Selasa, 26 April 2016

SUKU TANDA DALAM PUSARAN POLEMIK TANAH BAKAL BANDARA DI TANJUNG BENDERA

Martinus Jimung[1]

            Belakangan ini kita menyimak polemik tanah bakal Bandara di Tanjung Bendera intensitasnya semakin meningkat. Banyak suku yang selama ini tak kedengaran, kini bermunculan mengadakan ritual adat pa’u manu (memotong ayam secara adat) dan memasang bendera untuk memperlihatkan kepada publik bahwa merekalah salah satu pemiliknya. Pada titik ini, nurani bening penulis bertanya: Mengapa baru sekarang menyatakan haknya? Apakah karena perencanaan bakal bandara sehingga lokasi menjadi sangat strategis dan mempunyai nilai jual ekonomi yang menjanjikan masa depan yang cerah? Ataukah ada maksud lain yang belum berungkap yang dapat ditangkap secara kasat mata oleh nalar kritis penulis? Mungkin tujuan setiap suku baik, tetapi niat dan prosedurnya salah, maka tidak mengherankan bila polemik saling mengklaim semakin tak terkendalikan. Tetapi penulis merasa bersyukur bahwa dengan adanya polemik ini, Suku Tanda sebagai penguasa ulayat di tanah bakal bandara di Tanjung Bendera semakin menunjukkan identitas dan independensinya.
            Masalahnya ada sebelas suku (11) yang mempolemikan lokasi yang sama. Kombinasi kesebelas suku ini mungkin saja terjadi karena ada hubungan kekerabatan, perkawinan, widah dan tanah t’u (tinggal di tanah ulayat suku lain). Mungkin juga tidak ada hubungan sebab akibat sehingga setiap suku boleh menunjukkan identitasnya masing-masing, dan jika dipertemukan pada lokasi yang dipersoalkan akan menimbulkan gesekan fisik yang luar biasa. Tetapi yang pasti, diantara kesebelas suku itu kecuali Suku Tanda yang tidak menandatangani surat penyerahan tanah bakal bandara seluas 100 hektar di Tanjung Bendera karena ada alasan sosial dan budaya jika dipertemukan melalui proses dan prosedur adat yang benar.  
            Suku Tanda dalam menyikapi penyerahan tanah bakal bandara di Tanjung Bendera oleh ke sepuluh suku pada tanggal 23 April 2015 di kantor Camat Kota Komba telah melayangkan surat pernyataan ‘sikap dan keberatan’ kepada Bupati Manggarai Timur pada  tanggal 30 Mei 2015 lalu, tetapi sampai penulisan artikel ini belum ada tanggapan dari Pemerintah. Karena itu dapat dimengerti bila ada pernyataan dari salah seorang tokoh mudah suku Motu Poso, Irenius Lagung (Flores.co/2015/04/30) yang mengatakan bahwa ‘masih ada masyarakat yang belum menyetujui’ pernyerahan tanah bakal bandara di Tanjung Bendera. Pernyataan ini secara implisit merujuk pada masyarakat Suku Tanda karena memang realitasnya demikian.
Masyarakat Rongga dapat menangkap perlawanan Suku Tanda dalam polemik tanah bakal bandara di Tanjung bendera. Kehadiran Suku Tanda dalam pusaran polemik tanah bakal bendera di Tanjung bendera sangat signifikant. Suku Tanda melakukan pencegah terhadap beberapa suku yang mengadakan upacara ritual adat pau manu dan memasang bendera di lokasi bakal bandara. Suku Tanda melakukan hal itu karena mereka sebagai pemilik tanah ulayat dan hak ulayat pada tanah bakal bandara di Tanjung Bendera yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus tanah seisinya dalam batas-batas tertentu. Karena itu,  Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang berkepentingan harus jelih dalam menyikapi polemik ini. Tulisan sederhana ini menyoroti siapa itu Suku Tanda dan apa perannya dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera.
Siapa itu Suku Tanda?
Mungkin tidak banyak yang mengenalnya siapa itu Suku Tanda dan mengapa diberi nama Tanda. Penulis dalam konteks polemik ini memberikan sajian yang sangat eksploratif menguraikan tentang Suku Tanda. Para pembaca diajak untuk menggapai kedalaman peran Suku Tanda dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera yang selama ini masih terselubung.
Suku Tanda adalah salah satu suku yang tumbuh dan berkembang di wilayah hukum adat Rongga yang mendiami wilayah Rongga Kota. Wilayah Rongga Kota terbentang dari kaki gunung Komba sampai gunung Ndeki dan terhampar dari lembah Kisol sampai ke laut Sawu, utara dari gunung Mando Ndolu sampai Timur padang Mausui dan Barat Muku Lia. Disebut Rongga Kota karena terdapat Watu Kota (batu susun) dekat kaki gunung Ndeki di belakang kampung Sere. Selain itu, wilayah Rongga Kota sangat luas yang meliputi: Kampung Bamo, Luwu, Wolo Sambi, Waru, Mbero, Bonggikawa, Mabha Mausui, Tanjung Bendera, Lekoture, Watu Kodhi, Nanggarawa, Tire, Mbondei, Pupung, Sambi Tei, Wolo Roka, Mabha Ndata, Muting, Waerua, Pomarepu, Sere, Padang, Mbaru Jawa, Waekorok, Waekutung, Kambe, Kisol, Waepake, Watunggong, Nio Raja, Sambi, Lekeng, Ngamba Sapi, Bagha, Wolo Mboro, Waepoang dan Wokopau.
Masyarakat Rongga Kota masih sangat kental dengan dialek bahasa asli Rongga. Hanya sebagian wilayah seperti Kambe, Kisol, Waepake, Lekeng, Waepoang dan Wokopau mengalami pergeseran dialek Rongga karena pengaruh perkawinan  dengan masyarakat luar hukum adat Rongga. Suku Tanda merupakan salah satu suku yang hidup dan berkembang di wilayah hukum adat Rongga Kota yang muncul sejak masa Meka Jama Baji, kemudian diturunkan kepada anaknya Meka Mbali. Meka Mbali menurunkan ke Meka Alexander Ngoi anaknya dan Meka Alexander Ngoi menurunkan kepada anaknya bapak Yosep Mangi, lalu berkembang hingga sekarang. Suku Tanda berada di wilayah hukum adat Rongga Kota tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi/penguasa lain, melainkan warisan Meka Jama Baji berdasarkan ikatan batin yang kuat antara anggota keluarganya yang dikarenakan faktor geneologis (keturunan) dari satu generasi ke generasi berikutnya.  
Pemilihan dan pemberian nama Suku Tanda ‘mengandung makna simbolis’ tentang identitas keberadaan dan kapabilitas Suku Tanda sebagai tuan tanah (Mori tanah dalam bahasa Rongga) sebagai pemangku/pemilik tanah ulayat dan hak ulayat dalam mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu di wilayah hukum adat Suku Tanda khususnya dan wilayah hukum adat Rongga umumnya.  Karena itu, dapat dipahami bila Suku Tanda memiliki peran yang penting dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera.

Peran Suku Tanda Dalam Pusaran Polekmik Tanah Bakal Bandara
Sebagaimana telah diuraikan pada nama Suku Tanda, maka perannya dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera sangat jelas, yaitu sebagai pemangku ulayat yang memiliki kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu dalam wilayah hukum adat Suku Tanda khususnya dan wilayah hukum adat Rongga umumnya. Artinya, tanah bakal bandara di Tanjung Bendera berada dalam wilayah tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda.
Tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda sudah ada sejak masa meka Jama Baji. Ia mendapat tanah ulayat dan hak ulayat karena perkawinan dengan mbupu Bogho dari Suku Ndolu dengan batas-batasnya: Sebelah Timur Watu Wengga  dekat  kampung Lekolembo, bagian Barat Muku Lia, bagian utara gunung Mando berbatasan langsung dengan suku Ndolu dan Selatan Laut Sawu.
Sejarah mencatat bahwa penyerahan tanah ulayat dan hak ulayat dari Suku Ndolu kepada Suku Tanda sebagai widah (hadiah) kepada salah seorang putri Ndolu, yakni: mbupu Bogho yang menikah dengan meka Jama Baji dari Suku Tanda, dengan tujuan: Pertama, agar mbupu Bogho memiliki kekuasaan yang sama sebagai penguasa dan pengatur tanah ulayat dan hak ulayat di wilayah hukum adat Suku Tanda khususnya dan wilayah hukum adat Rongga pada umumnya. Kedua, supaya tali persaudara Suku Ndolu dengan Suku Tanda tidak putus, dan Ketiga, agar mbupu Bogho yang telah masuk Suku Tanda dan keturunannya memiliki kekuasaan yang sama dalam mengatur dan mengurus tanah seisinya dalam batas-batas tertentu di wilayah hukum adat Suku Tanda.
            Peran Suku Tanda sebagai pemilik dan penguasa ulayat dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera telah diakui oleh masyarakat Rongga dari dahulu sampai sekarang yang terwujud dalam berbagai pengakuan, antara lain adalah: (1) Setiap kali masyarakat Rongga mengadakan ritual adat pau manu dalam wilayah hukum adat Suku Tanda secara sadar atau tidak mereka mengakui kekuasaan dan kepemilikan tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda dengan mengatakan: ‘meu mori tanah tanda watumanu ko ata tanda, mai kha ko ate manu ndia’. Maknanya, kamu pemilik dan penguasa tanah ulayat  Tanda datang makan hati ayam pemberian kami ini. (2) Pada saat ritual upacara menanam dan memetik hasil panen baru. Pada masa meka Baji sampai Alexander Ngoi semua masyarakat Rongga yang berada dalam wilayah tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda tidak boleh menanam dan memanen hasil panen kebunnya bila Suku Tanda belum menanam dan mememanen hasil panennya. Kalau ada masyarakat yang melanggar akan mendapat denda adat. Biasanya, setelah suku Tanda menanam ada pire/pantang selama tiga hari dan baru hari keempat masyarakat lain boleh menanam. Demikian juga pada saat memetik hasil panen. Hal itu dilakukan oleh masyarakat Rongga sebagai bukti pengakuan mereka terhadap keberadaan dan peran Suku Tanda sebagai penguasa ulayat dalam mengurus dan mengatur tanah seisinya dalam batas-batas tertentu  dalam wilayah hukum adat Suku Tanda. (3) Ketika ritual mengusir hama tikus, belalang dan sebagainya yang menyerang tanaman pertanian masyarakat. Pemimpin upacara ritual adat pengusiran hama harus dari Suku Tanda sebagai pemilik tanah ulayat. (4) Ritual kebu di muara Nangarawa atau upacara penangkapan ikan dan biota air lainnya 5 tahunan di wae limbu/muara Nangarawa. Proses penangkapan akan dilakukan bila ahliwaris Suku Tanda berada di depan yang memimpin upacara dan didampingi oleh ahliwaris suku Lowa yang diberi wewenang oleh Suku Tanda sebagai penjaga wae limbu Nangarawa. (5) Batas tanah pire/pemali menanam padi ladang mulai dari wilayah pupung dekat rumah bapak Nikolaus Nggorong dari Suku Lowa sampai ke pantai laut Sawu. Kalau ada masyarakat yang melanggar akan ada tanda alam seperti musim kemarau yang panjang, kilat disiang hari dan lain sebagainya, maka Suku Tanda hadir di sana untuk mengadakan ucapara ritual adat pencabutan dan upacara pemulihan. Sekali lagi kehadiran Suku Tanda dalam ritual adat ini  menunjukkan kepada publik bahwa Suku Tanda sesungguhnya penguasa ulayat dalam wilayah tersebut. (6) uma wau dan mbo nggo Sambi Tei (kebun bersama dan rumah gendang Sambi Tei) yang dalam konteks Manggarai Tengah disebut Rumah Gendang dalam dan tanah lingko luar Suku Tanda sebagai simbol persatuan dan persekutuan Suku dalam mengurus dan mengatur tanah ulayat dan hak ulayatnya. (7) Peristiwa permintaan izin padang untuk ternak binatang peliharaan dalam wilayah tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda yang berada di bagian Selatan termasuk tanah bakal bandara di Tanjung Bendera dari dahulu sampai sekarang. Penulis sebut saja Bapak (almarhum) Yosep Pandong pada tahun 1950-an meminta kepada ahliwaris Suku Tanda untuk memelihara sapi dan ternak peliharaan lainnya di padang Lekoture dan bapak Antonius Gelang tahun 1970-an (permintaan resmi tahun 2002) datang ke rumah adat Suku Tanda meminta izin agar sapinya dipelihara di padang Watu Kodi, serta beberapa masyarakat Rongga lain yang penulis tidak sebutkan namanya karena ruang ini tidak mencukupinya.
            Berbagai penjelasan yang penulis uraikan ini semakin terang benderang tentang peran Suku Tanda dalam pusaran polemik tanah bakal bandara di Tanjung Bendera. Tinggal saja bagaimana Pemerintah Daerah, pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat Rongga menanggapinya. Karena salah merespon polemik semakin panjang konfliknya, dan salah melakukan pendekatan budaya yang bukan pada otoritasnya dengan mengangkangi proses dan prosedur adat sama seperti orang menangkap udang di dalam air keruh. Selain itu, jika diantara para pembaca ada yang meragukan tulisan ini, lebih terhormat mengkofirmasi langsung kepada ahliwaris Suku Tanda dan masyarakat Rongga yang berdomisili atau tu (tinggal) dalam wilayah tanah ulayat dan hak ulayat Suku Tanda. Karena di sana ada jawaban riil yang dapat menyatukan persepsi kita yang berbeda. Karena itu jangan ada dusta diantara kita. Mari kita tinggalkan polemik bakal tanah bandara di Tanjung Bendera karena bukan menjadi prioritas dan kebutuhan pembangunan bagi masyarakat Rongga saat ini. Sebaliknya, kita satukan hati, pikiran dan tindakan untuk membangun masyarakat Rongga yang lebih kreatif dan inovatif. Sebab masyarakat Rongga yang dahulu sampai sekarang Indonesia telah merdeka 71 tahun kurang merasakan keadilan dalam pembangunan di daerah.*


           





[1]Martinus Jimung, Penulis Buku Teori Pembangunan Politik di Indonesia dalam Praktek dan buku Politik Lokal dan Otonomi Daerah dalam Perspektif Otda.  Siap terbit buku Filosofi Woe Suku Tanda: Suatu Rekonstruksi Pemikiran Tanah Ulayat dan Hak Ulayat.