya bagi masyarakat yang cerdas, mereka tidak membutuhkan
proposisi-proposisi, melainkan pembuktian.
Tujuan Perang Spanduk
Satu pertanyaan,
apa tujuan perang spanduk menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008? Karena ada kepentingan
politik yang mau diperjuangkan. Kepentingan politik yang bukan menjadi rahasia
umum lagi, yakni: mendapatkan jabatan dan pengabdian kepada masyarakat.
Kepentingan politik itulah yang membuat
para balon berjuang sekuat tenaga mempengaruhi para pemilih untuk menjatuhkan pilihannya.
Karena politik adalah ‘seni’ mempengaruhi orang lain. Maka instrument pertama
dalam politik bukanlah vox (suara), melainkan argumentasi. Argumentasi itu
bertujuan untuk mempengaruhi dan meyakinkn orang lain dalam menentukan sikap
atau pilihannya demi mencapai kesejahteraan bersama.
Salah satu bentuk mempengaruhi orang lain
dalam kampanye tidak langsung menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008 adalah perang spanduk. Maraknya
pemasangan spanduk di berbagai tempat strategis belakangan ini mengubah opini
masyarakat untuk menentukan figur yang paling pas yang dapat mengendalikan roda
pemerintahan kota
Parepare lima
tahun ke depan.
Akan tetapi, perang spanduk juga membuka
ruang publik untuk mengkaji ulang setiap proposisi para balon dalam perang
spanduk itu. Karena tidak selalu merupakan cermin realitas. Pernyataan-pernyataan
atau proposisi-proposisi dalam perang spanduk mengandung satu tujuan politik
tertentu, yang kadang-kadang masih jauh dari kebenaran.
Socrates dalam logika berpikir kritis
menjelaskan apa itu kebenaran (Ibi est verum)?
Kebenaran adalah keseimbangan antara teori dan kenyataan, atau antara
pernyataan dan tindakan konket dalam kehidupan nyata. Berarti setiap proposisi
tidak sekedar bahasa politik untuk mempengaruhi masyarakat, tetapi menuntut
diekspresikan dalam hidup kongkrit. Karena masyarakat pemilih semakin cerdas
dan kritis membaca efek politik dan kultural dari setiap pernyataan politik.
Implikasi bagi Pemilihan Wali Kota Parepare
Perang spanduk dapat
menjadi sebuah sarana kampanye tidak langsung dan publisitas diri para balon
memiliki implikasi yang sangat besar terhadap pemilihan wali kota Parepare 2008. Karena perang spanduk
menyongsong pemilihan wali kota
Parepare dapat memberikan implikasi ganda.
Di satu pihak, melalui perang spanduk, masyarakat kota Parepare mengungkapkan rasa simpati dan
empati terhadap para balon. Di pihak lain, perang spanduk dapat menjadi media
penilaian kritis masyarakat terhadap para balon tentang kegigihan perjuangannya
untuk kepentingan masyarakat pada umumnya atau kelompok dan partai politiknya.
Meski perang
spanduk menyongsong pemilihan wali kota
Parepare 2008 syarat kepentingan politik, tetapi masyarakat diharapkan tetap
positive thinking. Sebagai peserta pemilih, kita semestinya mendukung sang
balon untuk maju. Tetapi di pihak lain tidak menghilangkan penilaian kritis kita
terhadap balon, mana yang benar-benar berjuang untuk kepentingan masyarakat,
dan mana yang tidak. Pemilihan secara
langsung wali kota
Parepare 2008 adalah batu ujian bagi reformasi dan demokratisasi di daerah
Parepare, apakah masyarakat memilih balon karena sesuai pilihan nuraninya atau
karena kepentingan politik tertentu. Mengapa tidak.*
Langganan:
Postingan (Atom)