Rabu, 17 Juni 2015

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERSIHAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT DI WILAYAH RW BULU NIPPON KOTA PAREPARE


Martinus Jimung

(Artikel ini telah dimuat pada Jurnal Ilmiah AKTUALITA, ISSN No.2085-3805 Vo.II,Edisi ke-6 Desember 2010 Kopertis Wil.IX Sulawesi) 



ABSTRACT
To find out 'correlation' between the cleanliness of the environment on the one hand, with public health on the other, then the following three questions will try to put forward in this study. First, how the existence of RW (Pillars Residents) Bulu Nippon affect health and how the correlation between environmental public health when the environment is less clear. Second, how can we know the correlation is less clean environment with the presence of various types of illnesses experienced by the community. Third, how the various factors causing less clean environment, such as garbage in the waste of any place, waste water congestion, unsanitary trench, human waste is not neglected, the room is stuffy and the settlement house that is not neat, and live less healthy behaviors affect relationships cleanliness environment with public health. The following comparative analysis can be used to explain the relationship.
Key note: The Cleanliness of the Environment and Public Health.

PENDAHULUAN
Tak dapat dipungkiri bahwa antara kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat merupakan salah satu barometer untuk menilai dan mengukur seberapa jauh kemajuan suatu daerah. Di Indonesia, kebersihan lingkungan dan kesehatan dijalankan  secara simultan dengan titik berat pada dimensi pembangunan kesehatan masyarakat. Padahal, bila kita mau kaji lebih jauh lagi, sebenarnya kebersihan dan kesehatan, selain mempunyai dimensi pembangunan, juga menjadi arena bagi setiap individu dan kelompok untuk memperbaiki ‘mentalitas kurang mencintai’ kebersihan lingkungan dan kesehatan.
Kebersihan lingkungan dan kesehatan yang baik, setidaknya dapat tercermin lewat empat hal berikut ini. Pertama, faktor penyakit, jumlah total penduduk Indonesia yang kurang lebih 210 juta, ternyata tiap hari dan bahkan detik tidak luput dari gangguan penyakit. Kedua, faktor kesadaran, yakni: sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa, maka kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan dan kesehatan merupakan nilai fundamental yang mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Bangsa yang maju, sehat dan beradab adalah bangsa yang mencintai kebersihan diri dan lingkungan sekitarnya. Ketiga, faktor sumber daya manusia, yakni: pengetahuan (kemampuan inteligensi,red) individu untuk memahami serta memberikan solusi terhadap kebersihan lingkungan dan kesehatan sangat menentukan arah perkembangan dan kemajuan kepribadiannya. Sebab Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai salah satu kunci untuk mengatasi berbagai persoalan masyarakat dan bangsa. SDM yang berkualitas dapat menyelesaikan barbagai persoalan bangsa serta dapat membantu dan mengarahkan masyarakat kearah yang lebih baik. Sebaliknya SDM yang lemah dapat mendatangkan malapetaka besar. Seperti; ‘salah mengatur, salah mengatasi dan pada gilirannya salah dalam bertindak’. Keempat, faktor ekonomi, yakni: bahwa ketercukupan ekonomi mendorong setiap individu atau kelompok masyarakat untuk berperan serta dalam menjaga dan memelihara kebersihan lingkungan dan kesehatan dirinya.
Bila dikomparasikan dengan jenis-jenis pekerjaan disektor formal lainnya, maka menjaga serta memelihara kebersihan lingkungan dan kesehatan diri merupakan salah satu pekerjaan mendesak bila manusia ingin hidup sehat, segar, kuat dan tahan lama. Dalam artian bahwa lingkungan bersih dan masyarakat sehat segala pekerjaan  dan rencana hidup dapat terlaksana. Fakta telah membuktikan sekarang  ini bahwa hanya orang sehat dapat  melakukan berbagai aktivitas hidup yang berguna bagi dirinya, sesama dan dunia.
        Masyarakat RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare dipilih sebagai daerah penelitian ini karena memiliki keunikan dengan kebersihan lingkungan dan kesehatan. Keunikan tersebut kemudian dijawab sendiri oleh sebagian masyarakat, yang sebagian mengatakan wilayah RW Bulu Nippon ‘rentah’ dengan berbagai penyakit, dan sebagian lagi menyatakan bahwa keadaan wilayah RW Bulu Nippon perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah setempat. Anggapan atau dugaan tersebut pada umumnya didasarkan pada kondisi riil di lapangan yang dinilai cenderung membenarkan kedua pernyataan tersebut.
      Kondisi riil tersebut mendorong dilakukannya penelitian ini untuk  menemukan ‘Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat di RW Bulu Nippon Kota Parepare’.

TUJUAN PENELITIAN
Dari permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Penelitian ini berusaha menggambarkan profil kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat RW Bulu Nippon. Kedua, Penelitian ini juga menjelaskan tentang hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat di RW Bulu Nippon.

SUBYEK DAN METODE
Subyek penelitian ini merupakan survey terhadap 321 Kepala Keluarga (KK) dari empat RT di wilayah RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare. Dengan mengambil sampel seluruh Kepala Keluarga RW Bulu Nippon, maka penelitian ini adalah penelitian sensus. Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan wawancara langsung pada saat responden mengisi kuesioner. Pengolahan data hasil penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap editing, koding, tabulasi dan tabulasi silang yang dikerjakan dengan bantuan menggunakan komputer program SPSS.
Sementara itu, untuk mengukur seberapa jauh pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kesehatan, maka digunakan skala perbandingan. Dengan metode ini, dapat diketahui skor kebersihan lingkungan dan gangguan penyakit yang dialami masyarakat. Pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kesehatan masyarakat diukur dengan menggunakan tabel bivariat yang membandingkan keduanya. Para responden ditanya tentang jenis penyakit yang pernah dialami, sehingga dapat ditentukan keadaan lingkungan dihadapinya. Dengan menggunakan tabel kondisi lingkungan sekitarnya (Lingkungan dalam dan luar rumah), maka dapat diketahui pula penyakit yang dialami oleh masyarakat serta faktor-faktor penyebabnya.

KERANGKA TEORITIK
A. Kebersihan Lingkungan
Masalah kebersihan lingkungan hidup sudah lama dibicarakan di dunia ini. Dewasa ini semakin gencar dikumandangkan oleh Pemerintah dan masyarakat luas karena menganggu kesehatan manusia. Sehingga PBB[1] dari United Nations Frame Convention on Climate Change (UNFCC) merasa perlu menyelenggarakan sidang khusus tentang bahaya lingkungan hidup di Bali-Indonesia pada tanggal 3-14 Desember 2007, dengan isu sentral perubahan iklim pengaruh pemanasan global. Berarti, masalah lingkungan hidup itu diterima sebagai masalah Nasional dan Internasional oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Emil Salim (1982)[2] dalam Kata Pengantar buku Masalah Kesehatan Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit, menjelaskan bahwa Indonesia sejak tahun 1978 memasukkan masalah lingkungan hidup dalam Repelita III sebagai bagian Integral dari Kebijakan Pembangunan Nasional. Berarti Indonesia ingin membangun manusia dan mayarakatnya dengan memperhatikan kebersihan lingkungan hidup. Walaupun demikian, penerapannya dalam kenyataan memerlukan pengertian dan penghayatan segi-segi lingkungan hidup oleh masyarakat.
Menurut rumusan para ahli, lingkungan hidup adalah ‘semua benda, daya dan kehidupan, termasuk di dalamnya manusia dengan segala tingkah lakunya, yang terdapat dalam suatu ruang dan mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta kelangsungan jasad-jasad hidup lainnya’[3]. Dalam lingkungan hidup itu berlangsung interaksi timbal-balik antara makhluk hidup dengan faktor-faktor alam[4], antara makhluk hidup dengan sesamanya, dan antara faktor-faktor alam dengan sesamanya.
Interaksi antara berbagai unsur lingkungan hidup itu, manusialah yang paling berpengaruh. Manusia mampu berkembangbiak dan mengembangkan akal pikirannya, sehingga bumi semakin padat dihuni manusia dan kebutuhannya semakin meningkat. Efeknya, sumber alam semakin banyak dikuras. Seperti pengundulan hutan, erosi tanah, pencemaran industri, sampah kotoran, saluran tersumbat dan lain-lain. Semua ini dilihat sebagai masalah lingkungan hidup dalam wujud nyata, yang pada gilirannya dapat mengancam kehidupan manusia. Kondisi tersebut dilukiskan secara lugas oleh Muh. Aris Marfai dalam bukunya Moralitas Lingkungan. Dalam buku itu ia menulis:
‘Atas alasan pemenuhan kebutuhan kehidupan manusia yang serba dinamis dan kompleks dalam modernitas industrial dan paradigm deveplomentalisme, maka tindak kezaliman dan kesemena-menaan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam menemukan argument pembenarannya. Eksploitasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan tidak dapat dielakkan lagi sebagai konsekuensi logis dari paradigma berpikir industrialisme dan developmentalisme. Bumi dan lingkungan hidup beserta makhluk lain selain manusia telah kehilangan eksistensi dan hak-haknya yang esensial dalam kerangka ekologi dan ekosistemnya. Ketika manusia modern meletakkan parameter pertumbuhan perekonomian dalam paradigma developmentalisme untuk mengukur standar kualitas hidup dan kelayakan hidup, semenjak itu pula sebetulnya lingkungan hidup dan kondisi sosial budaya masyarakat telah dikorbankan dan mengalami degradasi yang sangat hebat. Pada sisi lingkungan hidup dan sumber daya alam degradasi itu telah menghadirkan krisis lingkungan hidup yang berkepanjangan dan penurunan kualitas hidup yang sangat tajam dari waktu ke waktu’[5].
Erik P. Eckholm[6], seorang intelektual yang banyak menulis buku tentang lingkungan hidup, seperti Losing Groud dan Enviromental Stress and World Food Prospects, kini membahas lingkungan hidup sebagai sumber penyakit dalam buku berjudul The Picture of Health, Enviromental Sources of Disease, diterbitkan oleh Worldwatch Institute dengan bantuan United Environment Program berkedudukan di Nairobi, dan dialihbahasakan oleh Mochtar Pabotinggi serta diterbitkan oleh Yayasan Obor, Jakarta, 1982.
Bagi Negara berkembang maupun Negara maju, lingkungan hidup dapat menjadi sumber penyakit. Lingkungan yang menghasilkan pangan tak bergizi, air kotor, kotoran manusia yang tak terurus, sampah di buang sembarang tempat, air limbah tersumbat, parit tidak bersih, ruangan yang pengap (Ventilasi rumah tidak ada), penataan rumah yang tidak rapi, kamar WC yang tidak terawat dan lain-lain menjadi sebab lahirnya penyakit menular yang menelan korban jutaan manusia.
Lebih jauh, Erik P. Eckholm mengungkapkan bahwa berbagai penyakit di Negara berkembang dan Negara maju muncul penyebab utamanya terletak dalam lingkungan kurang bersih. Lingkungan hidup yang sehat tak perlu dirusak dan dicemarkan, sehingga berbagai penyakit tak perlu tumbuh menular dan menelan korban jutaan manusia.
Pertanyaannya, mengapa lingkungan hidup yang kurang bersih (kurang sehat,red) menjadi sumber aneka penyakit? Sebab-sebab pokok terletak pada manusia dan sistem sosial yang tidak adil. Masalah manusia berkaitan erat dengan minimnya SDM, lemahnya kemampuan ekonomi rumah tangga, berkembangnya sikap kelakuan dan pola hidup manusia (masyarakat) boros, semau gue, kurang memperhatikan kebersihan lingkunagn di sekitarnya dan minimnya kesadaran diri tentang pentingnya kesehatan. Karena defenisi kebersihan lingkungan adalah “suatu keadaan dimanaa lingkungan tersebut adalah layak untuk ditinggali manusia dan keadaan kesehatan manusia secara fisik dapat terjaga”[7]. Sementara sistem sosial yang tidak adil lebih merujuk pada pola pembangunan yang tidak merata, skala prioritas investasi timpang serta kurang mengindahkan lingkungan yang baik dan penggunaan teknologi secara sembrono. Maka kesehatan akan melonjak di banyak negara berkembang. Apabila didahului pembaharuan sosial yang menurunkan kekurangan gizi dan mengutamakan investasi menghasilkan air bersih, lingkungan bersih, rumah yang yang memenuhi syarat kesehatan dan fasilitas membersihkan sampah dan kotoran serta mentalitas masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesehatan.
            Ringkasnya, penanggulangi lingkungan hidup tidaklah berhenti dengan menanggapi bentuk kerusakan lingkungan, tetapi harus merubah sebab pokok kerusakan lingkungan hidup yang terletak pada ‘diri manusia’. Sebab, perbaikan ‘perilaku’ manusia jauh lebih ampuh dalam mengurangi beban penyakit dan tragedi
mati mudah daripada apa yang bisa dilakukan oleh obat-obatan dan para dokter.

B. Kesehatan Masyarakat
Pada dasarnya, kesehatan masyarakat menunjuk kepada suatu kelompok di antara posisi sosial-ekonomi yang berbeda. Kesehatan masyarakat merupakan suatu konsep yang secara medis diartikan sebagai suatu keadaan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani, rohani dan sosial yang utuh berada di luar kemampuan para ahli statistik dan bahkan para pemikir yang gigih sekalipun[8].
            Defenisi lain yang dikemukakan oleh Professor Winslow dari Universitas Yale (Leavel and Clark, 1958), kesehatan masyarakat (Public Health) adalah “Ilmu dan Seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi (kebersihan) lingkungan, kontrol infeksi dan masyarakat”[9]. Karena itu, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan dan lingkungan di sekitarnya serta pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosa dini adalah penting untuk menciptakan yang sehat. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu mencegah, menjaga serta memelihara kesehatannya.
            Sementara dalam Ilmu Kesehatan, studi mengenai kesehatan masyarakat adalah studi yang berkaitan erat dengan studi mengenai stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Studi tersebut biasanya ingin mengetahui seberapa besar kemungkinan yang dimiliki individu atau kelompok untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungannya dalam struktur sosial suatu masyarakat[10].
            Studi mengenai kesehatan masyarakat, sebagaimana halnya studi tentang pelapisan sosial lainnya, bertujuan untuk melihat dan mengetahui serta mengukur sejauh mana tingkat harapan hidup (life expectancy) dalam suatu masyarakat, baik secara jasmani, rohani maupun sosial secara mendasar untuk meningkatkan dan menjaga kesehatannya dalam masyarakat. Secara istilah, sistem kesehatan masyarakat yang mendasar didefinisikan sebagai ‘suatu keteraturan hidup perorangan maupun kelompok dalam merawati diri dan lingkungannya sehingga terhindar dari berbagai permasalahan kesehatan dalam masyarakat’. Karena mereka mempunyai standar kehidupan yang baik untuk menjaga serta memelihara kesehatannya. Standar kehidupan yang baik untuk menjaga dan memelihara kesehatan dapat diukur dari tiga aspek, yakni: Pertama, pengetahuan (SDM) individu dan masyarakat akan pentingnya kesehatan dan bahayanya bagi kehidupan manusia. Kedua, lingkungan bersih yang memungkinkan individu atau masyarakat dapat hidup aman dari berbagai gangguan penyakit. Ketiga, Sikap dan prilaku masyarakat yang senantiasa memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan dan dirinya.
            Azrul Azwar[11] berpendapat bahwa permasalahan kesehatan masyarakat muncul diakibatkan adanya dua keadaan, yakni: Pertama, faktor ketidaktahuan penduduk, dan kedua faktor lingkungan yang ditinjau dari aspek kesehatan kurang menguntungkan. Faktor ketidaktahuan penduduk lebih mengacu pada pengetahuannya akan pentingnya kesehatan dan pengaruhnya apabila kesehatan kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Sedangkan faktor lingkungan kesehatan yang kurang menguntungkan, Azrul Azwar menjelaskan disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, air minum yang kurang sehat karena telah tercemar oleh limbah domestik, industri, pertanian dan kotoran sampah masyarakat yang tidak terawat sehingga menjadi sumber penyakit. Hasil penelitian tahun 1976 menunjukkan bahwa 6,1 % penduduk pedesaan yang mempunyai air minum yang sehat. Sedangkan di kota 39 %  mendapat air minum yang layak. Kedua, barang sisa dan bekas. Ke dalam kelompok ini berkaitan dengan masalah pembuangan tinja (human excreta), air limbah dan sampah yang semakin membahayakan kesehatan manusia. Hal itu terjadi karena masih banyak masyarakat di pedesaan yang tidak memiliki jamban atau WC keluarga. Berdasarkan hasil penelitian tahun 1976 terhadap 19.000 desa yang mencakup 30 % dari penduduk pedesaan, ternyata hanya 20,7 % penduduk saja yang mempunyai jamban keluarga. Selain itu, minimnya fasilitas pembuangan air kotor, terbatasnya tenaga dan dana yang tidak mencukupi serta mekanisme (sistem) pengelolahan sampah yang tidak professional. Kebanyakan sampah di daerah pedesaaan dibuang di pekarangan rumah, dibakar atau ditimbun yang dalam banyak hal karena tidak ditangani secara sewajarnya sering menjadi sumber pencemaran air di sekitarnya. Demikian juga pengelolaan sampah dan sisa-sisa industri di kota-kota besar, masalah pembuangannya belum diatur secara baik sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang menimbulkan protes dari masyarakat setempat. Ketiga, penataan perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan, baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Hasil penelitian tentang kesehatan lingkungan yang pernah dilakukan di Jawa Barat menyebutkan bahwa 59,2 % dari rumah yang diteliti tidak memiliki sistem ventilasi yang baik, 88,5 % mempunyai konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat, 80,1 %  mempunyai lantai tanah serta 60 % dari rumah tersebut dihuni bersama hewan peliharaan. Rumah yang sehat bukanlah berarti rumah yang mahal dan lux, bukan pula yang dibangun dari bahan yang sederhana tetapi kalau tidak memenuhi standar kesehatan sama saja. Rumah yang sehat adalah: Pertama, rumah yang dibangun dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar dari penghuninya. Seperti terpelihara suhu lingkungan yang penting untuk mencegah kehilangan panas atau bertambah badan secara berlebihan, terjaminnya penerangan, mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga pertukaran (aliran) udara segar dapat terpelihara dan mampu melindungi penghuni dari gangguan bising yang berlebihan. Kedua, rumah dibangun dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan dasar dari para anggotanya. Seperti terjaminnya privacy dari penghuninya, terjamin berlangsungnya relasi yang serasi antara anggota keluarga yang tinggal di dalamnya serta tersedianya berbagai hal yang menjamin dan membina kepuasan estetis, serta sesuai dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Ketiga, rumah yang dibangun dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang membahayakan kesehatan. Artinya, rumah yang di dalamnya tersedia air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan sampah dan tinja yang baik, terhindar dari penularan penyakit pernapasan atau ISPA, gangguan pencernaan, infeksi serta terlindung dari kemungkinan pengotoran terhadap makanan dan tidak menjadi tempat bersarang binatang melata atau penyebab penyakit lainnya.
            Sedangkan upaya untuk mencegah kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang kurang menguntungkan bagi kesehatan dengan jalan. Pertama, perlu adanya regulasi daerah tentang kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Perangkat peraturan tersebut sangat penting untuk menjamin kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat memberikan aturan main bersama, baik untuk Pemerintah maupun masyarakat dalam kaitannya dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan. Untuk itu, pelanggaran-pelanggaran dari siapa pun juga atas aturan yang telah ditetapkan perlu ditindak tegas. Sebaliknya, ketaatan pada peraturan-peraturan yang ada harus juga mendapatkan penghargaan. Kedua, pembangunan mental spiritual dan pemberdayaan masyarakat sadar lingkungan dan kesehatan diri perlu ditingkatkan sebagai bagian dari upaya reaktualisasi (upaya mengembalikkan proses,red) nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang peka dan arif terhadap lingkungan sekitar. Sosialisasi dan transfer pengetahuan tentang lingkungan hidup, pencemaran dan potensi bahaya penyakit merupakan hal penting untuk menumbuhkan kembali kesadaran pada masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kesehatan itu sendiri. Hanya dengan cara itu, kemungkinan budaya bersih dan sehat bisa terbangun.

C. Pengaruh Kebersihan Lingkungan Terhadap Kesehatan
Menurut Azrul Azwar[12], pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan atas dua jenis, yakni: Pertama, akibat yang ditimbulkannya segera terjadi. Artinya, begitu faktor lingkungan yang kurang bersih hadir dalam kehidupan manusia, maka akan timbullah penyakit. Kedua, akibat yang ditimbulkannya terjadi secara lambat laun. Artinya tidak hadirnya faktor lingkungan yang kurang bersih (kurang menguntungkan, red) serta merta dengan munculnya penyakit. Sebaliknya, ia mengalami proses yang berjalan agak lambat tetapi pasti, yakni dapat membahayakan kesehatan manusia.
Sedangkan peranan faktor lingkungan yang kurang bersih dalam menimbulkan penyakit dapat dibedakan atas empat macam, yakni : Pertama, sebagai predisposing, artinya berperanan dalam menunjang terjangkitnya suatu penyakit pada manusia. Misalnya, sebuah keluarga tinggal di suatu rumah yang pengap tanpa ventilasi dan air pari atau selokan yang tergenang di sekitar rumahnya sehingga menyebarkan bau yang kurang sedap mudah terserang penyakit ispa (Infeksi Saluran Pernapasan). Jelas disini keluarga tersebut yang menyebabkan mereka mudah terserang penyakit infeksi saluran pernapasan. Kedua, penyebab penyakit secara langsung. Misalnya, seorang anak minum air kotor dari sumur galian yang telah tercemar kotoran limbah industri mudah terserang penyakit diare atau disentri sebagai akibat zat kimia dari kotoran limbah industri tersebut. Ketiga, sebagai medium transmisi (pengantara pemindahan, red) penyakit. Misalnya, air yang merupakan medium transmisi penyakit kolera. Keempat, sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Telah lama diketahui bahwa udara panas akan memperberat penderita yang sakit asma, parit tergenang airnya mempermudah perkembangbiakan jentik nyamuk, rumah yang pengap memperberat yang sakit infeksi saluran pernapasan.
TEMUAN LAPANGAN
                 Sebagai salah satu institusi masyarakat yang tidak terlepas dari lingkungan dan kesehatan, masyarakat RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare adalah memahami pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kesehatan. Hanya saja dalam praktek, masyarakat RW Bulu Nippon yang berjumlah 321 Kepala Keluarga (KK) belum semuanya menjaga kebersihan lingkungan. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat RW Bulu Nippon yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Terbukti dari total jumlah 321 KK, ternyata 117 Kepala Keluarga atau 36,45% responden mengatur rumah tidak bersih dan tidak tertata rapi. Selain itu, didukung dengan kebiasaan masyarakat membuang sampah di sembarang tempat mencapai 19,17% dan saluran pembuangan air tergenang (8,72%) serta tidak mempunyai WC keluarga mencapai 12,46%. Berikut ini adalah tabel penataan rumah (tabel 1),  keadaan lingkungan (tabel 2) dan kebiasaan membuang sampah (tabel 3) Kepala Keluarga di RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare.
Tabel 1: Penataan Rumah KK di RW Bulu Nippon
RT
Penataan Rumah KK di RW Bulu Nippon
Jumlah
Bersih Tertata Rapi
Bersih Tidak Tertata Rapi
Tidak Bersih dan Tidak Tertata Rapi
I
20
16
38
74
II
15
15
46
76
III
45
61
27
133
IV
16
16
6
38
Jumlah
96
108
117
321
Persentase
30,20 %
33,54 %
36,45 %
100 %
  Sumber : Hasil survey KK di RW Bulu Nippon dan didukung oleh data statistik di  Puskesmas  
                  Cempae Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare-Sulawesi  
                  Selatan, 2009.

Tabel 2: Keadaan Lingkungan RW Bulu Nippon
RT
Keadaan Lingkungan RW Bulu Nippon
Jumlah

Rumah tidak bersih dan tidak tertata rapi
Tidak ada WC Keluarga
Pembuangan sampah di sembarang tempat
Air selokan tergenang
I
38
38
19
6
101
II
46
15
22
6
91
III
27
40
10
16
130
IV
6
-
-
-
6
Jumlah responden
117
93
51
28
328
Persentase
36,45%
12,46%
19,17%
8,72%
100%
  Sumber : Hasil survey KK di RW Bulu Nippon dan didukung oleh data statistik di  Puskesmas  
                  Cempae Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare-Sulawesi  
                  Selatan, 2009.

Tabel 3: Kebiasaan Membuang Sambah KK di RW Nippon
RT
Kebiasaan KK Membuang Sampah
Jumlah
Di Sembarang Tempat
Di Tempat Sampah
I
19
55
74
II
22
54
76
III
10
123
133
IV
-
38
38
Jumlah
51
213
321
Persentase
19,17%
92,2%
100%
  Sumber: Hasil survei KK di RW Bulu Nippon Kelurahan  Watang Soreang Kecamatan    Soreang,  
                 Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.


          Walaupun kesadaran Kepala Keluarga di RW Bulu Nippon membuang sampah sudah cukup baik sebagaimana terlihat pada tabel 3 di atas, tetapi persentase mentalitas masayarakat yang membuang sampah di sembarang tempat masih sangat tinggi, yakni 19,17% dari seluruh jumlah KK di RW Bulu Nippon. Kebiasaan membuang sampah di sernbarang tempat ini dapat menyebabkan saluran pembuangan air limbah tersumbat sehingga menyebabkan banyak penyakit, seperti penyakit saluran pencernaan, penyakit saluran pernapasan dan gangguan sistem tubuh lainnya. Juga didukung lagi oleh jenis WC yang dipakai masyarakat RW Bulu Nippon. Tabel 4 dan 5 berikut memperlihatkan kedua hal tersebut.
Tabel 4: Saluran Pembuangan Air Limbah

RT
Saluran Pembuangan Air Limbah KK RW Bulu Nippon
Jumlah
Mengalir
Tergenang
Parit
I
50
6
18
74
II
68
6
2
76
III
96
16
21
133
IV
38
-
-
38
Jumlah
252
28
41
321
Persentase
78,51%
8,72%
12,77%
100%
  Sumber: Hasil survei KK di RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota  
                 Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.

Tabel 5: Jenis WC KK di RW Bulu Nippon

RT
Jenis WC KK RW Bulu Nippon
Jumlah
Leher Angsa
Cemplung Terbuka
Cemplung Tertutup
Model tradisional
Tidak Memiliki WC
I
29
4
2
1
38
74
II
47
13
1
-
15
76
III
86
5
2
-
40
133
IV
38
-
-
-
-
38
Jumlah
200
22
5
1
93
321
Persentasi
62,32%
7,78%
2,03%
0,35%
12,46%
100%
  Sumber: Hasil survei di RW Bulu Nippon Kelurahan  Watang Soreang Kecamatan   Soreang, Kota    
                 Parepare –Sulawesi Selatan, 2009.
           
            Dari tabel 4 dan 5 di atas, bila tidak diperhatikan secara serius dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit. Penyakit yang paling banyak dialami oleh masyarakat RW Bulu Nippon adalah penyakit gangguan saluran pernafasan dan pencernaan. Keduanya masing-masing mencapai 50,88% dan 25,44%. Sedangkan gangguan sistem tubuh yang lain mencapai 29,04%. Penyakit ini muncul disebabkan oleh: Pertama, kebiasaan masyarakat membuang sampah di sembarang tempat (19,17%). Kedua, tidak memiliki WC keluarga (12,46%). Ketiga, ekonomi lemah (46,07%). Keempat, pudarnya budaya mencintai kesehatan yang dapat diukur dari kurangnya inisiatif masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan serta kelima, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan lingkungan dan keenam, kebiasaan merokok (56,85%).          Secara terinci penyakit yang dialami oleh masyarakat Bulu Nippon dapat dilihat dalam tabel 6 berikut.
Tabel 6: Penyakit yang dialami Masyarakat RW Bulu Nippon

RT
Penyakit
Jumlah KK
Penyebab
Saluran Pencernaan
Saluran Pernapasan
Gangguan Sistem Tubuh lain
I
16
46
23
85
Ekonomi
II
17
34
29
80
Pendidikan
III
51
83
39
173
Budaya/Kebiasaan
IV
1
7
6
14
Sikap/Mentalitas
Jumlah Penderita
85
170
97
352

Persentase
25,44%
50,88%
29,04%
100%

  Sumber : Hasil survei di RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota  
                  Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.
            Sedangkan dari data tabel 1 dan 2 di atas, terlihat bahwa masyarakat RW Bulu Nippon yang tidak bersih dan tidak tertata rapi rumahnya adalah 117 KK atau 36,45%.  Responden ini kurang memperhatikan kebersihan dan keapikan lingkungan rumah karena penyebanya bermacam-macam. Seperti masalah sumber daya manusia (pendidikan), pekerjaan, ekonomi dan kesadaran akan pentingnya kesehatan diri dan lingkungan, serta masalah budaya. Tetapi, penyebab yang paling menonjol adalah masalah keterbatasan waktu karena pekerjaan dan ekonomi keluarga. Karena 46,07% penduduk RW Bulu Nippon berprofesi sebagai wirausaha dengan penghasilannya yang tidak menentu, yakni di atas Rp 100.000/hari. Mereka mengaku kekurangan waktu untuk mengatur rumah dan lingkungannya karena sejak jam 05.00 subu sudah berangkat ke pasar untuk mengais rejeki dan pulang jam 06.00 sore. Selain itu, mereka mempunyai keinginan untuk memperbaiki rumah dan lingkungannya tetapi tidak memiliki modal. Tabel 7 berikut memperlihatkan tingkat penghasilan KK  masyarakat RW Bulu Nippon.
Tabel 7: Tingkat Pendapatan KK RW Bulu Nippon
RT
Tingkat Pendapatan KK
Jumlah
< 100.000
350.000-500.000
550.000-700.000
750.000-900.000
>1.000.000
I
8
10
10
8
38
74
II
22
14
6
6
28
76
III
25
32
26
15
35
133
IV
-
2
3
-
33
38
Jumlah
55
56
45
29
134
321
Persentase
17,46 %
17,77 %
14,02 %
9,14 %
42,31 %
100 %










   Sumber : Hasil survey di RW Bulu Nippon dan didukung oleh data statistik di Kantor Kelurahan  
                  Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.

Sedangkan responden yang memperhatikan kebersihan rumah dan tertata rapi lingkungannya adalah 96 KK atau 30,20%. Responden ini adalah KK yang memiliki ekonomi keluarga yang baik, dan juga KK yang selalu berada di rumah sehingga ada waktu untuk memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungannya.
Secara umum, data kebersihan dan keapikan rumah KK RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang di atas menunjukkan bahwa analisis faktor pengaruh hubungan interdimensional antara ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan mentalitas mencintai kebersihan lingkungan terbukti di lapangan dimana faktor mentalitas mencintai kebersihan merupakan bagian langsung dari ekonomi, pendidikan dan pekerjaan, sehingga untuk melihat adanya penerapan sikap hidup sehat di masyarakat haruslah dilihat dulu ada tidaknya pekerjaan dan modal hidup sehat dalam keluarga. Di sinilah sebenarnya letak kebersihan lingkungan sebagai unsur vital kesehatan masyarakat. Masyarakat yang mencintai kebersihan dan kesehatan’ tampaknya jarang terserang berbagai penyakit.  
Dari sisi pendidikan, masyarakat RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare, ternyata rata-rata tingkat pendidikan mereka (responden) mengelompok pada tingkat SD tamat 78 KK, SLTP 56 KK, SLTA 100 KK dan Perguruan Tinggi 35 KK, dimana profesi pekerjaan untuk tingkat pendidikan ini adalah petani 49 KK, nelayan 11 KK, Wiraswasta 150 KK, PNS 33 KK dan Buruh harian 47 KK. Secara umum jenis-jenis pekerjaan di atas adalah pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, cukup membutuhkan sumberdaya kecekatan dan kegesitan dalam bertindak. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel tingkat pendidikan dan pekerjaan berikut ini.

Tabel 8:  Pembagian Responden Menurut Pendidikannya

No
Pendidikan
RT
Jumlah
Responden
Persentase
I
II
III
IV
1.
Tidak sekolah
2
14
24
-
40
12,5%
2.
SD Tamat
18
20
36
4
78
24,29%
3.
SLTP Tamat
14
17
35
1
67
17,5%
4.
SLTA Tamat
38
15
27
20
100
31,25%
5.
Akademi/PT
2
10
10
13
35
10,93%
6.
Pasca sarjana
-
-
-
-
-
-
Jumlah KK
74
76
133
38
321
100%
  Sumber: Hasil survey di RW Bulu Nippon dan didukung oleh data statistik di Kantor   Kelurahan  
                 Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.

            Karena dalam pengumpulan data ini diusahakan agar responden yang diperoleh mempunyai pengetahuan meskipun tidak terlalu banyak pengetahuan mengenai kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat, maka dipilih responden masyarakat di RW Bulu Nippon yang berjumlah 321 KK dengan tingkat pendidikannya sangat bervariasi sebagaimana tergambar pada tabel 8 di atas. Di samping itu, memang responden yang diinginkan terdiri dari semua KK di wilayah RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare. Tetapi ternyata yang kemudian terjaring sebagian besar KK RW Bulu Nippon adalah wiraswasta, yakni 46,07%. Peringkat kedua diraih oleh petani mencapai 15,26% dan ketiga buruh harian yakni 14,64%. Sementara yang tidak bekerja 9,65%. Sedangkan dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS) hanya 10,28%.
            Rincian selengkapnya mengenai pekerjaan responden, disajikan dalam tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9: Pembagian Responden menurut Pekerjaannya
No
Pekerjaan
RT
Jumlah Responden
Persentase
1
2
3
4
1.
PNS
5
11
9
8
33
10,28%
2.
Wiraswasta
28
52
50
20
150
46,07%
3.
Petani
28
-
20
1
49
15,26%
4.
Nelayan
6
1
4
-
11
3,42%
5.
Buruh Harian
3
4
37
3
47
14,64%
6.
Tidak Bekerja
4
8
13
6
31
9,65%
Jumlah KK
74
76
133
38
321
100%
  Sumber: Hasil survey di RW Bulu Nippon dan didukung oleh data statistik di Kantor   Kelurahan  
                Watang Soreang Kecamatan Soreang, Kota Parepare – Sulawesi Selatan, 2009.

Dengan demikian tingkat ‘pendidikan, kemampuan ekonomi, pekerjaan dan mentalitas’ mencintai kebersihan dan kesehatan responden mendukung responden untuk mendapatkan hidup sehat dan lingkungan bersih. Hal ini sedikitnya didukung oleh temuan data di lapangan. Seperti diakui sendiri oleh seorang responden dengan kode sampel 02 (HJ):
“Saya adalah tamatan SD. Pekerjaaan saya menjual di pasar Lakessi. Bapak saya buta huruf. Ibu saya juga butuh huruf. Untung saja Paman saya yang bekerja sebagai PNS di salah satu instansi Pemerintah Kota Parepare membantu saya memberikan modal sehingga saya bisa menjual seperti sekarang. Modal dari Paman itulah yang membuat saya jam 05.00 subu sudah keluar dari rumah, maka kesempatan untuk mengurus rumah hampir tidak ada waktu lagi. Anda bisa membayangkan sendiri seandainya saya tidak diberi modal oleh Paman, apa yang terjadi. Dan anda juga bisa melihat sendiri kondisi rumah dan lingkungan sekitar rumahku”  (Wawancara, tanggal 14 September 2009).
                Gambaran dari pernyataan salah satu responden di atas, tampaknya membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa faktor pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan mentalitas hidup kurang sehat merupakan instrument penting dalam memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
            Sementara itu, jika data ini lebih disederhanakan lagi dengan memperhatikan empat indikator di atas, yakni sikap/mentalitas, ekonomi, pendidikan dan pekerjaan, sebagaimana tertuang dalam tabel 3, 7, 8 dan 9, ternyata kesibukan pekerjaan responden berpengaruh secara signifikan terhadap pemeliharaan dan pencapaian kebersihan lingkungan yang sehat. Hal ini secara jelas dapat dilihat pada tabel 9.
            Dari tabel 9 di atas, ternyata rata-rata pekerjaan responden lebih banyak menengah ke bawah, yakni: petani (49 KK), nelayan (11 KK), wirausaha (150 KK) dan buruh harian (47 KK). Hanya 33 KK menengah atas. Hal ini karena responden tersebut berprofesi sebagai PNS, yang pada kenyataannya memiliki penghasilan tetap sehingga bisa membiayai atau mempekerjakan orang lain untuk merawat dan memperhatikan kebersihan rumahnya. Bahkan ditemukan 31 responden KK atau 9,65% di RW Bulu Nippon yang tidak mempunyai pekerjaan.
            Data semacam ini tentunya memberi petunjuk bahwa faktor pendidikan (pengetahuan), pekerjaan, ekonomi dan mental hidup kurang memperhatikan kebersihan lingkungan memiliki hubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat.
            Hal lain yang tampak dari data tersebut adalah bahwa faktor budaya/mental hidup’ kurang memperhatikan kebersihan lingkungan lebih tinggi tingkatannya ketika peneliti mengkomparasikan sikap responden yang membuang sampah sembarang tempat sehingga saluran pembuangan air tersumbat, air tergenang, kotoran tampak berserakan di sekitar rumah dan KK yang tidak memiliki WC keluarga.
            Walaupun faktor ‘sikap’ hidup kurang sehat atau kurang memperhatikan kebersihan lingkungan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan faktor  tingkat pendidikan, pekerjaan dan ekonomi keluarga, namun belumlah cukup sebuah kesimpulan bahwa pola hidup kurang sehat menjadi faktor paling berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Hasil analisa mengatakan bahwa terdapat korelasi yang signifikat antara faktor tingkat pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sikap hidup kurang sehat.
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sikap hidup kurang memperhatikan kebersihan lingkungan saling berpengaruh terhadap pencapaian kesehatan masyarakat. 117 responden dari 321 KK menjawab bahwa faktor tingkat pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sikap hidup kurang memperhatikan kebersihan memiliki keterkaitan satu sama lain, mengemukakan alasannya bahwa sehat tidaknya suatu lingkungan masyarakat atau bersih tidaknya suatu lingkungan sangat tergantung pada masyarakat itu sendiri. Seperti, apakah masyarakat itu memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungannya? Apakah masyarakat mengerti hidup sehat dan mampu membedakan secara benar dan tepat antara yang mengganggu kesehatan dan tidak? Apakah masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk memperhatikan kebersihan lingkungana dan dirinya? Apakah masyarakat memiliki modal ekonomi yang memadai untuk mempercantik dan memperindah lingkungannya? Serta apakah masyarakat memiliki pola hidup yang mencintai kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari berbagai jenis penyakit?
            Bertolak dari hasil-hasil temuan, seperti dikemukakan di atas, peneliti dapat  menyatakan bahwa faktor pendidikan, pekerjaan, ekonomi, sikap dan prilaku hidup kurang sehat berpengaruh dalam menentukan kebersihan lingkungan dalam suatu masyarakat, tampaknya terbukti secara meyakinkan. Hasil penelitian memperlihat kecenderungan bahwa ada sebagian besar KK di RW Bulu Nippon berasal dari latar belakang pendidikan yang rendah dan tingkat ekonomi yang pas-pasan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa responden dalam memelihara kebersihan lingkungan sangat rendah sehingga rentah terhadap berbagai penyakit.  
            Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkapkan makna kebersihan lingkungan bagi kesehatan masyarakat RW Bulu Nippon. Dengan deskripsi ini diharapkan akan dapat diperoleh pemahaman tentang bagaimana masyarakat RW Bulu Nippon memelihara kebersihan lingkungannya.

Makna Kebersihan Lingkungan
            Pada dasarnya kebersihan lingkungan memiliki makna yang berbeda-beda bagi tiap-tiap orang. Sebagian orang mengatakan bahwa kebersihan lingkungan tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menjamin keberlangsungan hidup sehat saja, tetapi dapat memiliki makna lain yang sifatnya lebih psikologis, seperti aktualisasi sikap dan prilaku hidup kurang sehat. Aktualisasi sikap dan prilaku hidup kurang sehat adalah keinginan untuk merubah diri, dimana seseorang ingin memperbaiki pola hidupnya yang kurang memperhatikan kebersihan dan kesehatannya.
            Dari jawaban responden, terdapat 51 KK  (19,17%) responden menjawab aktualisasi sikap dan prilaku hidup kurang sehat merupakan unsur utama yang sangat berpengaruh sebagai penyebab lingkungan kurang bersih. Aktualisasi sikap dan prilaku hidup kurang sehat terlihat dari responden yang mengakui bahwa ia membuang sampah di sembarang tempat. Sedangkan sebagian lain mengatakan bahwa ingin menjaga kebersihan lingkungan tetapi terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga kekurangan waktu untuk mengurus rumah dan ekonomi keluarga yang pas-pasan, maka keinginan untuk menata rumah dan lingkungannya yang memenuhi standar kesehatan mengalami banyak benturan.

Penilaian tentang Kebersihan Lingkungan
            Terhadap kebersihan lingkungan, penilaian seseorang dapat berbeda-beda. Sebagian mereka, ada yang menilai bahwa keadaan lingkungannya bersih. Akan tetapi, sebagian lagi, ada yang menilai bahwa lingkungannya kurang bersih. Karena sampah berserahkan di sembarang tempat, parit tersumbat, air tergenang dan masih ada keluarga yang tidak memiliki WC sehingga banyak di antara mereka membuang kotoran besar (BAB) dan kecil (BAK) di pesisir pantai. Efeknya, menyebarkan bau yang kurang menyenangkan serta dapat mengganggu kesehatan masyarakat.




Penilaian terhadap Kesehatan Masyarakat
            Untuk dapat mencapai kesehatan masyarakat RW Bulu Nippon yang ideal, para responden ini diberi pertanyaan, penyakit-penyakit apa saja yang diderita oleh responden dan faktor-faktor penyebabnya.
            Dari temuan di lapangan, ternyata faktor lingkungan kurang bersih adalah faktor yang menyebabkan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan dan gangguan sistim tubuh lainnya. Faktor lingkungan kurang bersih menjadi prioritas utama para responden mengingat jumlah KK mencapai  170 atau 50,88% terinfeksi penyakit saluran pernafasan, 85 atau 25,44% terinfeksi penyakit saluran pencernaan dan 97 atau 29,04% gangguan sistim tubuh lainnya, yang kemudian diikuti oleh faktor ekonomi sebagai prioritas kedua, yakni 17,46.% berpenghasilan kurang dari 100.000 perhari sehingga kalau mereka sakit memilih berobat ke dukun (2,28%) dan bahkan ada juga yang tidak berobat (4,11% ) dari responden 321 KK. Kemudian faktor pendidikan mencapai 12,5 %. Secara lebih jelas akan terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabael 10: Faktor bisa Mengganggu Kesehatan
Kategori Faktor
KK
Persentase (%)
Lingkungan Kurang Bersih
117
36,46%
Pendidikan
78
24,29%
Ekonomi (Penghasilan kurang dari 100.000/hari)
55
17,46%
Jumlah
250
100%

            Terpilih faktor lingkungan kurang bersih sebagai prioritas utama, diduga terkait dengan tidak mutlaknya suatu latar belakang pendidikan (pengetahuan,red) tertentu bisa menyebabkan masyarakat mengalami gangguan penyakit, sehingga pada akhirnya bukan pendidikan itu sendiri yang berperan dalam suatu lingkungan tidak bersih, melainkan prilaku hidup kurang sehat individu yang paling berperan dalam suatu kondisi lingkungan tidak terawat dengan baik.
            Di samping faktor lingkungan kurang bersih dan pendidikan, tentunya tidak bisa diabaikan faktor yang merupakan prioritas ketiga, yakni faktor ekonomi. Munculnya faktor ekonomi diduga terkait dengan semakin banyak penyakit yang menyerang manusia. Bila semakin banyak orang yang menderita penyakit, maka faktor selanjutnya yang akan berperan dalam berobat adalah uang. Faktor keuangan ini biasanya ditunjangi lagi oleh ekonomi keluarga yang memadai sehingga bisa melincinkan jalan untuk berobat guna meraih kesehatan keluarga yang baik.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan lingkungan RW Bulu Nippon kurang bersih, baik dilihat dari aspek penataan wilayah maupun dipandang dari segi kesehatan lingkungan. Demikian juga dilihat dari latar belakang ekonomi keluarga, masyarakat RW Bulu Nippon dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah, tepatnya menengah-bawah (55,72%) dan menengah-atas (44,28%). Sementara, ditinjau dari sisi pendidikan responden KK RW Bulu Nippon ternyata berkisar dari yang tidak sekolah (buta huruf) hingga tamat Akademi (Diploma III), dimana mayoritas KK responden menamatkan pendidikan SMU (31,25%).
Sedangkan, dilihat dari segi pekerjaan KK, mayoritas adalah membuka usaha kios kecil (modal di bawah 3 juta), yakni mencapai 87%. Dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang menguntungkan inilah yang memungkinkan responden berusaha untuk mencari nafkah dengan menjual seharian di pasar. Hampir seluruh responden mengaku bahwa kekurangan waktu untuk mengurus rumahnya. Di sini nampak bahwa kebersihan rumah dan lingkungannya kurang terawat dengan baik. Efeknya, lingkungan kurang bersih dan masyarakat rentah diserang berbagai jenis penyakit.
Sementara dari deskripsi tentang sikap dan prilaku hidup kurang sehat (membuang sampah di sembarang tempat, air tergenang di sekitar rumah dan WC di alam terbuka) terlihat bahwa responden merasakan banyak kerugiannya, seperti banyak KK yang terinfeksi penyakit saluran pernafasan (50,88% ), penyakit saluran pencernaan (25,44) dan penyakit sistem tubuh lainnya (29,04%). Dengan adanya kondisi lingkungan yang kurang bersih, dapat memudahkan masyarakat terserang berbagai jenis penyakit. Hampir seluruh responden mengaku bahwa mereka pernah mengalami sakit, terutama terinfeksi penyakit saluran pernafasan dan saluran pencernaan.
Secara keseluruhan terdapat kecenderungan korelasi yang signifikat antara faktor-faktor yang mempengaruhi kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat, dimana lingkungan yang kurang bersih berpotensi menyebarkan berbagai jenis penyakit pada masyarakat. Kondisi ini setidaknya telah terbukti hasil penelitian di RW Bulu Nippon Kelurahan Watang Soreang Kecamatan Soreang Kota Parepare. Kondisi lingkungan RW Bulu yang kurang bersih dapat dilihat dari sebagian besar KK RW Bulu Nippon, yakni 117 KK dari 321 responden menempati posisi keadaan rumahnya kurang bersih, ternyata rata-rata mereka berasal dari tingkat pendidikan rendah, ekonomi lemah dan sibuk bekerja mencari nafkah di luar rumah. Sementara, dilihat dari ‘sikap dan prilaku hidup’ kurang memperhatikan kebersihan, ternyata tidak selamanya mereka yang berasal dari tingkat pendidikan rendah dan ekonomi kelas menengah ke bawah.*

DAFTAR PUSTAKA
Aris Marfai Muh, 2005. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan. Penerbit Wahana Hijau  (Weha) Bekerja sama dengan Kreasi wacana, Yogyakarta.
Azwar Azrul, 1983, Pengantar Ilmu Lingkungan, Penerbit Mutiara, Jakarta.
P. Eckoholm Ezrul. 1993, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan sebagai Sumber Penyakit
            PT Gramedia, Jakarta.
Slamet Ryadi A.L, 1982, Kesehatan Lingkungan Dalam Konteks Perkembangan Lingkungan Dewasa ini. Penerbit: Karya Anda, Surabaya.
Tamin Melvin M., 1967, Social Stractification: The Form And Fungsions Of Inequality, Englewood Cliffs,N.Y: Prentice Hall Inc.
Winslow, 958, Public Health, Universitas (Cleavel and Clark), http//Google, diakses 30 Februari 2009.


[1] Winslow, 1958, Public Health (Ilmu Kesehatan Masyarakat), Universitas Yale (Cleavel and Clark), http//Google, diakses 30 Februari 2009. Baca juga tentang Konferensi PBB di Bali tentang Perubahan Iklim yang berlangsung dari tanggal 3-14 Desember 2007 dalam http//Google Kamis, 13 Desember 2007.
[2]Salim Emil dalam Kata Pengantar buku Erik P. Eckholm yang diterjemahkan oleh Mochtar Pabotinggi, Masalah Kesehatan Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1982, P. vii.
[3]Ibid.
                [4]Slamet Ryadi A.L, 1982, Kesehatan Lingkungan, Penerbit Karya Anda, Surabaya, P.9.

                [5]Aris Marfai Muh, Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas Lingkungan Berkelanjutan, Penerbit Wahana Hijau, Yogyakarta, 2005, PP. 3-4.
[6]Pabotinggi Mochtar (Penterj.), 1982, Masalah Kesehatan Lingkungan Sebagai  Sumber Penyakit, Penerbit PT Gramedia. Jakarta, P.vii.

[7] Winslow, http/ Google, Op. Cit.
[8] Pabotinggi Mochtar, Op. Cit. P.5.
[9] Winslow, Op. Cit.
                [10] Tumin MelVIN M., Social Stratification: The Form and Functions of Inequality, Englewood Cliffs, N.Y. : Prentice Hall Inc, 1967, P. 87.
[11] Azwar Azrul, 1983, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Penerbit Mutiara, Jakarta,  P. 22.

[12] Ibid., P. 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar