Minggu, 21 Juni 2015

WAKIL RAKYAT

Martinus  Jimung[1]


Ketika Wakil Rakyat (DPR) mendadak mengusulkan menonaktifkan Menteri lebih awal yang diduga bersalah’,  sontak beragam tanggapan dari kalangan masyarakat. Seperti Wakil Rakyat melangkahi hak prerogatif Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para Menterinya. Wakil Rakyat terlalu jauh mencampuri wilayah kekuasaan Presiden. Usulan Wakil Rakyat menonaktifkan Menteri lebih awal yang diduga bersalah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang dilindungi UU. Ada juga yang mengatakan bahwa Wakil Rakyat terlalu over acting dengan mencari sensasi murahan untuk merebut hati masyarakat demi mendongkrak popularitasnya yang kian turun drastis. Karena itu, kita patut mencurigai usulan Wakil Rakyat itu. Apakah murni memperjuangkan kepentingan bangsa? Ataukah mencari kepentingan politik diri, kelompok dan partai politinya? Setiap orang bebas menginterpretasikannya selagi kita masih hidup dialam demokrasi.
Tetapi saya sepakat, kalau usulan Wakil Rakyat itu kita letakan pada koridor hukum adalah sangat tepat, dan bahkan mendesak. Mengapa? Kalau pejabat publik yang diduga bersalah tidak dinonaktifkan lebih awal agak sulit bagi pihak penyidik untuk melakukan penyelidikan terhadap pejabat tersebut. Karena dia masih terikat dengan jabatannya dan harus mendapat izin tertulis dari Presiden sebagai pimpinannya untuk diselidiki atau tidak. Selain itu, kalau pejabat publik yang diduga bersalah akan diselidiki bisa terganggu tugas-tugas kenegaraannya. Ringkasnya, tujuan penonaktifan lebih awal terhadap pejabat publik yang diduga bersalah adalah untuk mempermudah proses penyelidikan.
Pada tahap ini, posisi Wakil Rakyat semakin bersahabat di mata masyarakat. Peluang bagi Wakil Rakyat untuk memperbaiki citranya semakin besar. Kenapa? Karena Wakil Rakyat lagi negative thinking di hati masyarakat. Ketika rakyat Indonesia lapar, tariff BBM dan listrik naik, malah gaji Wakil Rakyat dinaikan. Ketika berbagai bencana melanda wilayah Indonesia, Wakil Rakyat diam, dan bahkan mereka sibuk mempersoalkan PP 37 tahun 2006. Malahan mereka melakukan demo secara besar-besaran di kota Jakarta menuntut Pemerintah untuk merevisi PP 37 tahun 2006. Repotnya, identitas DPR sebagai Wakil Rakyat sudah melekat pada diri mereka. Karena itu, setuju atau tidak hal tersebut sudah diatur dalam UU Pemilu.
Sementara itu, masyarakat terus memplesetkan Wakil Rakyat pilihannya sendiri dengan kata-kata yang sangat keras. Seperti apa yang dilontarkan oleh Dewan Redaksi Metro TV dalam beda editorial pada tanggal 24 Maret 2007 dengan topik: “Solusi Mencari Wakil Rakyat”  memplesetkan DPR  dengan singkatan: ‘Dewan Pemeras Rakyat, Dewan Penindas Rakyat dan Dewan Penipu Rakyat’. Plesetan ini sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi masyarakat Indonesia.
Menurut saya, sejak reformasi bergulir sampai dikeluarkannya UU pemilihan langsung Anggota Dewan oleh masyarakat, Wakil Rakyat (DPR) mengalami tiga fase. Pada fase pertama, saya menyebutnya dengan konsolidasi. Pada fase ini kegiatan Wakil Rakyat lebih terfokus pada pembenahan ke dalam, baik kinerjanya maupun struktur kelembagaannya. Entah itu berkaitan langsung dengan fraksi-fraksi maupun komisi-komisi yang telah dibentuk. Tetapi, pada masa konsolidasi ini aroma konflik internal sangat terasa karena egoisme diri dari masing-masing pribadi, fraksi, komisi dan partai politik masih sangat kental. Sehingga tidak mengherankan kalau kita mencium aroma tidak sedap dari Wakil Rakyat yang terhormat. Seperti adu otot antar Wakil Rakyat di gedung senayan Jakarta, perebutan jabatan ketua fraksi dan komisi-komisi, loby bagi-bagi jabatan, dan sebagainya. Selain itu, saya agak pesimis dengan perubahan yang dihembuskan oleh Wakil Rakyat pada masa konsolidasi ini. Karena tidak banyak perkembangan berarti yang muncul dari Wakil Rakyat.
Pada suatu diskusi ilmiah di Hotel Kristal Kupang-Timor, NTT pada tahun 2005 tentang Peran Wakil Rakyat di Lembaga Legislatif, saya pernah meminta pendapat secara langsung kepada peserta tentang apa yang mereka ketahui dari Wakil Rakyat dan kerjanya selama ini. Ada dua jawaban yang menarik. Pertama,  Wakil Rakyat itu ibarat ‘seorang yang memanjat pohon’ dia membutuhkan orang lain untuk membantunya supaya ia sampai di atas puncak. Tetapi setelah ia berada di atas puncak, ia tidak memperhatikan lagi siapa yang menolongnya. Artinya, Wakil Rakyat sebelum terpilih menjadi Anggota Dewan (entah daerah maupun pusat), dia meminta dukungan dari masyarakat untuk memilihnya. Tetapi setelah dia terpilih menjadi Anggota Legislatif, dia lupa akan rakyat yang memilihnya. Sedangkan kerja Wakil Rakyat lebih banyak memikirkan dirinya, yakni bagaimana dia bisa mengembalikan dana yang ia pergunakan pada saat pemilu dahulu. Apa lagi kalau dana itu hasil anggunan atau pinjaman dari bank, pengusaha dan sebagainya. Konsekuensinya, memikirkan kepentingan rakyat terbagi kalau tidak mau dikatakan lupa sama sekali.
Di sini terlihat bahwa orang yang mengemukan pendapatnya tersebut sebenarnya tidak suka dengan kinerja Wakil Rakyat selama ini. Jawaban seperti itu terutama bisa terucap dari kalangan masyarakat yang kritis dan cerdas mengikuti berbagai kinerja Wakil Rakyat selama ini. Di satu sisi, dia punya persepsi bahwa Wakil Rakyat sudah jauh dari visi dan misi utamanya. Tetapi di satu sisi, dia sebenarnya takut mencalonkan diri menjadi Wakil Rakyat karena kerja Wakil Rakyat berat, yakni memikirkan kepentingan rakyat dan Negara Republik Indonesia.  Hal menarik kedua yang muncul dari diskusi tersebut bahwa Wakil Rakyat merupakan ‘utusan partai politik’ dan bukan utusan rakyat. Hal ini sesuai perintah UU Pemilu, di mana pada saat pemilihan Anggota Dewan masyarakat memilih partai politiknya dan bukan orangnya. Juga masyarakat bukan menusuk gambar orangnya, melainkan tanda gambar partai politiknya. Konsekuensi logisnya, Wakil Rakyat lebih taat pada perintah partai politiknya ketimbang amanat rakyat. Sedangkan ketentuan siapa yang dapat menjadi Anggota Dewan bukan berdasarkan suara terbanyak, melainkan menurut nomor urutnya. Akibatnya, Wakil Rakyat yang duduk dikursi Lembaga Legislatif bukan berdasarkan orang yang dikenal rakyat dan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, melainkan menurut nomor urut yang mungkin tidak dipilih dan juga tidak dikenal oleh masyarakat. Karena itu, usulan Pemerintah agar UU Sistim Pemilu harus segera dirubah bahwa rakyat harus menusuk orangnya dan bukan tanda gambar partai politik serta yang berhak duduk dikursi Lembaga Legislatif berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan langsung dan bukan berdasarkan nomor urutnya adalah usulan yang tepat dan segera diundang-undangkan.  
Fase kedua adalah pemantapan. Pada fase ini Wakil Rakyat mengklaim diri sebagai representasi suara rakyat. Karena itu, kehadirannya sangat perlu dalam suatu lembaga pemerintahan, yakni sebagai pengimbang pemerintah dengan mengemban tiga fungsi utamanya, yakni legislasi (pembuatan UU), fungsi anggaran dan pengawasan. Pada fase ini, kalau Wakil Rakyat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai Wakil Rakyat, apa yang terjadi dengan Negara kita. Boleh jadi rakyat semakin dekat di hati Wakil Rakyat. Kemiskinan bisa dieliminasi dan produk UU yang dihasilkan lebih banyak menyentuh kepentingan rakyat. Tetapi justru ketika harapan masyarakat terarah kepada Wakil Rakyat, mereka diuji perannya, apakah dia sebagai representasi rakyat atau kepentingan diri, kelompok dan partainya.
Akhirnya, fase ketiga adalah pengembangan. Fase ini ditandai dengan kerja nyata yang dihasilkan oleh Wakil Rakyat untuk masyarakat. Seperti mengamademenkan UUD 1945 sampai empat kali sehingga terjadi perubahan sistem politik ketatanegaraan kita berkaitan dengan Pemilu dan pilkada langsung. Juga usulan menonaktifkan pejabat negara lebih awal yang diduga bersalah untuk mempermudah proses penyidikan, dan sebagainya. Fase ini sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Indonesia tentang berbagai gebrakan baru yang dilakukan oleh Wakil Rakyat bagi kepentingan nasional dan daerah.
Kelihatannya, rakyat Indonesia lagi jauh melihat harapan dari Wakil Rakyat ini. Bahkan ada yang mengusulkan supaya Wakil Rakyat (DPR) dibubarkan saja karena kurang berpengaruh bagi kepentingan rakyat. Sementara itu, masih banyak orang yang berjuang sekuat tenaga, pikiran, kehendak dan bahkan harta benda untuk dapat dipilih menjadi Wakil Rakyat. Pertanyaannya adalah, untuk apa dan siapa mereka berlomba-lomba menjadi Wakil Rakyat? Apakah mereka mencari kekayaan, kekuasaan dan kehormatan demi kepentingan diri, kelompok dan partainya? Atau untuk kepentingan umum, dan bagaimana tolok ukurnya? Juga apa pekerjaan Wakil Rakyat setelah terpilih menjadi Anggota Dewan, baik daerah maupun pusat?
Secara hukum tata Negara, Wakil Rakyat itu perlu supaya berjalannya proses demokrasi. Tetapi, secara praksis jelas tidak perlu. Karena tidak banyak yang kita harapkan dari Wakil Rakyat. Misalnya, dari dulu sampai sekarang banyak Wakil Rakyat berbicara sebagai ‘pembela rakyat’, tetapi belum banyak perubahan signifikan berkaitan dengan kepentingan rakyat. Malahan yang terjadi, gaji Wakil Rakyat semakin bertambah yang tidak seimbang dengan efektifitas kerja nyatanya. Selain itu, mobil berganti-ganti, rumah bertingkat dan tersedianya berbagai fasilitas oleh Negara.
Barangkali sudah saatnya, Wakil Rakyat melakukan introspeksi diri serta bertobat untuk melihat kinerja dan mentalitasnya selama ini. Apakah Wakil Rakyat benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai dengan namanya Wakil Rakyat? Atau mereka menyembunyikan diri dibalik nama Wakil Rakyat untuk menggolkan kepentingan diri, kelompok dan partainya? Kalau hal itu yang terjadi, lebih baik label Wakil Rakyat yang melekat pada jabatanya segera dicabut. Dengan demikian, segala plesetan Wakil Rakyat sebagai ‘Dewan Penindasan dan Pemeras Rakyat’ tidak terulang lagi. Sebaliknya, sekali Wakil Rakyat tetaplah memperjuangkan kepentingan rakyat. Mungkinkah hal itu terjadi*






[1]Penulis adalah Pemerhati masalah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah. Ketika menulis artikel ini tinggal di Jl. Kawi VI No. 30 RT 007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

SERTIFIKASI GURU: PROFESIONALISME ATAU FORMALITAS?

Martin Jimung,M.Si[1]


            Belum lama ini, media massa lokal maupun nasional melangsirkan berita tentang para guru yang lagi sibuk mempersiapkan diri mengikuti ujian sertifkasi sebagai salah satu prasyarat kelayakan untuk mengajar. Bagi para guru yang telah lulus sertifikasi boleh bertawa ria karena segudang mimpi indah memperbaiki nasib untuk mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan profesinya akan mengalir sehingga cita-cita memperoleh penghidupan yang lebih layak segera terealisasikan.
            Sementara bagi para guru yang belum berhasil dan akan mengikuti ujian sertifikasi perlu berjuang sekuat tenaga, baik secara halal maupun haram. Karena kriteria untuk lulus dan mendapatkan sertifikasi semakin ketat serta birokrasi yang semakin rumit. Seperti para guru yang telah lulus ujian tidak serta merta mendapatkan tunjangan sebagaimana disampaikan sebelum mendapatkan sertifikasi, melainkan perlu melengkapi berbagai portofolio dan sebagainya (Fajar Makassar,14/12/2007). Pada level ini kita boleh bertanya: Apakah sertifikasi guru itu suatu profesionalisme atau formalitas dari suatu proyek yang terselubung?
Formalitas
            Tuntutan agar para guru perlu memiliki sertifikasi tidak selamanya melahirkan tenaga pendidik yang siap pakai. Sebaliknya, justru memunculkan aneka persoalan baru yang irasional dan sangat krusial. Persoalan baru itu antara lain, pertama para guru bisa melupakan tugas pokoknya sebagai pendidik yang selalu hadir di kelas. Karena desakan untuk melengkapi berbagai kertas kerja portofolio membuatnya kurang hadir di kelas memberikan pelajaran kepada peserta didiknya. Ia sibuk menyiapkan diri dengan berbagai hal dan strategi untuk mengikuti ujian sertifikasi. Seperti mengikuti seminar-seminar, pelatihan, kursus-kursus dan kuliah dadakan. Konsekuensinya, konsentrasi mengajar dan menyiapkan materi pembelajaran bagi peserta didiknya semakin kurang. Di samping itu, status guru bergeser dari yang sering hadir di kelas menjadi lebih banyak berada di luar kelas untuk mengikuti berbagai kursus, seminar dan pelatihan demi mendapatkan sertikat tambahan. Akibatnya, pelajaran tertinggal dan peserta didik kehilangan haknya untuk mendapatkan pelajaran pada waktunya dari para pendidiknya.
            Kedua, saya membaca bahwa sertifikasi guru merupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk menafikan ijazah guru yang telah dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tinggi selama ini yang menamatkan mereka sebagai tenaga guru. Artinya, pemerintah secara tidak langsung tidak mengakui ijazah guru yang telah mereka peroleh dengan cara mewajibkan para guru untuk mendapatkan sertifikasi. Berkaitan dengan hal itu muncul pertanyaan retoris, sertifikasi guru suatu proyek atau ketidaksanggupan pemerintah mengakui keberadaan guru selama ini.  
Selain itu, sertifikasi guru memunculkan ijazah dan sertifikat-sertifikat dadakan. Karena tuntutan melengkapi portofolio bagi setiap peserta ujian sertifikasi melahirkan mental guru instan, asal jadi. Singkatnya, sertifikasi guru sadar atau tidak menciptakan penipuan atau pembohongan gaya baru dalam dunia pendidikan. Karena para guru menyiapkan diri mengikuti ujian sertifikasi hanya sebagai formolitas untuk mendapatkan sertifikasi dan bukan karena profesionalisme dalam bidangnya.
Profesionalisme
            S.Wojowasito (1985:160) dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris mengartikan profesionalisme adalah ‘orang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya’. Keahliannya itu dapat diukur melalui sikap, kata, perbuatan dan hasil karya nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, hasil karyanya dapat berguna bagi segenap komponen bangsa. Sikap hidupnya menjadi teladan bagi sesama dan buah pikirannya dicari oleh banyak orang. Ringkasnya, dia menjadi manusia kaya arti. Karena itu kehadirannya dicari oleh banyak orang. Itulah yang disebut dengan orang yang profesionalisme dalam bidangnya.
            Sertifikasi guru setidaknya merujuk kepada makna profesionalisme itu. Karena pengertian sertifikasi mengacu pada ‘surat keterangan kelayakan mengajar’. Maka guru yang professional dalam bidangnya dapat diukur dari kemampuan pengetahuannya dalam menyajikan materi pembelajaran yang nyata dalam (a) metode pembahasan dan pengolahan bahan yang jelas, padat dan mudah dipahami oleh peserta didik, (b) out put hasil didikannya mampu memahami dan mengevaluasi materi sehingga tidak banyak mengalami kesulitan dalam penerapannya, dan (c) hasil kajian ilmiah berkaitan dengan mata pelajarannya berupa buku, silabus, opini dan alat-alat peraga yang dapat dijadikan rujukan bagi peserta didik dan para guru lain.
            Menurut penulis, inilah yang dapat disebut dengan kriteria guru profesional, guru yang pantas mendapat sertifikasi. Karena itu, proses mendapatkan sertifikasi bagi para guru sesungguhnya tidak perlu mengeluarkan banyak dana. Juga tidak perlu mengikuti ujian tertulis dan birokrasi yang panjang. Cara yang sangat sederhana yakni, pihak-pihak atau lembaga yang diberi kewenangan untuk mengeksekusi para guru yang berhak mendapatkan sertifikasi langsung mengadakan inspeksi ke sekolah-sekolah. Tentu saja, inspeksi dadakan yang tidak perlu diinformasikan lebih dahulu agar keaslian terjamin sehingga pemilihan guru yang berhak mendapatkan sertifikasi tidak keliru.
            Tujuan kehadiran lembaga pemberi sertifikasi ke sekolah-sekolah untuk meminta secara langsung portofolio dari setiap guru, berdialog dengan para siswa tentang guru-gurunya berkaitan dengan proses dan metode pembelajaran yang diberikan. Selain itu, mereka menyaksikan secara langsung bagaimana para guru mengimplementasikan metode dan proses pembelajarannya, serta meminta silabus dan berbagai hasil kajian ilmiah dari para guru berkaitan dengan materi pelajarannya. Karena hanya dengan cara itu penipuan gaya baru untuk memperlicin perolehan sertifikasi dapat dieliminir dan pemberian sertifiksi kepada para guru benar-benar karena profesionalisme dalam bidangnya. Bukan hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan sertifikasi guru.
Kalau profesionalisme yang dibutuhkan dalam sertifikasi guru, maka sudah dipastikan bahwa dunia pendidikan Indonesia akan mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia dan nama guru tetap dikenang sepanjang masa. Singkatnya, program sertifikasi guru bisa diteruskan. Sebaliknya, kalau bukan guru  professional yang berhak mendapatkan sertifikasi, maka program mewajibkan para guru untuk mendapatkan sertifikasi perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Mengapa tidak.*          


[1]Martin Jimung adalah dosen Sosiologi AKPER Fatima Parepare Sulsel. 

BELAJAR DARI PT SINAR MAS



Martin Jimung[1]

Kita semua pasti tahu dan mengenal PT Sinar Mas. Itulah PT (Perseroan Terbatas) pengadaan kertas terbesar dan berkualitas di Indonesia. Mengapa bisa demikian? Soalnya, ia berkualitas tidak saja diakui di Indonesia, bahkan meluas sampai ke manca Negara. PT Sinar Mas memang unik dan dan istimewa. Keunikan dan keistimewaannya terletak pada kualitasnya yang tetap utuh sejak berdiri hingga saat ini.
PT Sinar Mas sudah puluhan tahun beroperasi, tetapi tetap bersinar dihati konsumen sesuai dengan namanya Sinar Mas atau cahaya emas. Karena dia memancarkan cahaya emas kepada konsumen melalui kualitas produksi yang dihasilkannya serta kegunaannya di lingkungan konsumen. Belakangan bahkan ia membuat kejutan special bagi para konsumen, teristimewa untuk anak-anak korban banjir ibu kota Jakarta dengan mengusung tema: Sejuta Buku Untuk Anak Korban Banjir Jakarta’ (Konfir kembali Siaran TV7 pada tanggal 8 Maret 2007).
Gebrakan PT Sinar Mas ini patut diangkat jempol. Betapa tidak! Karena di tengah PT dan Perusahaan mengejar keuntungan bisnisnya secara besar-besaran, ia masih memiliki nurani untuk berpihak pada penderitaan korban banjir Jakarta. Tentu saja, keberpihakan PT Sinar Mas ini mendapat sambutan beragam dari kalangan masyarakat, paling kurang anak-anak korban banjir Jakarta dan Gubernur DKI, Sutiyoso. Gubernur Sutiyoso misalnya, menyebut PT Simar Mas sebagai ‘PT contoh yang memperhatikan masalah pendidikan pasca banjir Jakarta’. PT Sinar Mas juga sebagai pembuka jalan bagi PT-PT atau Perusahaan-Perusahaan lain untuk menyalurkan bantuannya bagi masyarakat korban banjir Jakarta. Mengapa? Karena kalau orang ingat tema ‘sejuta buku untuk anak korban banjir Jakarta’, dia ingat PT Sinar Mas yang terasa dekat di hati konsumennya. Sutiyoso juga menambahkan, PT Sinar Mas akan berakhir kalau lembaga pendidikan, perkantoran, percetakan, tempat foto copy dan sebagainya tidak menggunakan kertas lagi.
Dulu dan sekarang, PT Sinar Mas mengklaim diri sebagai PT milik masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena semua lembaga pendidikan, perkantoran, percetakan, tempat foto copy dan sebagainya, dia pasti membutuhkan kertas. Dengan demikian, PT Sinar Mas ingin mengatakan bahwa dia terus bersinar di tengah konsumen seindah sinar namanya.
PT Sinar Mas tidak saja terkenal di Indonesia, melainkan sudah menembus pasar global. Bahkan kualitas kertas produksi PT Sinar Mas diakui di luar negeri. Kekuatan PT Sinar Mas terletak pada mutuhnya dan kepercayaan (trust) dari pihak konsumen. Hal tersebut diperhatikan serta terpelihara betul oleh PT Sinar Mas. Sebab kualitas produksi dan kepercayaan dari konsumen adalah modal utama bagi semua PT dan Perusahaan untuk terus berkembang dan memperbanyak produksinya. Sebaliknya, akan ditinggalkan oleh para konsumennya.
Kalau kesadaran konsumen menggunakan kertas akan dan terus meningkat, bisa dipastikan bahwa produk PT Sinar Mas tidak akan menurun. Karena itu, ada nilai plusnya ketika PT Sinar Mas melakukan kampanye Sejuta Buku Untuk Anak Korban Banjir Jakarta’, seperti yang disiarkan oleh TV 7 pada tanggal 8 Maret 2007 lalu akan memperkuat persepsi dibenak konsumen bahwa PT Sinar Mas tidak saja mengejar keuntungan bisnis melulu, tetapi juga melakukan misi kemanusiaan dalam tindakan nyata, yakin dengan membagi-bagikan buku secara gratis kepada anak korban banjir Jakarta.
Harapan saya, PT Sinar Mas tidak cukup hanya membantu anak-anak korban banjir Jakarta, melainkan juga bisa mengembangkan sayapnya untuk anak-anak korban bencana di daerah-daerah terpencil. Karena mereka mungkin lebih membutuhkannya. Dengan demikian, daya pikat para konsumen terus meningkat. Naiknya konsumen akan kegunaan kertas sebenarnya yang melatarbelakangi tindakan PT Sinar Mas melakukan kampanye ‘sejuta buku untuk anak korban banjir Jakarta’.
PT Sinar Mas sebagai Perusahaan publik tentu saja akan tetap menjaga popularitasnya. Prestasinya semakin naik ketika berani muncul di tengah pasca bencana banjir kota Jakarta. Ia disebut PT pertama penyumbang sejuta buku untuk lembaga pendidikan pasca banjir sekota Jakarta. Keberhasilnya untuk mengungkapkan jati dirinya pada timing yang tepat ini tentu tidak terlepas dari keberpihakannya pada kebutuhan lembaga pendidikan, yakni untuk mencerdaskan bangsa. Sebab bangsa yang cerdas adalah bangsa yang mencintai pendidikan.
Kisah PT Sinar Mas adalah kisah yang nyata. Anjuran saya, bukalah mata dan hati karena masih banyak anak negeri ini sangat membutuhkan uluran tangan kita. Alangkah indahnya, apabila kita belajar dari PT Sinar Mas. Siapa yang mau mengikutinya?


[1]Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah. Ketika menulis artikel ini tinggal di Jl. Kawi VI N0.30 RT007/RW003 Wonotingal-Candisari-Semarang, Jawa Tengah.

“PERANG SPANDUK” MENYONGSONG PEMILIHAN WALI KOTA PAREPARE 2008



Martinus Jimung,S.Fil.M.Si[1]

Pemilihan langsung wali kota Parepare 2008 tidak lama lagi. Hal itu ditandai dengan maraknya perang spanduk sebagai bukti ‘kampanye tidak langsung’ yang kian ramai menghiasi kota Parepare dan sekitarnya. Salah satunya, para balon wali kota dan wakil wali kota dalam proposisi atau pernyataan tertulis pada berbagai perang spanduk menyatakan komitmennya untuk ikut bertarung dalam pemilihan langsung wali kota Parepare 2008.
Realitas tersebut dapat kita baca dengan mata telanjang pada berbagai poster atau spanduk yang terpasang di tempat-tempat strategis kota Parepare dan sekitarnya. Seperti di perempatan jalan umum, lampu merah, pertokoan, pasar serta di depan rumah tim suksesi dan para pendukung setianya. Tujuannya, agar dapat dibaca oleh kalangan masyarakat luas.
Menjamurnya perang spanduk para balon wali kota itu menunjukkan kepada masyarakat pemilih bahwa pemilihan wali kota Parepare 2008 kian mendekat. Selain itu, pemilihan wali kota Parepare 2008 akan semakin ‘seru’ karena menampilkan balon putra daerah yang berkualitas serta syarat pengalaman dalam dunia pemerintahan dan politik praktis.
Pertanyaannya, kini bukan lagi mengapa perang spanduk menjadi media kampanye tidak langsung bagi para balon, tetapi apa makna perang spanduk bagi para balon?  Tulisan ini coba menjawab pertanyaan tersebut.

Makna Perang Spanduk
            Ada empat kemungkinan jawaban. Pertama, makna politis, yakni: suatu strategi ‘politik kepentingan’ diri para balon dalam menarik simpati dan empati masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya. Karena itu, para balon mengemas bahasa perang spanduknya dalam berbagai bentuk. Antara lain dalam bentuk persuasif, misalnya: ‘Maju untuk mengabdi kepada masyarakat’, ‘Saatnya kaum muda berbicara’, ‘Bangkit untuk perubahan’ dan ‘Mari bersama-sama membangun kota Parepare menjadi kota yang bersih dari perilaku korupsi guna mewujudkan masyarakat sejahtera dan berkeadilan’. Tetapi, ada juga dalam bentuk evoria kedaerahannya yang sangat kental, seperti: ‘Kota Parepare tempatku dilahirkan dan dibesarkan, perkenankan aku mengabdi secara jujur, adil dan amanah’. Selain itu, ada pula dalam bentuk kritikan tajam yang menilai pola kepemimpinan terdahulu tidak berbuat banyak, seperti: ‘Sudah saatnya kita mendukung figur yang bisa berbuat dan siap mengabdi’.
            Kedua, makna ekonomi. Secara ekonomi maraknya perang spanduk setidaknya menunjukkan kemampuan ekonomi para balon bahwa mereka memiliki modal yang besar. Sebab sadar atau tidak pilkada langsung saat ini merupakan ‘judi terbesar’ karena membutuhkan kost yang sangat besar pula. Rupanya hanya orang yang berduit yang berani maju dalam pilkada. Mengapa tidak. Karena secara ekonomi kita bisa memprediksi, bila spanduk atau poster yang ukuran 1 x 2 meter dijual dengan harga Rp100.000, dan kalau 1000 spanduk berarti membutuhkan dana Rp 100 juta. Spanduk saja sudah sangat besar kostnya, apa lagi kalau ditambahkan dengan atribut-atribut lain seperti transport, bendera, pamflet, foto, kartu, baju, tim suksesi, dan sebagainya. Pada tahap ini, mungkin benar keluhan masyarakat bahwa hanya orang bermodal yang bisa maju dalam pilkada langsung bisa dipahami dalam konteks ini. Tetapi, perlu diakui bahwa menjamurnya perang spanduk menjadi penghasilan tambahan bagi kas daerah dan para pelukis. Karena setiap pemasangan spanduk atau poster perlu mendapat izin dari pemerintah daerah, teristimewa dari pemerintah bagian tata kota serta dikenai pajak. Selain itu, para pelukis kebanjiran orde lukisannya sehingga penghasilannya meningkat.
            Ketiga, makna psikologi. Ditinjau dari aspek psikologi, perang spanduk merupakan tanda ‘kegelisahan dan ketidak percayaan diri’ (kurang pede) dari para balon terhadap masyarakat pemilih. Para balon meragukan diri dan kemampuannya, apakah mereka layak mendapatkan dukungan atau tidak dari masyarakat. Karena itu dia menciptakan berbagai sensasi dengan satu misi terselubung agar dia dikenal dan diterima oleh masyarakat luas.
Keempat, makna sosio kemasyarakatan. Secara sosio kemasyarakatan, perang spanduk mengandung makna untuk memperkenalkan diri para balon kepada masyarakat luas bahwa siapa dia sesungguhnya. Selain itu, para balon mau mensosialisasikan visi-misi perjuangannya serta pola kepemimpinannya lima tahun ke depan sehingga pada akhirnya dapat membangkitkan opini masyarakat tentang para balon dan menjatuhkan pilihannya yang tepat. 
Berpijak pada empat makna di atas, dapat disimpulkan bahwa perang spanduk dalam menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008 mengandung dua arah, yakni: bagi masyarakat pemilih dan para balon sendiri. Pertama, bagi masyarakat pemilih, perang spanduk merupakan tahap perkenalan diri para balon dalam mensosialisasikan  visi-misi perjuangannya. Selain itu, sebagai catatan kritis bagi para pemilih untuk menilai apakah sang balon sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan masyarakat atau tidak. Kedua, bagi para balon sendiri, perang spanduk adalah suatu strategi politik kepentingan untuk menarik hati para pemilih. Bagi masyarakat yang tidak kritis dan mudah terbuai (terpengaruh, red) oleh berbagai proposisi para balon akan menimbulkan simpati dan empati untuk menentukan arah pilihannya. Sebaliknya bagi masyarakat yang cerdas, mereka tidak membutuhkan proposisi-proposisi, melainkan pembuktian.  

Tujuan Perang Spanduk
            Satu pertanyaan, apa tujuan perang spanduk menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008? Karena ada kepentingan politik yang mau diperjuangkan. Kepentingan politik yang bukan menjadi rahasia umum lagi, yakni: mendapatkan jabatan dan pengabdian kepada masyarakat.
Kepentingan politik itulah yang membuat para balon berjuang sekuat tenaga mempengaruhi para pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Karena politik adalah ‘seni’ mempengaruhi orang lain. Maka instrument pertama dalam politik bukanlah vox (suara), melainkan argumentasi. Argumentasi itu bertujuan untuk mempengaruhi dan meyakinkn orang lain dalam menentukan sikap atau pilihannya demi mencapai kesejahteraan bersama.
Salah satu bentuk mempengaruhi orang lain dalam kampanye tidak langsung menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008 adalah perang spanduk. Maraknya pemasangan spanduk di berbagai tempat strategis belakangan ini mengubah opini masyarakat untuk menentukan figur yang paling pas yang dapat mengendalikan roda pemerintahan kota Parepare lima tahun ke depan.
Akan tetapi, perang spanduk juga membuka ruang publik untuk mengkaji ulang setiap proposisi para balon dalam perang spanduk itu. Karena tidak selalu merupakan cermin realitas. Pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi dalam perang spanduk mengandung satu tujuan politik tertentu, yang kadang-kadang masih jauh dari kebenaran.
Socrates dalam logika berpikir kritis menjelaskan apa itu kebenaran (Ibi est verum)? Kebenaran adalah keseimbangan antara teori dan kenyataan, atau antara pernyataan dan tindakan konket dalam kehidupan nyata. Berarti setiap proposisi tidak sekedar bahasa politik untuk mempengaruhi masyarakat, tetapi menuntut diekspresikan dalam hidup kongkrit. Karena masyarakat pemilih semakin cerdas dan kritis membaca efek politik dan kultural dari setiap pernyataan politik.

Implikasi bagi Pemilihan Wali Kota Parepare
            Perang spanduk dapat menjadi sebuah sarana kampanye tidak langsung dan publisitas diri para balon memiliki implikasi yang sangat besar terhadap pemilihan wali kota Parepare 2008. Karena perang spanduk menyongsong pemilihan wali kota Parepare dapat memberikan implikasi ganda.  Di satu pihak, melalui perang spanduk, masyarakat kota Parepare mengungkapkan rasa simpati dan empati terhadap para balon. Di pihak lain, perang spanduk dapat menjadi media penilaian kritis masyarakat terhadap para balon tentang kegigihan perjuangannya untuk kepentingan masyarakat pada umumnya atau kelompok dan partai politiknya.
            Meski perang spanduk menyongsong pemilihan wali kota Parepare 2008 syarat kepentingan politik, tetapi masyarakat diharapkan tetap positive thinking. Sebagai peserta pemilih, kita semestinya mendukung sang balon untuk maju. Tetapi di pihak lain tidak menghilangkan penilaian kritis kita terhadap balon, mana yang benar-benar berjuang untuk kepentingan masyarakat, dan  mana yang tidak. Pemilihan secara langsung wali kota Parepare 2008 adalah batu ujian bagi reformasi dan demokratisasi di daerah Parepare, apakah masyarakat memilih balon karena sesuai pilihan nuraninya atau karena kepentingan politik tertentu. Mengapa tidak.*


[1]Martin Jimung, S.Fil.M.Si dosen Sosiologi dan Kewiraan AKPER Fatima Parepare.