Martinus
Jimung
(Artikel ini telah dimuat pada Jurnal Ilmiah AKTUALITA, ISSN No.2085-3805 Vo.II,Edisi ke-6 Desember 2010 Kopertis Wil.IX Sulawesi)
ABSTRACT
To find out 'correlation' between the cleanliness of the
environment on the one hand, with public health on the other, then the
following three questions will try to put forward in this study. First,
how the existence of RW (Pillars Residents) Bulu Nippon affect health and how
the correlation between environmental public health when the environment is
less clear. Second,
how can we know the correlation is less clean environment with the presence of
various types of illnesses experienced by the community. Third,
how the various factors causing less clean environment, such as garbage in the
waste of any place, waste water congestion, unsanitary trench, human waste is
not neglected, the room is stuffy and the settlement house that is not neat,
and live less healthy behaviors affect relationships cleanliness environment
with public health. The following comparative
analysis can be used to explain the relationship.
Key
note: The Cleanliness of the Environment and Public
Health.
PENDAHULUAN
Tak
dapat dipungkiri bahwa antara kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat
merupakan salah satu barometer untuk menilai dan mengukur seberapa jauh
kemajuan suatu daerah. Di Indonesia, kebersihan lingkungan dan kesehatan
dijalankan secara simultan dengan titik
berat pada dimensi pembangunan kesehatan masyarakat. Padahal, bila kita mau
kaji lebih jauh lagi, sebenarnya kebersihan dan kesehatan, selain mempunyai
dimensi pembangunan, juga menjadi arena bagi setiap individu dan kelompok untuk
memperbaiki ‘mentalitas kurang mencintai’ kebersihan
lingkungan dan kesehatan.
Kebersihan
lingkungan dan kesehatan yang baik, setidaknya dapat tercermin lewat empat hal
berikut ini. Pertama,
faktor penyakit, jumlah total penduduk Indonesia yang kurang lebih 210 juta, ternyata
tiap hari dan bahkan detik tidak luput dari gangguan penyakit. Kedua,
faktor kesadaran, yakni: sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa, maka
kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan dan kesehatan
merupakan nilai fundamental yang mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Bangsa
yang maju, sehat dan beradab adalah bangsa yang mencintai kebersihan diri dan
lingkungan sekitarnya. Ketiga,
faktor sumber daya manusia, yakni: pengetahuan (kemampuan inteligensi,red) individu untuk memahami serta
memberikan solusi terhadap kebersihan lingkungan dan kesehatan sangat
menentukan arah perkembangan dan kemajuan kepribadiannya. Sebab Sumber Daya Manusia
(SDM) sebagai salah satu kunci untuk mengatasi berbagai persoalan masyarakat
dan bangsa. SDM yang berkualitas dapat menyelesaikan barbagai persoalan bangsa
serta dapat membantu dan mengarahkan masyarakat kearah yang lebih baik.
Sebaliknya SDM yang lemah dapat mendatangkan malapetaka besar. Seperti; ‘salah
mengatur, salah mengatasi dan pada gilirannya salah dalam bertindak’.
Keempat, faktor
ekonomi, yakni: bahwa ketercukupan ekonomi mendorong setiap individu atau
kelompok masyarakat untuk berperan serta dalam menjaga dan memelihara
kebersihan lingkungan dan kesehatan dirinya.
Bila
dikomparasikan dengan jenis-jenis pekerjaan disektor formal lainnya, maka
menjaga serta memelihara kebersihan lingkungan dan kesehatan diri merupakan
salah satu pekerjaan mendesak bila manusia ingin hidup sehat, segar, kuat dan
tahan lama. Dalam artian bahwa lingkungan bersih dan masyarakat sehat segala
pekerjaan dan rencana hidup dapat
terlaksana. Fakta telah membuktikan sekarang
ini bahwa hanya orang sehat dapat
melakukan berbagai aktivitas hidup yang berguna bagi dirinya, sesama dan
dunia.
Masyarakat RW Bulu Nippon Kelurahan
Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare dipilih sebagai daerah
penelitian ini karena memiliki keunikan dengan kebersihan lingkungan dan
kesehatan. Keunikan tersebut kemudian dijawab sendiri oleh sebagian masyarakat,
yang sebagian mengatakan wilayah RW Bulu Nippon ‘rentah’
dengan berbagai penyakit, dan sebagian lagi menyatakan bahwa keadaan wilayah RW
Bulu Nippon perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah
setempat. Anggapan atau dugaan tersebut pada umumnya didasarkan pada kondisi
riil di lapangan yang dinilai cenderung membenarkan kedua pernyataan tersebut.
Kondisi riil tersebut mendorong
dilakukannya penelitian ini untuk menemukan ‘Hubungan
antara faktor-faktor yang mempengaruhi kebersihan lingkungan dan kesehatan
masyarakat di RW Bulu Nippon Kota Parepare’.
TUJUAN
PENELITIAN
Dari
permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut: Pertama,
Penelitian ini berusaha menggambarkan profil kebersihan lingkungan dan
kesehatan masyarakat RW Bulu Nippon. Kedua,
Penelitian ini juga menjelaskan tentang hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi
kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat di RW Bulu Nippon.
SUBYEK DAN METODE
Subyek
penelitian ini merupakan survey terhadap 321 Kepala Keluarga (KK) dari empat RT
di wilayah RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota
Parepare. Dengan mengambil sampel seluruh Kepala Keluarga RW Bulu Nippon, maka
penelitian ini adalah penelitian sensus.
Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan wawancara
langsung pada saat responden mengisi kuesioner. Pengolahan data hasil
penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap editing,
koding, tabulasi dan tabulasi
silang yang dikerjakan dengan bantuan
menggunakan komputer program SPSS.
Sementara
itu, untuk mengukur seberapa jauh pengaruh kebersihan lingkungan terhadap
kesehatan, maka digunakan skala perbandingan. Dengan metode ini, dapat
diketahui skor kebersihan lingkungan dan gangguan penyakit yang dialami
masyarakat. Pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kesehatan masyarakat diukur
dengan menggunakan tabel bivariat yang membandingkan keduanya. Para responden
ditanya tentang jenis penyakit yang pernah dialami, sehingga dapat ditentukan
keadaan lingkungan dihadapinya. Dengan menggunakan tabel kondisi lingkungan
sekitarnya (Lingkungan dalam dan luar rumah), maka dapat diketahui pula
penyakit yang dialami oleh masyarakat serta faktor-faktor penyebabnya.
KERANGKA
TEORITIK
A.
Kebersihan Lingkungan
Masalah kebersihan lingkungan hidup
sudah lama dibicarakan di dunia ini. Dewasa ini semakin gencar dikumandangkan
oleh Pemerintah dan masyarakat luas karena menganggu kesehatan manusia.
Sehingga PBB[1]
dari United Nations Frame Convention on Climate Change (UNFCC)
merasa perlu menyelenggarakan sidang khusus tentang bahaya lingkungan hidup di
Bali-Indonesia pada tanggal 3-14 Desember 2007, dengan isu sentral perubahan
iklim pengaruh pemanasan global. Berarti, masalah lingkungan hidup itu diterima
sebagai masalah Nasional dan Internasional oleh Negara-negara di dunia termasuk
Indonesia.
Emil
Salim (1982)[2]
dalam Kata Pengantar buku Masalah Kesehatan Lingkungan Sebagai Sumber
Penyakit, menjelaskan bahwa Indonesia sejak tahun 1978 memasukkan masalah
lingkungan hidup dalam Repelita III sebagai bagian Integral dari Kebijakan Pembangunan
Nasional. Berarti Indonesia ingin membangun manusia dan mayarakatnya dengan
memperhatikan kebersihan lingkungan hidup. Walaupun demikian, penerapannya
dalam kenyataan memerlukan pengertian dan penghayatan segi-segi lingkungan
hidup oleh masyarakat.
Menurut
rumusan para ahli, lingkungan hidup adalah ‘semua benda, daya dan kehidupan,
termasuk di dalamnya manusia dengan segala tingkah lakunya, yang terdapat dalam
suatu ruang dan mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta
kelangsungan jasad-jasad hidup lainnya’[3].
Dalam lingkungan hidup itu berlangsung interaksi timbal-balik antara makhluk
hidup dengan faktor-faktor alam[4],
antara makhluk hidup dengan sesamanya, dan antara faktor-faktor alam dengan
sesamanya.
Interaksi
antara berbagai unsur lingkungan hidup itu, manusialah yang paling berpengaruh.
Manusia mampu berkembangbiak dan mengembangkan akal pikirannya, sehingga bumi
semakin padat dihuni manusia dan kebutuhannya semakin meningkat. Efeknya,
sumber alam semakin banyak dikuras. Seperti pengundulan hutan, erosi tanah,
pencemaran industri, sampah kotoran, saluran tersumbat dan lain-lain. Semua ini
dilihat sebagai masalah lingkungan hidup dalam wujud nyata, yang pada
gilirannya dapat mengancam kehidupan manusia. Kondisi tersebut dilukiskan
secara lugas oleh Muh. Aris Marfai
dalam bukunya Moralitas Lingkungan.
Dalam buku itu ia menulis:
‘Atas alasan pemenuhan
kebutuhan kehidupan manusia yang serba dinamis dan kompleks dalam modernitas
industrial dan paradigm deveplomentalisme, maka tindak kezaliman dan
kesemena-menaan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam menemukan
argument pembenarannya. Eksploitasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan
tidak dapat dielakkan lagi sebagai konsekuensi logis dari paradigma berpikir
industrialisme dan developmentalisme. Bumi dan lingkungan hidup beserta makhluk
lain selain manusia telah kehilangan eksistensi dan hak-haknya yang esensial
dalam kerangka ekologi dan ekosistemnya. Ketika manusia modern meletakkan
parameter pertumbuhan perekonomian dalam paradigma developmentalisme untuk
mengukur standar kualitas hidup dan kelayakan hidup, semenjak itu pula
sebetulnya lingkungan hidup dan kondisi sosial budaya masyarakat telah
dikorbankan dan mengalami degradasi yang sangat hebat. Pada sisi lingkungan hidup
dan sumber daya alam degradasi itu telah menghadirkan krisis lingkungan hidup
yang berkepanjangan dan penurunan kualitas hidup yang sangat tajam dari waktu
ke waktu’[5].
Erik
P. Eckholm[6],
seorang intelektual yang banyak menulis buku tentang lingkungan hidup, seperti Losing
Groud dan Enviromental
Stress and World Food
Prospects,
kini membahas lingkungan hidup sebagai sumber penyakit dalam buku berjudul The
Picture of Health, Enviromental Sources of Disease,
diterbitkan oleh Worldwatch Institute dengan bantuan United Environment Program
berkedudukan di Nairobi, dan dialihbahasakan oleh Mochtar
Pabotinggi
serta diterbitkan oleh Yayasan Obor,
Jakarta, 1982.
Bagi
Negara berkembang maupun Negara maju, lingkungan hidup dapat menjadi sumber
penyakit. Lingkungan yang menghasilkan pangan tak bergizi, air kotor, kotoran
manusia yang tak terurus, sampah di buang sembarang tempat, air limbah
tersumbat, parit tidak bersih, ruangan yang pengap (Ventilasi rumah tidak ada),
penataan rumah yang tidak rapi, kamar WC yang tidak terawat dan lain-lain
menjadi sebab lahirnya penyakit menular yang menelan korban jutaan manusia.
Lebih
jauh, Erik P. Eckholm
mengungkapkan bahwa berbagai penyakit di Negara berkembang dan Negara maju
muncul penyebab utamanya terletak dalam lingkungan kurang bersih. Lingkungan
hidup yang sehat tak perlu dirusak dan dicemarkan, sehingga berbagai penyakit
tak perlu tumbuh menular dan menelan korban jutaan manusia.
Pertanyaannya, mengapa lingkungan hidup
yang kurang bersih (kurang sehat,red)
menjadi sumber aneka penyakit? Sebab-sebab pokok terletak pada manusia dan sistem
sosial yang tidak adil. Masalah manusia berkaitan erat dengan minimnya SDM,
lemahnya kemampuan ekonomi rumah tangga, berkembangnya sikap kelakuan dan pola
hidup manusia (masyarakat) boros, semau gue, kurang memperhatikan kebersihan
lingkunagn di sekitarnya dan minimnya kesadaran diri tentang pentingnya
kesehatan. Karena defenisi kebersihan lingkungan adalah “suatu keadaan dimanaa
lingkungan tersebut adalah layak untuk ditinggali manusia dan keadaan kesehatan
manusia secara fisik dapat terjaga”[7].
Sementara sistem sosial yang tidak adil lebih merujuk pada pola pembangunan
yang tidak merata, skala prioritas investasi timpang serta kurang mengindahkan
lingkungan yang baik dan penggunaan teknologi secara sembrono. Maka kesehatan
akan melonjak di banyak negara berkembang. Apabila didahului pembaharuan sosial
yang menurunkan kekurangan gizi dan mengutamakan investasi menghasilkan air
bersih, lingkungan bersih, rumah yang yang memenuhi syarat kesehatan dan
fasilitas membersihkan sampah dan kotoran serta mentalitas masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai kesehatan.
Ringkasnya,
penanggulangi lingkungan hidup tidaklah berhenti dengan menanggapi bentuk
kerusakan lingkungan, tetapi harus merubah sebab pokok kerusakan lingkungan
hidup yang terletak pada ‘diri manusia’.
Sebab, perbaikan ‘perilaku’ manusia
jauh lebih ampuh dalam mengurangi beban penyakit dan tragedi
mati mudah daripada apa yang bisa
dilakukan oleh obat-obatan dan para dokter.
B.
Kesehatan Masyarakat
Pada
dasarnya, kesehatan masyarakat menunjuk kepada suatu kelompok di antara posisi
sosial-ekonomi yang berbeda. Kesehatan masyarakat merupakan suatu konsep yang
secara medis diartikan sebagai suatu keadaan yang menjamin adanya kesejahteraan
jasmani, rohani dan sosial yang utuh berada di luar kemampuan para ahli
statistik dan bahkan para pemikir yang gigih sekalipun[8].
Defenisi lain yang dikemukakan oleh Professor
Winslow dari Universitas Yale (Leavel and
Clark, 1958), kesehatan masyarakat (Public Health) adalah “Ilmu dan Seni
mencegah penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan
mental, dan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk
meningkatkan sanitasi (kebersihan) lingkungan, kontrol infeksi dan masyarakat”[9].
Karena itu, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan dan lingkungan di
sekitarnya serta pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosa
dini adalah penting untuk menciptakan yang sehat. Masyarakat yang sehat adalah
masyarakat yang mampu mencegah, menjaga serta memelihara kesehatannya.
Sementara dalam Ilmu Kesehatan,
studi mengenai kesehatan masyarakat adalah studi yang berkaitan erat dengan
studi mengenai stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Studi tersebut
biasanya ingin mengetahui seberapa besar kemungkinan yang dimiliki individu
atau kelompok untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungannya dalam struktur
sosial suatu masyarakat[10].
Studi mengenai kesehatan masyarakat,
sebagaimana halnya studi tentang pelapisan sosial lainnya, bertujuan untuk
melihat dan mengetahui serta mengukur sejauh mana tingkat harapan hidup (life
expectancy) dalam suatu masyarakat, baik secara jasmani, rohani maupun sosial
secara mendasar untuk meningkatkan dan menjaga kesehatannya dalam masyarakat.
Secara istilah, sistem kesehatan masyarakat yang mendasar didefinisikan sebagai
‘suatu keteraturan hidup perorangan maupun kelompok dalam merawati diri dan
lingkungannya sehingga terhindar dari berbagai permasalahan kesehatan dalam
masyarakat’. Karena mereka mempunyai standar kehidupan yang baik untuk menjaga
serta memelihara kesehatannya. Standar kehidupan yang baik untuk menjaga dan
memelihara kesehatan dapat diukur dari tiga aspek, yakni: Pertama,
pengetahuan (SDM) individu dan masyarakat akan pentingnya kesehatan dan
bahayanya bagi kehidupan manusia. Kedua,
lingkungan bersih yang memungkinkan individu atau masyarakat dapat hidup aman
dari berbagai gangguan penyakit. Ketiga,
Sikap dan prilaku masyarakat yang senantiasa memelihara dan menjaga kebersihan
lingkungan dan dirinya.
Azrul
Azwar[11]
berpendapat bahwa permasalahan kesehatan masyarakat muncul diakibatkan adanya
dua keadaan, yakni: Pertama,
faktor ketidaktahuan penduduk, dan kedua
faktor lingkungan yang ditinjau dari aspek kesehatan kurang menguntungkan.
Faktor ketidaktahuan penduduk lebih mengacu pada pengetahuannya akan pentingnya
kesehatan dan pengaruhnya apabila kesehatan kurang menguntungkan bagi kehidupan
manusia. Sedangkan faktor lingkungan kesehatan yang kurang menguntungkan, Azrul
Azwar menjelaskan disebabkan oleh tiga
faktor. Pertama,
air minum yang kurang sehat karena telah tercemar oleh limbah domestik,
industri, pertanian dan kotoran sampah masyarakat yang tidak terawat sehingga
menjadi sumber penyakit. Hasil penelitian tahun 1976 menunjukkan bahwa 6,1 %
penduduk pedesaan yang mempunyai air minum yang sehat. Sedangkan di kota 39 % mendapat air minum yang layak. Kedua,
barang sisa dan bekas. Ke dalam kelompok ini berkaitan dengan masalah
pembuangan tinja (human excreta), air limbah dan sampah yang semakin
membahayakan kesehatan manusia. Hal itu terjadi karena masih banyak masyarakat
di pedesaan yang tidak memiliki jamban atau WC keluarga. Berdasarkan hasil
penelitian tahun 1976 terhadap 19.000 desa yang mencakup 30 % dari penduduk
pedesaan, ternyata hanya 20,7 % penduduk saja yang mempunyai jamban keluarga.
Selain itu, minimnya fasilitas pembuangan air kotor, terbatasnya tenaga dan
dana yang tidak mencukupi serta mekanisme (sistem) pengelolahan sampah yang
tidak professional. Kebanyakan sampah di daerah pedesaaan dibuang di pekarangan
rumah, dibakar atau ditimbun yang dalam banyak hal karena tidak ditangani
secara sewajarnya sering menjadi sumber pencemaran air di sekitarnya. Demikian
juga pengelolaan sampah dan sisa-sisa industri di kota-kota besar, masalah
pembuangannya belum diatur secara baik sehingga menimbulkan pencemaran
lingkungan yang menimbulkan protes dari masyarakat setempat. Ketiga,
penataan perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan, baik di daerah
perkotaan maupun di daerah pedesaan. Hasil penelitian tentang kesehatan
lingkungan yang pernah dilakukan di Jawa Barat menyebutkan bahwa 59,2 % dari
rumah yang diteliti tidak memiliki sistem ventilasi yang baik, 88,5 % mempunyai
konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat, 80,1 % mempunyai lantai tanah serta 60 % dari rumah
tersebut dihuni bersama hewan peliharaan. Rumah yang sehat bukanlah berarti
rumah yang mahal dan lux, bukan pula yang dibangun dari bahan yang sederhana
tetapi kalau tidak memenuhi standar kesehatan sama saja. Rumah yang sehat
adalah: Pertama,
rumah yang dibangun dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar dari penghuninya.
Seperti terpelihara suhu lingkungan yang penting untuk mencegah kehilangan
panas atau bertambah badan secara berlebihan, terjaminnya penerangan, mempunyai
ventilasi yang sempurna sehingga pertukaran (aliran) udara segar dapat
terpelihara dan mampu melindungi penghuni dari gangguan bising yang berlebihan.
Kedua, rumah dibangun
dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan dasar dari para anggotanya. Seperti
terjaminnya privacy dari penghuninya, terjamin berlangsungnya relasi yang
serasi antara anggota keluarga yang tinggal di dalamnya serta tersedianya
berbagai hal yang menjamin dan membina kepuasan estetis, serta sesuai dengan
kehidupan masyarakat sekitarnya. Ketiga,
rumah yang dibangun dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan
penyakit atau zat-zat yang membahayakan kesehatan. Artinya, rumah yang di
dalamnya tersedia air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan sampah dan tinja
yang baik, terhindar dari penularan penyakit pernapasan atau ISPA, gangguan
pencernaan, infeksi serta terlindung dari kemungkinan pengotoran terhadap makanan
dan tidak menjadi tempat bersarang binatang melata atau penyebab penyakit
lainnya.
Sedangkan
upaya untuk mencegah kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang kurang
menguntungkan bagi kesehatan dengan jalan. Pertama,
perlu adanya regulasi daerah tentang kebersihan lingkungan dan kesehatan
masyarakat. Perangkat peraturan tersebut sangat penting untuk menjamin
kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut
dapat memberikan aturan main bersama, baik untuk Pemerintah maupun masyarakat
dalam kaitannya dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan. Untuk itu,
pelanggaran-pelanggaran dari siapa pun juga atas aturan yang telah ditetapkan
perlu ditindak tegas. Sebaliknya, ketaatan pada peraturan-peraturan yang ada
harus juga mendapatkan penghargaan. Kedua,
pembangunan mental spiritual dan pemberdayaan masyarakat sadar lingkungan dan
kesehatan diri perlu ditingkatkan sebagai bagian dari upaya reaktualisasi
(upaya mengembalikkan proses,red)
nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang peka dan arif terhadap lingkungan
sekitar. Sosialisasi dan transfer pengetahuan tentang lingkungan hidup,
pencemaran dan potensi bahaya penyakit merupakan hal penting untuk menumbuhkan
kembali kesadaran pada masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi
kesehatan itu sendiri. Hanya dengan cara itu, kemungkinan budaya bersih dan
sehat bisa terbangun.
C.
Pengaruh Kebersihan Lingkungan Terhadap Kesehatan
Menurut
Azrul Azwar[12], pengaruh
kebersihan lingkungan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan atas dua
jenis, yakni: Pertama,
akibat yang ditimbulkannya segera terjadi. Artinya, begitu faktor lingkungan
yang kurang bersih hadir dalam kehidupan manusia, maka akan timbullah penyakit.
Kedua, akibat yang
ditimbulkannya terjadi secara lambat laun. Artinya tidak hadirnya faktor
lingkungan yang kurang bersih (kurang menguntungkan, red) serta merta dengan munculnya penyakit. Sebaliknya, ia mengalami
proses yang berjalan agak lambat tetapi pasti, yakni dapat membahayakan
kesehatan manusia.
Sedangkan
peranan faktor lingkungan yang kurang bersih dalam menimbulkan penyakit dapat
dibedakan atas empat macam, yakni : Pertama,
sebagai predisposing, artinya berperanan dalam menunjang terjangkitnya suatu
penyakit pada manusia. Misalnya, sebuah keluarga tinggal di suatu rumah yang
pengap tanpa ventilasi dan air pari atau selokan yang tergenang di sekitar
rumahnya sehingga menyebarkan bau yang kurang sedap mudah terserang penyakit
ispa (Infeksi Saluran Pernapasan). Jelas disini keluarga tersebut yang
menyebabkan mereka mudah terserang penyakit infeksi saluran pernapasan. Kedua,
penyebab penyakit secara langsung. Misalnya, seorang anak minum air kotor dari
sumur galian yang telah tercemar kotoran limbah industri mudah terserang penyakit
diare atau disentri sebagai akibat zat kimia dari kotoran limbah industri
tersebut. Ketiga,
sebagai medium transmisi (pengantara pemindahan, red) penyakit. Misalnya, air yang merupakan medium transmisi
penyakit kolera. Keempat,
sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Telah lama
diketahui bahwa udara panas akan memperberat penderita yang sakit asma, parit
tergenang airnya mempermudah perkembangbiakan jentik nyamuk, rumah yang pengap
memperberat yang sakit infeksi saluran pernapasan.
TEMUAN LAPANGAN
Sebagai salah satu institusi
masyarakat yang tidak terlepas dari lingkungan dan kesehatan, masyarakat RW
Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare adalah
memahami pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kesehatan. Hanya saja dalam
praktek, masyarakat RW Bulu Nippon yang berjumlah 321 Kepala Keluarga (KK)
belum semuanya menjaga kebersihan lingkungan. Kenyataan menunjukkan bahwa masih
banyak masyarakat RW Bulu Nippon yang kurang memperhatikan kebersihan
lingkungan. Terbukti dari total jumlah 321 KK, ternyata 117 Kepala Keluarga atau
36,45% responden mengatur rumah tidak bersih dan tidak tertata rapi. Selain itu, didukung dengan kebiasaan masyarakat membuang sampah di sembarang tempat mencapai 19,17% dan
saluran pembuangan air tergenang (8,72%) serta tidak mempunyai WC keluarga
mencapai 12,46%. Berikut ini adalah
tabel penataan rumah (tabel 1), keadaan
lingkungan (tabel 2) dan kebiasaan membuang sampah (tabel 3) Kepala Keluarga di
RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare.
Tabel
1: Penataan Rumah KK di RW Bulu Nippon
RT
|
Penataan
Rumah KK di RW Bulu Nippon
|
Jumlah
|
||
Bersih
Tertata Rapi
|
Bersih
Tidak Tertata Rapi
|
Tidak
Bersih dan Tidak Tertata Rapi
|
||
I
|
20
|
16
|
38
|
74
|
II
|
15
|
15
|
46
|
76
|
III
|
45
|
61
|
27
|
133
|
IV
|
16
|
16
|
6
|
38
|
Jumlah
|
96
|
108
|
117
|
321
|
Persentase
|
30,20
%
|
33,54
%
|
36,45 %
|
100
%
|
Sumber : Hasil survey KK di RW Bulu Nippon
dan didukung oleh data statistik di
Puskesmas
Cempae Kelurahan Watang
Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare-Sulawesi
Selatan, 2009.
Tabel
2: Keadaan Lingkungan RW Bulu Nippon
RT
|
Keadaan Lingkungan RW Bulu Nippon
|
Jumlah
|
|
|||
Rumah tidak bersih dan tidak tertata
rapi
|
Tidak ada WC Keluarga
|
Pembuangan sampah di sembarang tempat
|
Air selokan tergenang
|
|||
I
|
38
|
38
|
19
|
6
|
101
|
|
II
|
46
|
15
|
22
|
6
|
91
|
|
III
|
27
|
40
|
10
|
16
|
130
|
|
IV
|
6
|
-
|
-
|
-
|
6
|
|
Jumlah
responden
|
117
|
93
|
51
|
28
|
328
|
|
Persentase
|
36,45%
|
12,46%
|
19,17%
|
8,72%
|
100%
|
Sumber : Hasil survey KK di RW Bulu Nippon
dan didukung oleh data statistik di
Puskesmas
Cempae Kelurahan Watang
Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare-Sulawesi
Selatan, 2009.
Tabel
3: Kebiasaan Membuang Sambah KK di RW Nippon
RT
|
Kebiasaan KK Membuang Sampah
|
Jumlah
|
|
Di Sembarang Tempat
|
Di Tempat Sampah
|
||
I
|
19
|
55
|
74
|
II
|
22
|
54
|
76
|
III
|
10
|
123
|
133
|
IV
|
-
|
38
|
38
|
Jumlah
|
51
|
213
|
321
|
Persentase
|
19,17%
|
92,2%
|
100%
|
Sumber: Hasil survei KK di RW Bulu Nippon
Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang,
Kota
Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.
Walaupun
kesadaran Kepala Keluarga di RW Bulu Nippon membuang sampah sudah cukup baik
sebagaimana terlihat pada tabel 3 di atas,
tetapi persentase ‘mentalitas’
masayarakat
yang membuang sampah di sembarang tempat masih sangat tinggi, yakni 19,17% dari
seluruh jumlah KK di RW Bulu Nippon. Kebiasaan membuang sampah di
sernbarang tempat ini dapat menyebabkan saluran pembuangan
air limbah tersumbat sehingga menyebabkan banyak penyakit, seperti penyakit
saluran pencernaan, penyakit saluran pernapasan dan gangguan sistem tubuh lainnya. Juga didukung lagi oleh
jenis WC yang dipakai masyarakat RW Bulu Nippon. Tabel 4 dan 5 berikut memperlihatkan kedua
hal tersebut.
Tabel
4: Saluran Pembuangan Air Limbah
RT
|
Saluran Pembuangan Air Limbah KK RW Bulu Nippon
|
Jumlah
|
||
Mengalir
|
Tergenang
|
Parit
|
||
I
|
50
|
6
|
18
|
74
|
II
|
68
|
6
|
2
|
76
|
III
|
96
|
16
|
21
|
133
|
IV
|
38
|
-
|
-
|
38
|
Jumlah
|
252
|
28
|
41
|
321
|
Persentase
|
78,51%
|
8,72%
|
12,77%
|
100%
|
Sumber: Hasil survei KK di RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota
Parepare – Sulawesi
Selatan, 2009.
Tabel 5: Jenis WC KK di RW Bulu Nippon
RT
|
Jenis WC
KK RW Bulu Nippon
|
Jumlah
|
||||
Leher Angsa
|
Cemplung Terbuka
|
Cemplung Tertutup
|
Model tradisional
|
Tidak Memiliki WC
|
||
I
|
29
|
4
|
2
|
1
|
38
|
74
|
II
|
47
|
13
|
1
|
-
|
15
|
76
|
III
|
86
|
5
|
2
|
-
|
40
|
133
|
IV
|
38
|
-
|
-
|
-
|
-
|
38
|
Jumlah
|
200
|
22
|
5
|
1
|
93
|
321
|
Persentasi
|
62,32%
|
7,78%
|
2,03%
|
0,35%
|
12,46%
|
100%
|
Sumber: Hasil survei di RW Bulu Nippon Kelurahan
Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota
Parepare
–Sulawesi Selatan, 2009.
Dari tabel 4 dan 5 di atas, bila
tidak diperhatikan secara serius dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit. Penyakit yang paling banyak dialami oleh masyarakat RW
Bulu Nippon adalah penyakit gangguan saluran pernafasan dan pencernaan. Keduanya masing-masing mencapai 50,88% dan 25,44%.
Sedangkan gangguan sistem tubuh yang lain mencapai 29,04%. Penyakit ini muncul
disebabkan oleh: Pertama, kebiasaan masyarakat membuang sampah di sembarang tempat
(19,17%). Kedua, tidak memiliki WC keluarga
(12,46%). Ketiga, ekonomi lemah (46,07%).
Keempat, pudarnya budaya mencintai kesehatan yang dapat diukur
dari kurangnya inisiatif masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan
serta kelima, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan
lingkungan dan keenam, kebiasaan merokok (56,85%). Secara terinci penyakit yang dialami oleh masyarakat Bulu
Nippon dapat dilihat dalam tabel 6 berikut.
Tabel 6: Penyakit yang dialami Masyarakat RW Bulu Nippon
RT
|
Penyakit
|
Jumlah KK
|
Penyebab
|
||
Saluran Pencernaan
|
Saluran Pernapasan
|
Gangguan Sistem Tubuh lain
|
|||
I
|
16
|
46
|
23
|
85
|
Ekonomi
|
II
|
17
|
34
|
29
|
80
|
Pendidikan
|
III
|
51
|
83
|
39
|
173
|
Budaya/Kebiasaan
|
IV
|
1
|
7
|
6
|
14
|
Sikap/Mentalitas
|
Jumlah Penderita
|
85
|
170
|
97
|
352
|
|
Persentase
|
25,44%
|
50,88%
|
29,04%
|
100%
|
|
Sumber : Hasil
survei di RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota
Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.
Sedangkan dari data tabel 1 dan 2 di atas,
terlihat bahwa masyarakat RW Bulu Nippon yang tidak bersih dan tidak tertata
rapi rumahnya adalah 117 KK atau 36,45%.
Responden ini kurang memperhatikan kebersihan dan keapikan lingkungan
rumah karena penyebanya bermacam-macam. Seperti masalah sumber daya manusia
(pendidikan), pekerjaan, ekonomi dan kesadaran akan pentingnya kesehatan diri
dan lingkungan, serta masalah budaya. Tetapi, penyebab yang paling menonjol
adalah masalah keterbatasan waktu karena pekerjaan dan ekonomi keluarga. Karena
46,07% penduduk RW Bulu Nippon berprofesi sebagai wirausaha dengan
penghasilannya yang tidak menentu, yakni di atas Rp 100.000/hari. Mereka
mengaku kekurangan waktu untuk mengatur rumah dan lingkungannya karena sejak jam
05.00 subu sudah berangkat ke pasar untuk mengais rejeki dan pulang jam 06.00
sore. Selain itu, mereka mempunyai keinginan untuk memperbaiki rumah dan
lingkungannya tetapi tidak memiliki modal. Tabel 7 berikut memperlihatkan tingkat
penghasilan KK masyarakat RW Bulu
Nippon.
Tabel 7: Tingkat Pendapatan KK RW Bulu
Nippon
RT
|
Tingkat
Pendapatan KK
|
Jumlah
|
|||||||
<
100.000
|
350.000-500.000
|
550.000-700.000
|
750.000-900.000
|
>1.000.000
|
|||||
I
|
8
|
10
|
10
|
8
|
38
|
74
|
|||
II
|
22
|
14
|
6
|
6
|
28
|
76
|
|||
III
|
25
|
32
|
26
|
15
|
35
|
133
|
|||
IV
|
-
|
2
|
3
|
-
|
33
|
38
|
|||
Jumlah
|
55
|
56
|
45
|
29
|
134
|
321
|
|||
Persentase
|
17,46
%
|
17,77
%
|
14,02
%
|
9,14
%
|
42,31
%
|
100
%
|
|||
Sumber : Hasil survey di RW Bulu Nippon dan
didukung oleh data statistik di Kantor Kelurahan
Watang Soreang Kecamatan
Soreang, Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.
Sedangkan
responden yang memperhatikan kebersihan rumah dan tertata rapi lingkungannya
adalah 96 KK atau 30,20%. Responden ini adalah KK yang memiliki ekonomi
keluarga yang baik, dan juga KK yang selalu berada di rumah sehingga ada waktu
untuk memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungannya.
Secara
umum, data kebersihan dan keapikan rumah KK RW Bulu Nippon Kelurahan Watang
Soreang di atas menunjukkan bahwa analisis faktor pengaruh hubungan
interdimensional antara ekonomi,
pendidikan,
pekerjaan, dan
mentalitas mencintai kebersihan
lingkungan terbukti di lapangan dimana faktor mentalitas
mencintai kebersihan merupakan bagian langsung dari ekonomi, pendidikan dan
pekerjaan, sehingga untuk melihat adanya penerapan sikap hidup sehat di
masyarakat haruslah dilihat dulu ada tidaknya pekerjaan dan modal hidup sehat dalam
keluarga. Di sinilah sebenarnya letak kebersihan lingkungan sebagai unsur vital
kesehatan masyarakat. Masyarakat yang mencintai ‘kebersihan dan
kesehatan’ tampaknya jarang terserang berbagai
penyakit.
Dari
sisi pendidikan, masyarakat RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan
Soreang Kota Parepare, ternyata rata-rata tingkat pendidikan mereka (responden)
mengelompok pada tingkat SD tamat 78 KK, SLTP 56 KK, SLTA 100 KK dan Perguruan
Tinggi 35 KK, dimana profesi pekerjaan untuk tingkat pendidikan ini adalah
petani 49 KK, nelayan 11 KK, Wiraswasta 150 KK, PNS 33 KK dan Buruh harian 47
KK. Secara umum jenis-jenis pekerjaan di atas adalah pekerjaan yang tidak
memerlukan pendidikan tinggi, cukup membutuhkan sumberdaya kecekatan dan kegesitan
dalam bertindak. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel tingkat pendidikan
dan pekerjaan berikut ini.
Tabel
8: Pembagian Responden Menurut Pendidikannya
No
|
Pendidikan
|
RT
|
Jumlah
Responden
|
Persentase
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
||||
1.
|
Tidak
sekolah
|
2
|
14
|
24
|
-
|
40
|
12,5%
|
2.
|
SD
Tamat
|
18
|
20
|
36
|
4
|
78
|
24,29%
|
3.
|
SLTP
Tamat
|
14
|
17
|
35
|
1
|
67
|
17,5%
|
4.
|
SLTA
Tamat
|
38
|
15
|
27
|
20
|
100
|
31,25%
|
5.
|
Akademi/PT
|
2
|
10
|
10
|
13
|
35
|
10,93%
|
6.
|
Pasca
sarjana
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Jumlah KK
|
74
|
76
|
133
|
38
|
321
|
100%
|
Sumber: Hasil survey di RW Bulu Nippon dan
didukung oleh data statistik di Kantor
Kelurahan
Watang Soreang Kecamatan
Soreang, Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.
Karena dalam pengumpulan data ini
diusahakan agar responden yang diperoleh mempunyai pengetahuan meskipun tidak
terlalu banyak pengetahuan mengenai kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat,
maka dipilih responden masyarakat di RW Bulu Nippon yang berjumlah 321 KK
dengan tingkat pendidikannya sangat bervariasi
sebagaimana tergambar pada tabel 8 di atas.
Di samping itu,
memang responden yang diinginkan terdiri dari semua KK di wilayah RW Bulu
Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare. Tetapi ternyata yang kemudian terjaring
sebagian besar KK RW Bulu Nippon adalah wiraswasta, yakni 46,07%. Peringkat
kedua diraih oleh petani mencapai 15,26% dan ketiga buruh harian yakni 14,64%.
Sementara yang tidak bekerja 9,65%. Sedangkan dari kalangan pegawai negeri
sipil (PNS) hanya 10,28%.
Rincian selengkapnya mengenai
pekerjaan responden, disajikan dalam tabel 9 di bawah ini.
Tabel
9: Pembagian
Responden menurut Pekerjaannya
No
|
Pekerjaan
|
RT
|
Jumlah Responden
|
Persentase
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||||
1.
|
PNS
|
5
|
11
|
9
|
8
|
33
|
10,28%
|
2.
|
Wiraswasta
|
28
|
52
|
50
|
20
|
150
|
46,07%
|
3.
|
Petani
|
28
|
-
|
20
|
1
|
49
|
15,26%
|
4.
|
Nelayan
|
6
|
1
|
4
|
-
|
11
|
3,42%
|
5.
|
Buruh
Harian
|
3
|
4
|
37
|
3
|
47
|
14,64%
|
6.
|
Tidak Bekerja
|
4
|
8
|
13
|
6
|
31
|
9,65%
|
Jumlah KK
|
74
|
76
|
133
|
38
|
321
|
100%
|
Sumber: Hasil survey di RW Bulu Nippon dan
didukung oleh data statistik di Kantor
Kelurahan
Watang Soreang Kecamatan
Soreang, Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.
Dengan demikian tingkat ‘pendidikan,
kemampuan ekonomi, pekerjaan dan mentalitas’
mencintai kebersihan dan kesehatan responden mendukung responden untuk
mendapatkan hidup sehat dan lingkungan bersih. Hal ini sedikitnya didukung oleh
temuan data di lapangan. Seperti diakui sendiri oleh seorang responden dengan
kode sampel 02 (HJ):
“Saya
adalah tamatan SD. Pekerjaaan saya menjual di pasar Lakessi. Bapak saya buta
huruf. Ibu saya juga butuh huruf. Untung saja Paman saya yang bekerja sebagai
PNS di salah satu instansi Pemerintah Kota Parepare membantu saya memberikan
modal sehingga saya bisa menjual seperti sekarang. Modal dari Paman itulah yang
membuat saya jam 05.00 subu sudah keluar dari rumah, maka kesempatan untuk
mengurus rumah hampir tidak ada waktu lagi. Anda bisa membayangkan sendiri
seandainya saya tidak diberi modal oleh Paman, apa yang terjadi. Dan anda juga
bisa melihat sendiri kondisi rumah dan lingkungan sekitar rumahku” (Wawancara, tanggal 14 September 2009).
Gambaran
dari pernyataan salah satu responden di atas, tampaknya membenarkan pendapat
yang mengatakan bahwa faktor pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan mentalitas
hidup kurang sehat merupakan instrument penting dalam memelihara dan menjaga
kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Sementara
itu, jika data ini lebih disederhanakan lagi dengan memperhatikan empat indikator
di atas, yakni sikap/mentalitas, ekonomi, pendidikan dan pekerjaan, sebagaimana
tertuang dalam tabel 3, 7, 8 dan 9, ternyata kesibukan pekerjaan responden
berpengaruh secara signifikan terhadap pemeliharaan dan pencapaian kebersihan
lingkungan yang sehat. Hal ini secara jelas dapat dilihat pada tabel 9.
Dari
tabel 9 di atas, ternyata rata-rata pekerjaan responden lebih banyak menengah
ke bawah, yakni: petani (49 KK), nelayan (11 KK), wirausaha (150 KK) dan buruh
harian (47 KK). Hanya 33 KK menengah atas. Hal ini karena responden tersebut
berprofesi sebagai PNS, yang pada kenyataannya memiliki penghasilan tetap
sehingga bisa membiayai atau mempekerjakan orang lain untuk merawat dan memperhatikan
kebersihan rumahnya. Bahkan ditemukan 31 responden KK atau 9,65% di RW Bulu
Nippon yang tidak mempunyai pekerjaan.
Data
semacam ini tentunya memberi petunjuk bahwa faktor pendidikan (pengetahuan),
pekerjaan, ekonomi dan mental hidup kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
memiliki hubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat.
Hal
lain yang tampak dari data tersebut adalah bahwa faktor ‘budaya/mental
hidup’ kurang memperhatikan kebersihan
lingkungan lebih tinggi tingkatannya ketika peneliti mengkomparasikan sikap responden
yang membuang sampah sembarang tempat sehingga saluran pembuangan air tersumbat,
air tergenang, kotoran tampak berserakan di sekitar rumah dan KK yang tidak
memiliki WC keluarga.
Walaupun
faktor ‘sikap’ hidup kurang sehat atau kurang memperhatikan kebersihan
lingkungan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan faktor tingkat pendidikan, pekerjaan dan ekonomi
keluarga, namun belumlah cukup sebuah kesimpulan bahwa pola hidup kurang sehat
menjadi faktor paling berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Hasil analisa mengatakan
bahwa terdapat korelasi yang signifikat antara faktor tingkat pendidikan,
pekerjaan, ekonomi dan sikap hidup kurang sehat.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan
sikap hidup kurang memperhatikan kebersihan lingkungan saling berpengaruh terhadap
pencapaian kesehatan masyarakat. 117 responden dari 321 KK menjawab bahwa faktor
tingkat pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sikap hidup kurang memperhatikan
kebersihan memiliki keterkaitan satu sama lain, mengemukakan alasannya bahwa
sehat tidaknya suatu lingkungan masyarakat atau bersih tidaknya suatu
lingkungan sangat tergantung pada masyarakat itu sendiri. Seperti, apakah masyarakat
itu memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebersihan dan kesehatan diri dan
lingkungannya? Apakah masyarakat mengerti hidup sehat dan mampu membedakan
secara benar dan tepat antara yang mengganggu kesehatan dan tidak? Apakah
masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk memperhatikan kebersihan lingkungana
dan dirinya? Apakah masyarakat memiliki modal ekonomi yang memadai untuk
mempercantik dan memperindah lingkungannya? Serta apakah masyarakat memiliki
pola hidup yang mencintai kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari
berbagai jenis penyakit?
Bertolak
dari hasil-hasil temuan, seperti dikemukakan di atas, peneliti dapat menyatakan bahwa faktor pendidikan,
pekerjaan, ekonomi, sikap dan prilaku hidup kurang sehat
berpengaruh dalam menentukan kebersihan lingkungan dalam suatu masyarakat,
tampaknya terbukti secara meyakinkan. Hasil penelitian memperlihat
kecenderungan bahwa ada sebagian besar KK di RW Bulu Nippon berasal dari latar belakang
pendidikan yang rendah dan tingkat ekonomi yang pas-pasan. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa responden dalam memelihara kebersihan lingkungan
sangat rendah sehingga rentah terhadap berbagai penyakit.
Oleh
karena itu, penelitian ini ingin mengungkapkan makna kebersihan lingkungan bagi
kesehatan masyarakat RW Bulu Nippon. Dengan deskripsi ini diharapkan akan dapat
diperoleh pemahaman tentang bagaimana masyarakat RW Bulu Nippon memelihara
kebersihan lingkungannya.
Makna
Kebersihan Lingkungan
Pada
dasarnya kebersihan lingkungan memiliki makna yang berbeda-beda bagi tiap-tiap
orang. Sebagian orang mengatakan bahwa kebersihan lingkungan tidak hanya
berfungsi sebagai sarana untuk menjamin keberlangsungan hidup sehat saja,
tetapi dapat memiliki makna lain yang sifatnya lebih psikologis, seperti
aktualisasi sikap dan prilaku hidup kurang sehat. Aktualisasi sikap dan prilaku
hidup kurang sehat adalah keinginan untuk merubah diri, dimana seseorang ingin
memperbaiki pola hidupnya yang kurang memperhatikan kebersihan dan
kesehatannya.
Dari
jawaban responden, terdapat 51 KK (19,17%)
responden menjawab aktualisasi sikap dan prilaku hidup kurang sehat merupakan
unsur utama yang sangat berpengaruh sebagai penyebab lingkungan kurang bersih. Aktualisasi
sikap dan prilaku hidup kurang sehat terlihat dari responden yang mengakui
bahwa ia membuang sampah di sembarang tempat. Sedangkan sebagian lain
mengatakan bahwa ingin menjaga kebersihan lingkungan tetapi terlalu sibuk
dengan pekerjaan sehingga kekurangan waktu untuk mengurus rumah dan ekonomi
keluarga yang pas-pasan, maka keinginan untuk menata rumah dan lingkungannya yang
memenuhi standar kesehatan mengalami banyak benturan.
Penilaian
tentang Kebersihan Lingkungan
Terhadap
kebersihan lingkungan, penilaian seseorang dapat berbeda-beda. Sebagian mereka,
ada yang menilai bahwa keadaan lingkungannya bersih. Akan tetapi, sebagian
lagi, ada yang menilai bahwa lingkungannya kurang bersih. Karena sampah
berserahkan di sembarang tempat, parit tersumbat, air tergenang dan masih ada
keluarga yang tidak memiliki WC sehingga banyak di antara mereka membuang kotoran
besar (BAB) dan kecil (BAK) di pesisir pantai. Efeknya, menyebarkan bau yang
kurang menyenangkan serta dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Penilaian
terhadap Kesehatan Masyarakat
Untuk
dapat mencapai kesehatan masyarakat RW Bulu Nippon yang ideal, para responden
ini diberi pertanyaan, penyakit-penyakit apa saja yang diderita oleh responden dan
faktor-faktor penyebabnya.
Dari
temuan di lapangan, ternyata faktor lingkungan kurang bersih adalah faktor yang
menyebabkan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan dan gangguan sistim
tubuh lainnya. Faktor lingkungan kurang bersih menjadi prioritas utama para
responden mengingat jumlah KK mencapai 170 atau 50,88% terinfeksi penyakit saluran
pernafasan, 85 atau 25,44% terinfeksi penyakit saluran pencernaan dan 97 atau 29,04%
gangguan sistim tubuh lainnya, yang kemudian diikuti oleh faktor ekonomi
sebagai prioritas kedua, yakni 17,46.% berpenghasilan kurang dari 100.000
perhari sehingga kalau mereka sakit memilih berobat ke dukun (2,28%) dan bahkan
ada juga yang tidak berobat (4,11% ) dari responden 321 KK. Kemudian faktor pendidikan
mencapai 12,5 %. Secara lebih jelas akan terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabael
10: Faktor bisa Mengganggu Kesehatan
Kategori Faktor
|
KK
|
Persentase (%)
|
Lingkungan Kurang
Bersih
|
117
|
36,46%
|
Pendidikan
|
78
|
24,29%
|
Ekonomi (Penghasilan
kurang dari 100.000/hari)
|
55
|
17,46%
|
Jumlah
|
250
|
100%
|
Terpilih
faktor lingkungan kurang bersih sebagai prioritas utama, diduga terkait dengan
tidak mutlaknya suatu latar belakang pendidikan (pengetahuan,red) tertentu bisa menyebabkan
masyarakat mengalami gangguan penyakit, sehingga pada akhirnya bukan pendidikan
itu sendiri yang berperan dalam suatu lingkungan tidak bersih, melainkan
prilaku hidup kurang sehat individu yang paling berperan dalam suatu kondisi
lingkungan tidak terawat dengan baik.
Di
samping faktor lingkungan kurang bersih dan pendidikan, tentunya tidak bisa
diabaikan faktor yang merupakan prioritas ketiga, yakni faktor ekonomi.
Munculnya faktor ekonomi diduga terkait dengan semakin banyak penyakit yang
menyerang manusia. Bila semakin banyak orang yang menderita penyakit, maka
faktor selanjutnya yang akan berperan dalam berobat adalah uang. Faktor
keuangan ini biasanya ditunjangi lagi oleh ekonomi keluarga yang memadai
sehingga bisa melincinkan jalan untuk berobat guna meraih kesehatan keluarga
yang baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan lingkungan RW Bulu
Nippon kurang bersih, baik dilihat dari aspek penataan wilayah maupun dipandang
dari segi kesehatan lingkungan. Demikian juga dilihat dari latar belakang ekonomi
keluarga, masyarakat RW Bulu Nippon dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka
rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah, tepatnya menengah-bawah
(55,72%) dan menengah-atas (44,28%). Sementara, ditinjau dari sisi pendidikan
responden KK RW Bulu Nippon ternyata berkisar dari yang tidak sekolah (buta
huruf) hingga tamat Akademi (Diploma III), dimana mayoritas KK responden
menamatkan pendidikan SMU (31,25%).
Sedangkan,
dilihat dari segi pekerjaan KK, mayoritas adalah membuka usaha kios kecil (modal
di bawah 3 juta), yakni mencapai 87%. Dari latar belakang sosial ekonomi yang
kurang menguntungkan inilah yang memungkinkan responden berusaha untuk mencari
nafkah dengan menjual seharian di pasar. Hampir seluruh responden mengaku bahwa
kekurangan waktu untuk mengurus rumahnya. Di sini nampak bahwa kebersihan rumah
dan lingkungannya kurang terawat dengan baik. Efeknya, lingkungan kurang bersih
dan masyarakat rentah diserang berbagai jenis penyakit.
Sementara
dari deskripsi tentang sikap dan prilaku hidup kurang sehat (membuang sampah di
sembarang tempat, air tergenang di sekitar rumah dan WC di alam terbuka)
terlihat bahwa responden merasakan banyak kerugiannya, seperti banyak KK yang
terinfeksi penyakit saluran pernafasan (50,88% ), penyakit saluran pencernaan
(25,44) dan penyakit sistem tubuh lainnya (29,04%). Dengan adanya kondisi
lingkungan yang kurang bersih, dapat memudahkan masyarakat terserang berbagai
jenis penyakit. Hampir seluruh responden mengaku bahwa mereka pernah mengalami
sakit, terutama terinfeksi penyakit saluran pernafasan dan saluran pencernaan.
Secara
keseluruhan terdapat kecenderungan korelasi yang signifikat antara faktor-faktor
yang mempengaruhi kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat, dimana lingkungan
yang kurang bersih berpotensi menyebarkan berbagai jenis penyakit pada
masyarakat. Kondisi ini setidaknya telah terbukti hasil penelitian di RW Bulu
Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare. Kondisi
lingkungan RW Bulu yang kurang bersih dapat dilihat dari sebagian besar KK RW
Bulu Nippon, yakni 117 KK dari 321 responden menempati posisi keadaan rumahnya
kurang bersih, ternyata rata-rata mereka berasal dari tingkat pendidikan
rendah, ekonomi lemah dan sibuk bekerja mencari nafkah di luar rumah.
Sementara, dilihat dari ‘sikap dan prilaku
hidup’ kurang memperhatikan kebersihan,
ternyata tidak selamanya mereka yang berasal dari tingkat pendidikan rendah dan
ekonomi kelas menengah ke bawah.*
DAFTAR PUSTAKA
Aris Marfai Muh, 2005. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan. Penerbit Wahana Hijau (Weha)
Bekerja sama dengan Kreasi wacana, Yogyakarta.
Azwar Azrul, 1983, Pengantar Ilmu
Lingkungan, Penerbit Mutiara, Jakarta.
P. Eckoholm Ezrul.
1993, Pengantar Ilmu
Kesehatan Lingkungan sebagai Sumber Penyakit
PT
Gramedia,
Jakarta.
Slamet Ryadi A.L, 1982, Kesehatan
Lingkungan Dalam Konteks Perkembangan Lingkungan Dewasa ini. Penerbit: Karya Anda, Surabaya.
Tamin Melvin M., 1967, Social
Stractification: The Form And Fungsions Of Inequality, Englewood Cliffs,N.Y: Prentice Hall Inc.
Winslow,
958, Public Health, Universitas (Cleavel and Clark),
http//Google, diakses 30 Februari 2009.
[1] Winslow,
1958, Public Health
(Ilmu Kesehatan Masyarakat), Universitas Yale (Cleavel and Clark),
http//Google, diakses 30 Februari 2009. Baca juga tentang Konferensi PBB di
Bali tentang Perubahan
Iklim yang
berlangsung dari tanggal 3-14 Desember 2007 dalam http//Google Kamis, 13
Desember 2007.
[2]Salim
Emil dalam Kata Pengantar buku Erik P. Eckholm yang diterjemahkan oleh Mochtar
Pabotinggi, Masalah
Kesehatan Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit,
Penerbit
PT Gramedia, Jakarta, 1982, P. vii.
[3]Ibid.
[6]Pabotinggi
Mochtar (Penterj.), 1982, Masalah Kesehatan Lingkungan
Sebagai Sumber Penyakit,
Penerbit PT Gramedia. Jakarta, P.vii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar